Pertanyaan yang sering diajukan baik ketika saya sedang dalam masa kuliah atau setelah lulus adalah: Kuliah jurusan apa? Lalu saya menjawab “Sastra Inggris”. And the awkward moment happens.

Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya biasanya seperti ini: Sastra itu belajar apa? Apa bedanya sama belajar bahasa? Ngapain aja? Terus, skripsinya kayak gimana?

Mungkin pada taraf ini, bisa lebih dulu baca tulisan karya Acep Iwan Saidi mengenai pengajaran bahasa di Indonesia yang bisa diakses di http://www.bincangedukasi.com/bahasa-indonesia-sebagai-parole.html. Artikel tersebut memaparkan bagaimana pengajaran bahasa (yang banyak kita ketahui) hanya dalam taraf strukturnya saja sehingga citra belajar bahasa menjadi kurang menarik dan seringkali dikaitkan dengan hal-hal yang membosankan. Hal seperti inilah yang perlu dihindari, karena, alih-alih orang akan tertarik belajar bahasa, mereka justru akan menghindarinya. Belajar bahasa akan dikenal orang adalah sebagai batu loncatan untuk profesi-profesi praktis seperti menjadi pemandu wisata, penerjemah,  dan segala profesi yang berhubungan dengan komunikasi bahasa asing. Bukan berarti hal tersebut salah, namun hal tersebut sangat ironis karena kita memberikan wadah yang sangat kecil bagi pembelajaran bahasa yang cakupannya sangat luas.

Mungkin itulah yang membuat mahasiswa lulusan ilmu Bahasa atau Sastra sedikit minder, karena citra pembelajaran bahasa sendiri kurang baik, dan hal itu tumbuh sejak kita masih di sekolah dasar. Jika dibandingkan dengan jurusan lain semisal Kedokteran, Perminyakan, Geologi, Hubungan Internasional, Hukum, atau Ekonomika, maka jelaslah timbul anggapan bahwa Sastra adalah jurusan kelas dua.

Kemudian, jawaban saya terhadap pertanyaan-pertanyaan diatas biasanya seperti ini: Sastra itu intinya ya belajar membaca dan menulis, namun dalam tingkatan yang lebih tinggi. Dan biasanya, orang yang bertanya itu masih tidak mengerti, dan saya harus menambah penjelasan lagi: Kita diajarkan untuk membuat kritik sastra. Jawaban yang paling umum adalah: Oohh. Padahal dalam hati, saya yakin, orang itu pasti salah paham dengan kata kritik. Hal itu pun terbukti dengan pernyataan lanjutan yang ia berikan: Kritik itu jadi menulis tentang kesalahan atau kekurangan di suatu karya sastra ya ((Dan ternyata, setelah membaca lebih jauh, makna ‘kritik’ sebagai sebatas pencarian kesalahan saja diperkuat oleh pendapat Raymond Williams dalam buku Marxism and Literature halaman 49.))? Biasanya kalau jawabannya seperti ini, saya udah mulai malas berbicara sama dia.

Ketika saya berbicara tentang belajar membaca tingkat tinggi, maksud saya adalah membaca teks / karya sastra sebagai produk dari budaya, sebagai ekspresi yang manusia buat, bukan hanya cerita naratif yang disampaikan sebagai hiburan. Pengkajian karya sastra pun ada metodenya tersendiri dan tidak bisa asal-asalan, dan oleh sebab itu ilmu sastra adalah ilmu akademik non-eksakta. Belajar sastra berarti belajar tentang manusia, dari mulai bagaimana dia berpikir hingga wacana apa saja yang melingkupi teks dan manusia itu sendiri.

Dari sinilah kita dapat melihat pentingnya belajar sastra. Fungsi dari belajar sastra, menurut saya, adalah agar kita dapat melihat (atau membaca) lebih dalam terhadap diri kita sendiri dan keadaan di sekeliling kita. Produk budaya seperti karya sastra, film, lukisan, esei, dan lainnya merupaka sumber inspirasi manusia yang menggerakkan dan mengatur manusia itu sendiri, dan di dalam kajian sastra, kita belajar itu semua. Dengan belajar sastra, kita tidak semerta-merta menerima keadaan dan wacana tersebut (taken for granted), tetapi menahannya terlebih dahulu, meninjaunya ulang, dan membuat perinciannya (elaborating). Hasil dari perincian inilah yang disebut dengan sebuah kritik sastra.

Sebuah kritik pun tidak selalu benar, karena bisa saja kita menulis sebuah kritik untuk sebuah kritik. Namun pada intinya adalah adanya pembahasan terhadap sebuah karya sastra, karena kritik merupakan sebuah pembahasan dari sebuah karya dilihat dari perspektif sang penulis. Pembahasan inilah yang kita perlukan, karena dengan membahas karya sastra maka pengetahuan dan pemahaman kita akan karya sastra tersebut akan lebih luas dengan cara pengenalan konsep-konsep yang baru dan bahkan di luar dari yang tampak di permukaan akibat dari proses pembacaan ketat (close reading).