Mungkin memang budaya bercocok tanam secara tradisional mulai ditinggalkan di Indonesia. Mungkin memang ada sesuatu yang lebih penting: kemajuan industri. Laju industri yang sangat cepat menyeret budaya cocok tanam sebagai landasan kehidupan masyarakat kecil menuju kepunahannya. Kini, padi hanya sebatas komoditas. Tanah pun bernasib sama. Alam bagi manusia hanya sebatas alat tukar untuk mendapat keuntungan yang lebih banyak.

Itu pula yang umumnya terjadi di Indonesia. Dulunya mayoritas penduduk Indonesia adalah petani, yang menggantungkan hidupnya dari menggarap tanah. Hubungan itu kerap rukun dan tidak terburu-buru. Bercocok tanam adalah sebuah budaya yang menggambarkan hubungan manusia dengan alam. Berbeda dengan moda yang dijalankan manusia sekarang, bercocok tanam merupakan sebuah bisnis, kembali lagi karena laju industri.

Namun, kita sepenuhnya tidak dapat menyalahkan industri. Kita dapat maju, menikmati semua teknologi ini karena industri. Lalu, apa yang salah dari industri? Kata kuncinya adalah ketamakkan. Monopoli pasar kerap tidak dapat dibendung oleh hasrat-hasrat para pelaku industri. Semua dilakukan untuk mendapatkan profit, kadang tanpa melihat aspek kemanusiaan. Mungkin, itulah yang terjadi di Karawang.

Di sini dapat kita lihat bagaimana kekuatan politik dan uang dapat menyingkirkan peran petani dan budaya cocok tanamnya. Para spekulan tanah dan perusahaan besar berusaha mengeruk keuntungan dari ketidakpastian pemerintah dalam menerapkan hukum. Kedua pihak tersebut mencoba menggunakan ormas dan aparat pemerintahan sebagai alat mereka. Petani, yang kebanyakan tidak mendapatkan pendidikan formal yang memadai, hanya menjadi tameng para spekulan tanah untuk melawan kekuatan modal yang perusahaan besar miliki.

Sialnya, yang tampak dari permukaan awalnya adalah petani versus perusahaan besar. Petani yang memiliki konotasi pihak yang lemah secara politik dan intelektual dibenturkan dengan citra perusahaan yang memiliki banyak harta dan curang. Tentu saja karena itu saya berpikir kita harus melawan perusahaan karena saya berada di pihak yang lemah. Akan tetapi pada kenyataanya, citra tersebut dimanfaatkan oleh spekulan tanah yang bekerja secara sistematis dan rapi untuk menutupi bahwa sebenarnya mereka adalah salah satu biang keladi dari sengketa ini. Merekalah yang pertama kali merebut hak-hak petani atas tanahnya.

Beberapa spekulan tanah tersebut terdiri dari orang pemerintahan, ketua ormas, dan pengusaha. Mereka merampas tanah petani dengan memanfaat kurangnya pengetahuan petani akan masalah kepemilikan tanah. Yang mereka kejar hanya satu: harga jual tanah yang tinggi. Daerah Karawang ke depannya akan menjadi pusat perindustrian. Tentu saja mereka mengetahui rencana yang dibuat oleh pemeritah itu, sehingga mereka mati-matian mengklaim tanah tersebut untuk selanjutnya dijual ke perusahaan industri skala besar dengan harga jual yang lebih tinggi.

Dapatkah permasalahan ini terselesaikan? Bisa, hanya cukup berat, dan akan memakan waktu bertahun-tahun. Dilihat dari perundang-undangan, banyak gejolak undang-undang yang berubah akhirnya merugikan petani dan masyarakat kecil. Soekarno di era pemerintahan membuat terobosan hukum yang bagus dengan mencanangkan Undang-Undang Pokok Agraria yang bersifat populis di tahun 1960. Namun karena pergolakan politik di Indonesia, dimulai dengan diberangusnya Partai Komunis Indonesia dan masuknya rejim Orde Baru di tahun 1965, kebijakan ekonomi Indonesia cenderung mengalami pergerakan ke arah ekonomi liberal, sehingga memudahkan perusahaan besar untuk menanamkan investasi di tanah yang sebelumnya dikelola untuk rakyat. Penguatan kebijakan inilah yang paling penting, karena dengan begitu hadir landasan untuk mengatur ulang percepatan industri yang sudah terlampau cepat dan memperkuat aspek hukum kepemilikan tanah petani.

Selain itu, harus ada usaha penguatan petani, terutama dari segi kemelekan membaca. Kebanyakan petani tidak bisa membaca sehingga seringkali dibodohi oleh orang-orang yang lebih tahu tentang administrasi pertanahan yang tentunya berniat jahat terhadap mereka. Setidaknya, tumbuhkan rasa jangan mudah percaya dalam diri mereka, apalagi dalam kasus dokumen tanah yang sangat penting. Minimal di antara anggota keluarga tersebut harus ada yang bisa membaca.

Diprediksikan kasus sengketa tanah ini akan masih banyak terjadi di Indonesia. Sekarang saja selain di Karawang masih ada kasus sengketa tanah yang terjadi di Rembang. Belum lagi tanah-tanah yang berada di luar Pulau Jawa yang siap dijadikan industri kertas atau perkebunan kelapa sawit. Sangat disesalkan hal ini terjadi karena hukum yang tidak condong membela kepentingan masyarakat yang bekerja sebagai buruh tani dan banyaknya pihak-pihak yang memanfaatkan hal tersebut untuk memperkaya dirinya sendiri. Jangan sampai ada lagi Pak Ertim yang kehilangan mata pencahariannya di tanah yang biasa ia garap. Jangan ada lagi Bu Sukinah yang kehilangan kebahagiaanya karena tidak bisa mengolah bumi ini lagi.