Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa

Ide tersebut tertulis dalam ideologi dasar masyarakat Indonesia yang dicanangkan oleh para pendiri konstitusi ini. Dapat kita lihat betapa penting peran agama dalam aspek kehidupan masyarakat Indonesia sehingga konsep ketuhanan tersebut ditempat di urutan pertama. Agama berperan sebagai lentera yang memandu bagaimana langkah bangsa ini ke depan. Akan tetapi, dengan keberagaman bangsa dan kepercayaan yang ada di wilayah geografis Indonesia, bagaimanakah konsep tersebut dapat dijalankan? Dari sekian banyak agama (dan kepercayaan) yang ada di Indonesia, apakah frase sila pertama tersebut masih relevan?

Pada pencanangannya sendiri, Pancasila yang (dituntut) menjadi ideologi dasar masyarakat Indonesia menimbulkan beberapa kontroversi. Awalnya, sila pertama yang dikukuhkan dalam Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 berbunyi ‘Ketoehanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeloek2-nja’. Namun, seorang perwira angkatan laut Jepang menyampaikan keberatan atas kata-kata tersebut yang diungkapkan oleh tokoh-tokoh dari Indonesia Timur karena mereka menganggap hal tersebut tidak akan berlaku bagi pemeluk agama lain ((lihat http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2352/Piagam-Jakarta)). Maka sejak itu, teks dalam sila pertama direvisi hingga seperti saat ini.

Disini dapat kita lihat bahwa Islam mendominasi wacana agama dalam konteks kelahiran ideologi ini. Para pendiri bangsa cenderung menggunakan syariat Islam ketika merujuk konsep ‘ketuhanan’. Kemudian ada suara lain yang menyatakan bahwa bukan di Indonesia ini tidak semuanya umat Muslim. Maka karena suara itulah, setidaknya, tampak sila tersebut tidak didominasi oleh satu kepercayaan saja, melainkan lebih majemuk. Belum lagi masalah sifat ‘ketuhanan yang Esa’ yang tampaknya hanya bisa mencakup beberapa agama saja, karena dari keenam agama sebut tidak semua tuhannya bersifat esa atau tunggal, seperti Hindu. Di dalam agama Hindu ada beratus-ratus dewa yang disembah, sehingga mereka pun tidak bisa menganut ketuhanan yang maha esa. Kecenderungan terhadap agama tertentu di peraturan dasar sebuah bangsa pastinya akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan turunannya, seperti dalam penentuan apakah sebuah agama dapat diakui atau tidak keberadaannya.

Entah bagaimana, hingga saat ini, pemerintah hanya mengakui apa yang masyarakat percaya sebagai agama sebanyak enam agama: Khonghucu, Protestan, Katolik, Islam, Hindu, dan Buddha. Pembatasan yang membatasi pilihan orang ke dalam enam pilihan ini menimbulkan masalah bagi pemeluk agama adat/lokal. Contohnya dalam kasus ketika masyarakat Baduy menginginkan agama Sunda Wiwitan tercetak dalam KTP mereka. Hal tersebut tidak mungkin dilakukan karena sampai saat ini pemerintah masih hanya mengakui beberapa agama saja. Lagipula, aturan yang berlaku mengatakan bahwa kepercayaan/agama/aliran di luar enam agama yang diakui itu bukanlah agama, melainkan kepercayaan. Jadi, masyarakat harus memiliki/memilih satu agama bagi dirinya, tapi tidak dengan ‘kepercayaan’.

Bahkan di dalam aliran-aliran yang masih ada dalam naungan Islam, konflik terus berlanjut. Seperti kasus kaum Syiah di Sampang, Madura yang harus direlokasi. Modusnya selalu sama: pihak yang mendominasi memiliki kuasa lebih terhadap pihak yang tidak dominan. Pihak mayoritas bisa tidur di rumah, sedangkan pihak minoritas terpaksa tidur di GOR. Selalu ada hak yang diambil, apakah itu berupa materi atau pengakuan.

Secara lebih ketat, kita harus menilik lagi, atau setidaknya menyadari, sejauh mana peranan pemerintah dalam menetapkan hal-hal yang bersifat sangat asasi yang melekat pada setiap individu masyarakat. Apakah relevan pemerintah, atau konstitusi yang lebih besar daripada individu, dapat menentukan apa yang harus kita percaya? Dengan kesadaran penuh, saya percaya bahwa setiap orang berhak memilih apa yang dia percaya. Namun, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, kesempatan memilih tersebut umumnya belum dapat dilakukan dan kurang diapresiasi.