Sumedang, 5 Oktober 2022

Melanjut bagian sebelumnya.

 

Pada technical meet sebelumnya aku sempat mendengar perkataan ketua program studi,

“Kalian kan dokter, jadi harus bisa merencanakan sendiri ingin melakukan studi apa. Kalian akan memilihnya sendiri,”

Dalam hatiku, kalau memilih sih oke, tetapi rebutan, ya tidak oke jadinya. Terutama bagi aku yang internetnya suka lemot.

“Semua blok dibuka sepanjang tahun. Dokter pengampu sedang kami siapkan sesuai bidangnya,”

Wait, what? Ini keren.

Semester belakangan, aku mempelajari blok NBSS dan DMS dan mendapatkan dokter dari IKM. Beliau memang punya banyak cerita dan pengalaman, sayangnya tidak bisa kami tanyakan terkait basic science selama tutorial. Semoga kaprodi benar-benar menyorot masalah serius ini.

 

Tetapi yang menjadi concern aku adalah, bagaimana ceritanya mahasiswa baru disuruh memilih blok lalu terlempar dari 3P/HIS/DMS/NBSS? Kukira hanya empat bab ini yang tepat untuk dipelajari maba. Bayangkan saja mahasiswa yang belum mengerti konsep anatomi tiba-tiba disuruh menghafal letak organ tubuh sesuai sistem. Itu baru contoh kecil yang saya bayangkan.

Cuma, ya, bisa tetap jago asalkan dia mau belajar. Dan asalkan kating-katingnya mau mengajarkan. Tidak seperti aku yang dengan kepentingan non-akademik saja sudah keteteran.

 

Hmmm, mari kita simak apa kata dekan terkait perubahan kurikulum ini.

Kita di FK Unpad punya tiga fase dalam pendidikan kedokteran. Kakak tingkat yang sudah koas mengalami Science Based. Mereka mempelajari basic science sebelum clinical science. Mulai 2020 kita terapkan Problem Based & Integrated dengan memanfaatkan trigger case dan tutorial. Sedangkan sekarang, yaitu 2022, adalah System Based. Di sini mahasiswa mulai berpikir secara sistem.

Jujur saja, aku bosan jika harus berkali-kali mendengarkan “promosi” kurikulum seperti ini. Aku hanya mau tahu realisasinya dan tanggung jawabnya kalau sudah jadi lulusan. Aku butuh penjelasan itu.

Sepertinya ini saja yang aku ambil dari pertemuan dengan dekan. Sisanya masih ada penjelasan lain yang saat itu diriku sedang kehilangan fokus.

 

Esok harinya yaitu 13 September, aku kembali lagi ke Unpad untuk “briefing” sistem GIS. Awalnya ya, biasa saja, seperti bedah isi BLG. Dokter pembicara juga menambahkan cerita: di zamannya, mahasiswa tingkat 1 masih culun, sedangkan saat ini mahasiswa tingkat 1 sudah boleh belajar patologi colorectal, katanya. Beliau menambahkan pengalaman sulitnya meyakinkan pasien karena mereka banyak terpapar oleh informasi di internet yang perlu kita luruskan kebenarannya.

Nah, yang membuatku bisa “menerima keadaan” justru bukan di main agenda hari itu. Melaikan dari salah seorang dokter tutor sebelah yang menambahkan metode tutorial versinya sendiri. Kurang lebih, ini poin yang unik dari beliau.

  • Jadwal tutorial adalah beliau yang buat, bahkan sudah mirip dengan jadwal pelajaran sekolah. Sudah jelas apa yang dibahas dan disiapkan. Mahasiswa yang dibimbing diajak untuk berdiskusi bersama. Wah, kalau bisa memilih, aku juga kepingin ditutor oleh beliau dong, hehe.
  • Saat ini sedang sering dibahas cara berpikir logis. Hal ini memang seharusnya dilakukan, karena logika diperlukan dalam mempelajari sains. Dan inilah yang menjadi alasan UTBK SBMPTN tahun depan tidak ada TKA, hanya ada TPS. Sebagai contoh lagi di ITB misalnya, semua basic pelajaran MIPA (TPB) diwajibkan bagi mahasiswa tahun 1 untuk kesiapan mereka di jurusan yang akan dihadapi.

Ah, tepat sekali … cukup sejalan dengan pemahamanku. Aku jadi mengingat kembali masa ketika mengerjakan UTBK SBMPTN. Aku tidak suka menghafal, tetapi hanya menangkap pola-pola soal dan mengandalkan berpikir secara logika. Dan aku lolos seleksi.

Nah, bagi teman-teman lain sering FOMO (fear of missing out), sepertinya penjelasan dosen biomolekular, tutorku, dapat menjadi jawaban. Beliau mengutip penjelasan seputar “promosi kurikulum” dengan versinya yang lebih mudah diterima olehku.

  • Kita akan membuat lulusan yang dapat menjawab pertanyaan stakeholder dan masyarakat. Misalnya ada dokter spesialis yang ditanya oleh masyarakat terkait penyakit di spesialisasi lainnya. Pertanyaan ini masih bisa dijawab karena dokter spesialis pasti pernah menempuh pendidikan dokter umum, dan hal yang ditanyakan masih bisa dibantu oleh rekan lainnya. Inilah salah satu contoh berpikir sistem.
  • Dosen tutorku punya pengalaman menarik saat berkolaborasi dengan orang-orang mancanegara. Pernah suatu ketika timnya akan menggunakan suatu alat, dan salah satu personelnya berkewarganegaraan Filipina (ya, penduduknya rata-rata kidal). Saat rekannya itu menggunakan alat, komentar yang dilontarkan bukanlah “wah, hebat ya, bisa pakai tangan kiri”, melainkan “kok kamu nggak kepikiran kalau hal ini bisa membahayakan kamu dan objek penelitian kamu?”. Sekiranya ini juga memiliki relasi dengan salah satu poin besar bioetika, yaitu non-maleficence.

Hebat sekali beliau-beliau ini, tetapi aku ragu menyebutkan namanya. Yang pasti, aku sangat mengapresiasi penjelasan di atas karena telah meyakinkanku untuk bertahan di FK Unpad yang penuh dengan ketidakpastian ini.

 

Semoga para pembaca sehat selalu.

FK Unpad, Unite !!!