ANTROPOLOGI PATAH HATI

LUKA – LUKA EKOLOGIS

oleh : Repa Kustipia

“jalan terjal menikmati antropologi”

Outline :

  • Ceramah Ibu Untuk Sarjana Gizi yang Nyasar ke Antropologi.
  • Warisan Terkhir dan Problematikanya.
  • Eksploitasi Ekosistem untuk Adaptasi Kebutuhan Hidup Selama Pandemi.
  • Renungan Ekologis Pragmatis.
  • Kritik Untuk Perilaku Para Penghuni Planet Bumi.
  • Pembuktian Matrealistis Materi Antropologi untuk Ibu.
  • Pesan Bapak
  • Carpe Diem !

Dokumentasi :

Keterangan foto tidak tersedia.

Keterangan foto tidak tersedia.

Keterangan foto tidak tersedia.Keterangan foto tidak tersedia.

Keterangan foto tidak tersedia.

Keterangan foto tidak tersedia.

Keterangan foto tidak tersedia.

Keterangan foto tidak tersedia.

Keterangan foto tidak tersedia.

Keterangan foto tidak tersedia.

Keterangan foto tidak tersedia.

 

Keterangan foto tidak tersedia.

Ceramah Ibu Untuk Sarjana Gizi yang Nyasar ke Antropologi

“Ibu ga pernah setuju dengan pilihan kamu ke sosial humaniora, lebih baik jadi tenaga kesehatan, kamu akan pakai seragam walaupun honorer, tapi kamu diakui sama warga desa dan kalau ada yang nanya, jawabannya ya ahli gizi”

“Tapi permasalahan gizi menyangkut permasalahan kemanusiaan dan kekuataan kekuasaan, banyak proyek-proyek gizi dan kesehatan yang mangkrak dan ga tepat sasaran, bu.

Dari forum lokal sampai global ada kekuatan politik, antropologi gizi dan pangan itu adalah bagian mata kuliah di jurusan gizi, bu. 

Dan itu mata kuliah yang bisa menguak kebenaran dari para informan bahwa ada program daerah yang ga transparan, coba! ibu sendiri ga pernah pakai garam beryodium yang disarankan sarjana gizi, lebih memilih garam curah yang entah beryodium atau tidak dan ibu juga selalu mengabaikan jumlah takaran : gula, garam, dan lemak pada praktik konsumsi yang ibu lakukan, padahal ibu punya diabetes turun-temurun”. Izin menjelaskan ya bu : 

Pertama, pilihan antropologi itu bukan semata-mata ingin menentang, tapi ingin mendalami ilmunya.

Ibu jangan dulu mengaitkan pada marxisme yang dibilang ajengan masjid sebelah rumah dulu dong, itu ajengan juga belum pernah baca Das Capital makanya cuma menyimpulkan praduga saja, mana dibilang sesat, kembali ke antropologi bu yang selalu ibu permasalahkan, padahal ga pake uang ibu sama sekali, tapi ibu tetap sentimen-tempramen kalau anaknya mempelajari ini, ini ga bikin tenang. 

Kedua, semenjak sekolah di jenjang tinggi dan mendalami ilmu gizi, itu masalah gizi selalu bertambah dimulai dari rendahnya status gizi masyarakat : kurang gizi, anemia, kurang yodium, kurang Vitamin A, ditambah sekarang sanitasi pangan dan keamanan pangan bermasalah, lebih kesini ibu lihat kan banyak permasalahan di bidang agama juga yang menyangkut makanan, kabar terbaru kehalalan makanan.

Ini mengganggu kualitas sumber daya manusia bu, termasuk saya didalamnya, coba kalau program pengentasan anemia gizi besi tidak sampai ke saya dalam bentuk intervensi, ya saya jadi kena dampak anemia itu dan konsentrasi akan turun dan mengganggu kinerja individu, ini skalanya besar bu, Nasional.

Apa saya akan manggut-manggut aja gitu kalau tetap di ranah gizi ? Memang belum jadi orang besar, tapi saya punya ruang berdiskusi dengan teman-teman sosial humaniora. 

Ketiga, ibu masih mau denger ga ? Saya lanjutkan ya bu. Mutu kesehatan dan pendidikan masyarakat.

Disitu ada Human Development Index Report bu untuk menilai kemajuan pembangunan Sumber Daya Manusia termasuk saya bu sebagai masyarakat dalam konteks individu.

Saya harus punya pendidikan yang terus bertahap bu, kalau bisa sampai jenjang S3 dan kalau banyak rezekinya berkali-kali ngambil beberapa konsentrasi. Tapi saya ga kaya Om Ishaq yang S2 berkali-kali pake duit DPRD ya bu, eh keceplosan.

Lanjut ya bu, pendidikan tinggi menunjang pengetahuan masyarakat, semakin berpendidikan semakin terinformasi dan teredukasi bu, derajat kesehatan pun ga akan turun bu.

Gaji juga naik Insya Allah kalau ilmunya terus berkembang mah. Tingali we engke lamun lulus di antropologi, ini cuma soal waktu. Da ga minta duit ibu ya bu, ini mah murni dari rembugan wirausaha sosial, da ibu ini teh bikin pusing ih. Harus dido’ain atuh, bukan ditentang. 

Ya, dido’ain jadi ahli gizi sing bener, eh membelot ka dinya sosial humaniora, sakalian we asup ilmu politik meh ngahiji jeung nu teu pararuguh, modal ngomong we ngomong, maju ka senayan maju ka senayan kitu tuh jiga warga desa ieu nu nyieun spanduk, nu harayang jadi caleg bari mere sembako jeung kaos geuning mun subuh memeh dicaroblos. 

Kamu dan teman-teman yang memilih antropologi lintas bidang tetap saja mengolah kebun dan terus mempertahankan lahan dan isinya, kebun yang lain sudah dijual untuk proyek perumahan, tinggal kebun kita dan kebun mitra wirausahamu yang masih utuh karena menunggu proses perawatan beberapa komoditas yang rusak. Itu sangat lama untuk menghasilkan. 

Coba lihat kebun tetangga yang sudah digunduli dan mendapatkan hasilnya, mereka bisa membeli sesuatu tanpa harus mengolah kebun lagi, bahkan kamu membiayai semuanya masih bergantung pada kebun dan kebun mitra untuk berbagai peralatan yang digunakan, dan karyawan harian kebun mitra, kamu yang membiayai pelatihannya, kamu kan bukan milyader yang punya uang banyak dan siap akan risikonya. 

Pemilik kebun mitra sudah tiada dan sekarang hanya ada hak waris dan kebunmu hanya bersisa 2 hektare itupun kalau hak waris jatuh ke kamu lewat bapakmu, karena kebunmu hanya 1,5 hektare yang kamu beli dari menjual kendaraan, kebunmu itu yang isinya ga jelas, pohon mahoni yang masih muda, komoditas pangan pun tidak sampai 100 kg ketika panen, dan kamu hanya bermain-main dalam percobaan atas nama inovasi dengan warga desa. 

Ini kehidupan nyata bukan coba-coba, hitung kerugian yang sudah kamu keluarkan. Ditambah alasan antropologis yang ga pernah logis di telinga ibu, kuasalah, negosiasilah, bencana ekologislah. 

Teman-teman seusiamu sudah punya banyak memiliki properti kepemilikan, mereka pakai mobil, tinggal di perumahan, sudah berumah tangga. Kamu ?

Bersepeda dan mengurusi kebun, kantornya shelter eta mah saung bambu lain gedung anu jiga di Jakarta geuning anak muda mun ka kantor teh meuni klimis hereupna teh starbuck ngaropi, maneh mah ngopi teh dina hawu di kebon geus we ga ada estetika digawe teh, 

Kadang bikin post-post pake tenda buat camping pertemanan pun bukan sama orang penting di daerah ini, tapi kenalan kamu isinya warga desa yang ga bersekolah ga berpendidikan, malah bikin repot kamu jadinya kamu ngajarin sukarela, hari ini itu uang yang bisa berbicara bukannya hal-hal sukarelawan.

Apa bedanya kamu sama tukang kebun lain. Itu kamu mikir kesitu ga sih ? Mendekati usia 30 tahun belum jelas afilasi kerjanya, setidaknya afiliasinya itu dikenal gitu sama warga desa. 

“Ibu ga perlu khawatir tentang afiliasi, dan angger we pajak/kikitir sagalarupa mah dilunasan. Kebun ini rusak karena terlalu banyak dieksploitasi berlebihan, bu.

Ditebang seenaknya tanpa menunggu fase yang pas, bahkan pupuk untuk mengkarbit komoditas itu adalah hal yang memaksa pertumbuhan.

Tapi baiklah uang hasil kebun sudah lebih dari cukup mengantarkan menjadi antropolog kalau lulus walaupun berhutang budi pada ekosistem kebun dan hutan ini. 

Dan dipastikan ibu bakalan kagum, kalau antropologi itu adalah pembuka jalan panjang menuju sistem yang berkeadilan dan berkelanjutan karena antropolog itu kritis bu pada apa yang terjadi saat ini.

Ibu sendiri yang ngasih tau kalau Pak Koentjaraningrat itu bapak antropologi yang mengagumkan karena peduli pada sosial dan budaya karena ibu kelas Sosial dulunya sebelum pindah ke sekolah kejuruan biar gampang kerja dan jadi pekerja yang ngurus taspen ge meni bikin pusing dan lalila. Fotocopy sagalarupa tapi berlindung dina nama electronic blablabla. 

Ya, ibu jangan lihat teman-temankulah, mereka itu kan ga bilang ke ibu kalau pakai mobil punya rumah itu belum lunas, lagian ini zaman modern bu, transportasi publik sudah banyak, tinggal pesan dan bayar sesuai tujuan. Itu juga mengurangi kemacetan bu. 

Saya itu cuma bisa menekan ego dengan menukar kendaraan bekas karena asap knalpot udah ga jernih udah mulek dan disitu saya merasakan ini saya membuang jejak karbon dari kendaraan, saya memilih membeli kebun dan menanaminya bu, keuntungannya untuk membayar magister antropologi kelak dan kalau cukup mau sekalian lanjut doktoral we sambil nyebor kebon ya ga bu ? dan untuk usaha lain yang ibu lihat sendiri kan sekarang udah sampai mana ? Atuh namanya juga komoditas mereka punya fase bertumbuh dan panen. Tinggal sabar bu. 

Dengan adanya kebun, warga sekitar jadi gampang kalau beli buah-buahan dengan harga murah. Dan mereka punya antusias bu pengen berinovasi mengolah produk kebun biar awet dan bisa disimpan. 

Tinggal banyak pelatihan, kan kalau cuma sama saya tenaganya ga cukup bu, makanya harus banyak kolaborator dan itu saya harus bolak-balik ke kota untuk menjemput mereka, setidaknya mereka mau menjadi mitra kolaborasi dengan bagi hasil yang ibu tau sendiri kalau saya banyak kegiatan daringnya. Walaupun suka diketawain kalau mengunjungi mereka cuma pake sepeda. 

Masalah rumah tangga, ga nikah wae mah kan lamaran ga pernah berhasil karena calon besan ibu teh ga mau menerima fakta kalau anak ibu ya memang menghabiskan waktunya di kebun dan sesekali dianggap gila.

Karena kan terhubung internet lagi zoom sama video conference menjelaskan beberapa slide di depan laptop dan ponsel itu kan lagi speed networking, kadang jadi speaker, kadang ngajar di college.

Tapi memang kalau sama orang kampung lagi walaupun anak pejabat daerah, ga cerdas mah ga cerdas we atuh, hoream kalau laki-laki ngan modal make mobil anu kolotna kitu mah buat apalah ari pas jalan ke kota ga ada bensinan, mending urang kana sapeda sakalina jajan dibayar lunas dan ga kesulitan. Jeung daripada mayar bensin batur mending meuli pakan manuk puguh-puguh eta mah maraban. 

Allah udah memperlihatkan itu teh orang manja bu, jeung ibu meni jiga kolot baheula pisan menjodohkan spontan kitu. Da ga suka ih, Ini kan era gig economy ibu. Pekerjaan bisa dikerjain dari rumah dan penghasilan bisa di transfer ke Paypal.

Ibu mah cuma taunya e-wallet produk perbankan aja kan sama saldo ojek online. Coba bu, berdaya dari desa, dari kampung ini bu, kita bisa pake teknologi tepat guna. 

Da atuh kerja dikota juga kan dulu kepotong sama biaya : kost, makan, transport, kebutuhan, biaya hal-hal kekinian yang itu teh menguras isi kas pekerja pemula ibu.

Sok lihat ku ibu, aya teu anu berpikir anak muda punya tanah terus mengolah tanahnya ? terus bebelokan ? terus kahujanan ? terus nginep di kebon bisi aya nanaon ? teu gengsi diajar ka patani, teu era latihan macul, ngored, nandur, ngahuma, naek tangkal kalapa teu make tali pelindung, eta teh skill lokal ibu namina.

Jeung da atuh sesuai lokasina bu. Kebon salak pan eta dihandap kudu cerdas kumaha carana sangkan teu kacugak, aya trikna eta teh ibu. Matakna ibu lamun ka kebon teh nyuksruk ka handap, lain selfie wae. 

“Iya itu teh anak pejabat daerah, kamu kan bisa meureun membanggakan diri kalau jadi sama dia, kamana-mana make mobil, dianteur, nanti kamu dikasih tuh, ieu mah pas didatangan ku calon besan, kamu kalah mamawa pacul, datang make sapeda, make kameja anu aya geutah nangka, gusti !!!! bari mamawa hayam jeung lauk, eta geus we ngerakeuna , itu teh bentuk penolakan kamu maksudnya ? 

Kamu itu banyak alasan, banyak kemauan, tapi suka menjatuhkan diri sendiri bahkan suka mempermalukan keluarga kalau lagi ngobrol, bahas indexlah, bahas report lah , ya mereka ngetawain yang ada, asa halusinasi dan apa coba kata ibu-ibu komplek ? 

Anak ibu itu cuma ngomong doang bisanya, mengkritisi dinas ketahanan pangan, nanaonan keur pandemi kieu ? mana nagih operasi pasar murah ai kamu teh kumaha sih ? ngerakeun eta kampanye kitu, parpol lain, tapi ngajakan mahasiswa pertanian protes kitu, untungna teu diperkarakeun. UU ITE pan, kumaha mun aya nanaon. Was-was ibu mah bisi kumaha onam. 

Lupakan isi-isi bacaan jadul koleksi ibu, udah lama itu mah jeung mamawa pak Koentjaraningrat jeung Selo Sumarjan, teu sopan pisan maca buku-buku ibu eta teh udah dikardusan buat dikasihin ke loak sama lomari butut eh kalah dipoe diasupkeun deui kana rak buku eta buku-bukuna. 

Kieunya, semua orang di desa ini sudah berpikiran maju dan sudah bosan dengan kehidupan bertani, ini lagi riset-riset kamu tidak pernah menjadi hal membanggakan, hanya sekedar presentasi, nyari dana, naon kamu teh bilangna seed funding ? 

Bahkan tidak menghasilkan dengan nominal yang mengagumkan, coba kebun itu dijual saja pada proyek pembangunan perumahan mumpung pemborongnya teh lagi ada di kantor cabang, walaupun uangnya dicicil 24x dalam kurun waktu 2 tahun.

Setidaknya menghasilkan uang dan silakan kamu nikmati uangnya dengan kebun mitra dan kamu bisa berpindah ke perkotaan, tanpa harus berinteraksi dan mengurusi kebun, siapa yang masih tertarik bekerja di bidang pertanian dan perkebunan seusiamu gini ? batur mah geus hayang maju ka karota, gawean ge ngota. Naha ai maneh kalah jiga jelema anu ketinggalan zaman geuning. 

Semuanya beralih pekerjaan ke perkotaan, temanmu ada yang menjual kebun dan isinya dan berprofesi sebagai taksi online dan pendapatannya lumayan.

Gadis-gadis seusiamu sudah berumah tangga dan bekerja di pabrik, jualan online, temanmu semasa berkuliah sudah menjadi ASN, Dosen honor,  pekerja PTT di berbagai instansi, dan kamu hanya mengurusi kebun dan bilang sabar bu, sabar bu, lagi diusahain bikin lembaga riset antropologi pangan, ditambah kamu mempelajari antropologi aliran marxisme naon eta teh ? 

Kata ajengan juga sesat !  itu dari mana kamu punya akses dengan antropolog ? ga akan bisa dari gizi ke antropologi.

Sudahi saja, itu hanya halusinasi yang akan berkembang, kamu harus sadar kamu itu orang kampung, ga ada mimpi-mimpi selain hidup lebih baik menjadi pekerja disini mah, ga ada antropolog di kampung mah ga ada. Ulah aneh-aneh, moal kaharti didieu mah, tuh al-qur’an diajar mah meh bisa ngajar di pesantren di lebak. 

“Ya atuh lamun cinta mah kan kudu narimakeun sagalana, termasuk kaayan urang keur mawa hayam jeung kondisina kan balik ti kebon, hujan nya kotor. Uyuhan eta ge garing di jalan.  

Iyalah itu teh sedikit self movement, mun ceuk bukuna James Scott mah Senjatanya orang-orang kalah, tah eta tampil kampung dihareupeun calon besan ibu eta teh bentuk protes ti budakna, yen budakna ga mau. Da atuh ibu nanti juga nemu yang sepemikiran, jadi kalem aja. Ulah hariwang. 

Balik deui ka kebon, da teu rame ngabahas percintaan wae mah, moal rengse. Keun we eta mah, dan urang mah ga kesepian, justru energi teh lagi bagus-bagusnya sagala dicobaan kumaha carana ngolah kebon ieu sangkan untung tapi teu ngaruksak kitu bu. 

Kebun ini masa depan kehidupan disini bu, hanya tinggal 10 orang pemilik kebun yang letaknya mengelilingi sungai Citanduy. 

Dan jika dijual semua, maka penggundulan hutan dan pembabadan hutan dan kebun ini akan menghasilkan dampak bencana ekologis bu, dimana letak kebun kita adalah kebun penyangga untuk resapan air Citanduy, eta watesna kebon salak. Sok ku ibu etang sabara puluh hektare mun dihijikeun.

Ibu yakin eta developer perumahan teh paham Analisis Dampak Lingkungan ? Okelah ada AMDAL, tapi ada ga Upaya Pengelolaan Lingkungan ? Lar lur kitu, da yang rugi masyarakat sekitar jeung kebon atuh bu ka sebred, jadi teu produktif ke, keur mah hese ngurusna ayeuna mah geus teu puguh hujan teh iraha stabilitas pertumbuhan salak juga terganggu bu.

Terus Ditanya Sustainability,  Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), jeung Site Plan ge hokcay. Naon eta teh ? Naon eta teh ? Eta developer borongan jeung bodong ibu ga memikirkan dampak ke depannya atas perbuatan hari ini. Ini jebakan bu ! 

Coba lihat kampung tetangga sudah banjir ketika musim hujan, dulunya kebun salak tapi semenjak jadi ruko kelontongan selalu banjir dan airnya menggenang sampai ke jalan raya arah Cimaragas – Bendungan Leuwi Keris, apa ibu mau bertanggung jawab atas bencana ini jika kebun kita hilang dan berdampak merugikan ? 

Hak waris bisa diatur bu, asal ada kesepakatan, itu bisa dinegosiasi, itulah fungsi antropologi bu, ini sedang dipraktikan, bahwa ada kuasa yang berpengaruh disini, fungsi aktor dan pewaris sah, dan anakmu ini masuk pada jajaran ahli waris ini, makanya tunggu dulu bu, izinkan menyelesaikan ini beberapa waktu saja, jangan dijual cepat, jangan terima DP dan cicilan ga jelas, bu. 

Sok ibu pengen beli apa gitu ? Da ibu ge teu jelas uangnya buat apa kalau ada ngajeblag ge. Da pengetahuan pengelolaan finansial dari aset itu harus bertambah atuh bu. Ga cuma nerima tunai terus disimpen, itu ga akan profit bu. Harus ada exposure dan perhitungan jelas tentang Roi of Investment kedepannya. 

Saha Jmes scott teh ? da sok ngajelaskeun anu urang teu nyaho. Semenjak kamu jadi aktivis perkebunan, pertanian, lingkungan yang gajinya dan honornya ga jelas sama sekali di lembaga yang ibu ga kenal juga namanya.

 Kamu jadi sakaba-kaba ga kaya dulu, layaknya dulu menjadi ahli gizi, selalu saja kamu yang berkorban atas nama lingkungan hidup, kekayaan biodiversitas, keberagaman, semuanya berproses-berproses.

Tapi dalam 5 tahun kamu hanya bisa menghasilkan 750 juta rupiah dipotong biaya pegawai harian dari keseluruhan kebun yang luas, amat sangat lambat ! Jeung eta duit gagabah kamu mah lain gura-giru meuli imah kalah dikana kebonkeun. Ampun teuing. cukup we kamu mah ku saung-saung kitu jeung camping, sakalina renov imah angker maneh mah. Kacida pisan ieu budak. 

Belum lagi pekerjaanmu yang nimbrung di kebun atas nama gastronomi hanya bisa mendapatkan hibah riset yang ga lebih dari 50 juta per ide yang kamu gagas, dan baru ada 5 ide, hanya terkumpul 250 juta rupiah pendanaan dalam kurun waktu 5 tahun semenjak kamu berhenti jadi ahli gizi, itu pun dipotong segala macam biaya pengembangan, biaya coba-coba, biaya analisis sagala dicobaan. Da moal percayaeun developer ge maneh kana sapeda kieu mah ih, kudu aya sihungan. 

Menurut ibu, jual saja kebun pribadi dan kebun mitra kemudian bagi hasil dan pembagian hak waris, dan kamu tidak usah bersusah payah menanami, mengontrol, dan mengurusi kebun yang sudah tidak produktif ini dan tidak menghasilkan. 

Bahkan amat lambat keuntungannya dari komoditas yang ditanam, kembali saja jadi pekerja yang digaji negara atau instansi swasta yang jelas peraturannya bahkan punya kesempatan pensiun, berhenti berimajinasi, udah ga mungkin lagi. 

Karir kamu mandet disitu-situ aja, ga ada yang bisa dibanggakan kalau hanya diam terus dikebun, da laki-laki ayeuna mah ga mau atuh gitu teh, maunya sama yang dandan rapi, geulis kitu, lain bebelokan kieu, ampun ieu mah ti isuk jeput nepi poek kakara balik ka imah ti kebon, astagfirulloh jiga saha atuh kamu teh ? 

“Jiga ibu, Tuh nya ibu mah, udah pake smart phone ge acan smart wae, eta teh antropolog jeung politikus nu ngajelaskeun masyarakat agraris, pan urang bu. Buku ieu ge pernah direkomendasikeun ku antropolog bu basa diajar Kebudayaan dan Kebijakan. Sihung sihung da lain bawang atuh bu. 

Ibu mah bacaanna teh hayoh we ngagugulung filsafat, bari jeung jauh teuing bahasana ge : Edmund Husserl, Jean-Paul Sartre, Betrand Russell, Carl Gustav Hempel, Wesley Salmon. 

Atuh sakalian we kagok bu eta mah ngabahas Filsafat masa kini dan filsafat pengetahuan, filsafat manusia deukeut jeung antropologi sakalian ngabahas dualisme Plato, Aristoteles, Descartes, Thomas Aquinas, Hegel, Karl Max , Cassirer, Hans Jonas, Saha deui nya euy, duh poho.  

Kagok edan bu Sakalian we bari ngabudah : Teori Hukum Kodrat meh ibu teh teu ngatur-ngatur wae da atuh jadi terdistraksi bu rek mempelajarina ge lamun teu diridhoan mah. 

Hukum kodrat, teorina ibu bisa tah maca deui meureun : Stoisisme, Positivisme. Atuh bisi ibu teh mandeg teruskeun wae kana Hak Azasi Manusia ceuk filsafat kumaha ? Termasuk pilihan budak ibu milih antropologi teh hakna bu ngarasakeun kenikmatan neangan elmu. 

 Jadi inget sejarahna Inggris eta baheula ngalaman The Bill of Rights lamun Prancis mah aya Revolusi Prancis geuningan bu anu organisatorna teh Marquis de la Fayette da prancis boga golongan status jelema geuningannya : kaum borjuis, kaum klerus, jeung kaum ningrat.

Tuh di Antropologi ge eta teh Clifford Geertz anu nulis The Religion of Java eta ngabagi golongan jelema, ibu ge apal kan bukuna ? Tah urang teh pernah ngerjakeun tugas eta ibu ih, resep pisan ngerjakeunana. Da puguh mah geus pernah maca, jadi babari. Duh euy jadi hayang maca Mojokuto mun keur ngabahas dinamika sosial teh euy. Tah eta bu. Da atuh boga karesep masing-masing. 

Ini kenapa antropolog pangan perlu hadir bu di wilayah ini, Tasikmalaya yang sedang bertransformasi, Matakna lembaga urang dipindahkeun ti Jakarta ka Tasikmalaya teh eta bu, aya konflik tanah anu nyangkut kahareupna. 

Setelah banyak kemelut di kebun ini bu, selain mengkaji beberapa permasalahan, mengkritisi arogansi dari orang-orang yang tidak mau bersusah payah, maunya hasil instan saja.

Lokasi ini terdiri dari :  perkebunan, hutan, sawah, dan masih banyak masyarakat lokalnya yang bergantung pada kebun ini bu untuk menyambung hidup, dan dengan keberadaan mereka proses tumbuh kembang komoditas terjaga.

Tingali ibu pakis nu dihandap salubur, da dirawat, diatur, diberesan ku warga anu barutuh. Teu dibeakkeun. Eta teh ngabantuan jaradi deui. Keur mah liar pan eta pakis teh. Geus ditumis mah ngeunah, ayeuna ibu lamun ka Pangandaran, makan seafood ibu beli tumis pakis sabaraha ? 30 rebu kan ? di kebon mah gratis, asal daek nyokotna. 

Memang masyarakat desa di sekitar kebun hanya bisa melakukan apa yang mereka bisa secara turun-temurun bu, kalau kebun ini dijual untuk dijadikan perumahan, maka ibu sudah merusak lingkungan berlapis-lapis bu dan mematikan beberapa warga yang ketergantungan dengan sumber daya alam di sekitar hutan ini bu, emang ibu mau jadi saksi kalau kerusakan lingkungan ini berdampak cepat ? Paling ge ibu mah bilang : “Takdirna we, Qadarullah kudu kitu” eta mah jawaban pasrah ngarana. 

Mereka itu peternak yang merumput di kebun ini, pencari jamur hutan untuk dibuat pais supa lember dan dijual di warung nasi desa, para pengambil iwung untuk kebutuhan hajatan warga dan syukuran dan bekal makan petani ke sawah. 

Petani salak yang hanya bisa mengambil salak dan mengurusi salak semasa hidupnya, dan peramu obat-obat tradisional masih tergantung hutan dan kebun disekitar ini bu, nyari :

  • sambiloto,
  • alang-alang,
  • bangle,
  • bidara upas,
  • binahong,
  • cakar ayam,
  • cincau,
  • ciplukan,
  • cocor bebek,
  • daun dadap serep,
  • daun sendok,
  • eceng gondok,
  • gambas,
  • jarak tintir,
  • kecubung,
  • kelor,
  • kemuning,
  • kenikir,
  • ki tolod,
  • krokot hejo,
  • lada,
  • lagetan,
  • lempuyang,
  • lengkuas,
  • mengkudu,
  • nanas merah,
  • pecut kuda,
  • putri malu,
  • pegagan,
  • salak,
  • salam,
  • sereh wangi,
  • sereh hejo,
  • soka,
  • tapak dara,
  • temu hideung,
  • temulawak, jeung eta naon atu sok digerus teh orok-orok hitam tea pan eta teh aya di kebon jeung manfaat, ngabantuan panyakit warga, jeung urang ge sok mawa pan, angger we ibu mah beli lagi bumbu bubuk kemasan da praktis ceunah. 

 Kalau mereka dipaksa berhenti pasti akan banyak protes dan nasib kebun ini akan banyak problema, asa dosa bu mun kudu kieu teh, nyeri hate da bu pasti engkena teh, butut we silaturahim teh. 

“Ulah sok maca buku-buku ibu da atuh jauh teuing gizi ka filsafat mah, jeung da eta mah beheula diajar filsafat soteh da incu wadana mah loba buku-buku nu kitu, ibu teh dibere ku nini mami baheula, nya daripada ulin ibu resepna maca sabisa ibu. Nya da jiga maneh nurun bedegongna ti urang teh, tapi ibu mah nurut mun ceuk kolot ulah asup filsafat, nya teu asup. 

Ayeuna kamu ceuk ibu naon ? Jadi Antropolog teh bakal nganyerikeun engkena. Komo kamu jadi teu diwaro di gizi mah,da aneh sorangan, loba teuing mengkritisi. Emang ibu teu nyeri hate budak ibu dikitukeun ? Dianggap teu waras ? 

 Jeung eta sok disambung-sambungkeun kanu antropologi sagala da teu nyambung ah, mancing wae hayang ibu nyarita. 

Kieunya, Revolusi Prancis mah gerakan dunia puncakna teh pas tahun 1948 di Paris, jeung ngarana ge da The Universal Declaration of Human Rights atuh, jeung nu dibahasna ge : politik jeung moral, eta teh tina euforia meunangna sekutu pas World War II. Aya nu kurang kamu ngabahas revolusi prancis ! 

Sok baca deui Nazizme Jerman jeung Fasisme Jepang. Eta aya kaitanna. Kakara bahas hukum kodrat make teori. Jeung mun rek dibahas tina antropologi, kamu teh kudu loba riset data sejarah atuh, mun ngabahas HAM. Kurang jero ngulikna, antropolog mah hiji jero

Aya konferensi Wina matakna ayeuna pan aya UN Commissioner for Human Rights, kamu geuning sok nembongkeun stiker relawan baheula keur pengungsi mun ayeuna mah kan trending twitter #saverefugee. Baheula eta komisionerna Mary Robinson mantan presiden Irlandia, ahli hukum eta. Alus pembela HAM, presiden awewe tah. Ibu resep macaan nu kitu baheula mah. 

Terus maneh rek nuluykeun antropologi kamana ? Da kudu kuliah deui, engke teh dikekesek di antropologi da bahasan maneh teh gizi, pangan, dahareun jeung kebon. 

Beda deui ke teh. Emang sanggup ? Budak ibu dipoyokan deui engke. Ceuk Antropologi teh, paradigma teh teu nyambung. Rek kumaha ? Cik atuh hirup teh sing santai sing damai. Ieu mah melawan arus wae da. Mun gizi geus we gizi. 

Geus ulah ngabahas filsafat, lieur. Moal kataekan kudu sakola jeung ngahiji jeung filsuf. Sarua atuh jadi filsuf ge euweuh duitan pan anggapana teh kitu baheula. Moal payu di kampung mah menelisik kanu euweuh duitan mah, da moal aya nu ngagaji pemikir. Sing beunta ! 

Balik deui ka kebon nu realistis, Dijual tahun ini masih pada kisaran 2,8 Milyar kamu tidak ingin uang sebanyak itu ?

2,8 Milyar ini akan dibagi menjadi hak waris, Developer perumahan menawar keseluruhan itu 2.7 Milyar, kamu harus punya lebih kalau mau turut andil, ga punya kan duit sebanyak itu ?

Ayeuna kas kamu karek 1 Milyar tina sagala rupa mun diduitkeun kan ? . Okelah ti hak waris katutup 1,5 Milyar. Sok sesana bisa teu 300 juta rupiah kaburu aya dalam waktu dekat ? 

Teu leneng neangana ? jabaning kamu mah embung nginjem teh, hayang menjauhi riba we gawe teh. Sok teangan mun rek tereh beres mah ! 

“Geuslah eleh ari ngabahas filsafat mah euy ampun, Atuh sakali-kali ibu teh terangkeun bejaan ka budak ibu tentang : Kuasa yang harus dipisahkan versi Montesquieu ! Ibu kan boga bukuna L’esprit des lois, puguh kan hese macana bu ? da ibu teu belajar bahasana, tah eta teh urang macana make aplikasi terjemahan da hese.

Matakna bu ilmu itu teh ga terbatas. Yang membatasi ilmu itu diri ini bu. Asa kurung batok kitu, atuh ceuk biyung sepuh ge kudu bodo alewoh lain bodo katotoloyoh. Tapi buku eta teh ngabahas hukum kongkret kan bu ? cocok yeuh jeung permasalahan ayeuna. 

Tunda dulu bu, proyek riset bisa kok sampai segitu, tapi memang perlu waktu, tempat kerja sim kuring teh kapanan sedang berusaha tidak berhutang jika memang ingin untuk hak waris kebun mitra karena pemiliknya  sudah tiada dan itu adalah biyung sepuh. 

Ceuk biyung sepuh ge teu kudu rusuh, kebon teh keur paulinan barudak, keur tempat merenung akan kekuasaan Gusti Allah, tah eta ibu lamun biyung sepuh nyarios diregepkeun. 

Jeung biyung sepuh ge teu masalah mun incuna mawa antropologi bahkan ceuk biyung sepuh ge bae diajar antropologi faham-faham sejenna, asal tong poho ngaderes, nya ngaji tea. Puguh ge, Asa bijaksana keneh biyung sepuh da tibatan ibu, cacakan biyung sepuh teu kuliah ngan nepi SGB samemeh nuluykeun ka Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). 

“Da sok kokorotak ai keur beberes teh, hukum kongkret mah deukeutna jeung sosiologi lain antropologi, Ngabahas sistem politik, mun hayang nyaho mah nyaritakeun pemerintahan : Republik, Monarki, jeung Despotisme. 

Tau kan despotisme ? Awas mun teu nyaho ! Geus pernah ku ibu diobrolkeun basa dahar kupat tahu mangunreja ! Malaweung berarti maneh teu ngaregepkeun naon nu ku ibu obrolkeun. Sok malawidang da ai kolot keur ngomong teh. 

Kela, naha make tunda dulu ? Proyek seed fundingmu kata bendahara baru sampai 850juta rupiah itupun kamu potong 100 juta untuk sekolah antropologi jeung teuing dimana deui sakolana ge can jelas kamu jeung babaturan kamu bebeja ka ibu.

Magister emang mahi 100 juta ? Di Indonesia eta teh ? Awas mun rek indit ka Eropa, ka Leiden mamawa duit saeutik kitu, moal mahi. Ulah maksakeun omat. Jadi gembel engke kalah buburuh, lain kuliah.

Di Indonesia ? Kampus di Indonesia ? Nu mana ? ke teh maneh dikekeak geus puguh, cik saha guru besar nu nyahoeun kana kegiatan maneh ? paling ge dianggap kegiatan kampus biasa. Geus lah sok teangan we duit keur nutupna meh rengse. 

 Mau jadi apa kamu dengan meneruskan antropologi ? 100 juta bisa dipakai hal lain, kamu kenapa ga pake beasiswa kaya anaknya Pak Eman ?

Kamu bodoh atau bagaimana sampai tidak dapat begitu ? da perasaan beasiswa teh loba, naha ai kamu sok mayar make duit sendiri wae ?

Geus katebak ku ibu, maneh teu pernah bisa deukeut jeung orang penting di kampus ! Liar wae tuda ieu budak teh.

Ulah idealis teuing atuh cik, surat rekomendasi ge maneh mah ti babaturan maneh. Batur mah gaya ti Profesor, ti dosena.

Da maneh mah kitu teu dikenal. Kuliah teh geus we kuliah teu jiga budakna pak Eman. Budakna pak Eman mah jadi kepercayaan dosen di kampusna ge, maneh ? dicarekan deui ku dosen teh dicarekan deui.

Geus montong kuliah. Sakali-kali mah ukur atuh IQ maneh bisi teu mampu kanyataana. Apalagi ini sosial humaniora, da kudu S1 na ge antropologi hayang S2 Antropologi mah. Ke maneh beda sorangan, ngulang, nilaina barutut.

Ah geus we, Repa maneh mah sok ngaco !  Sarua babaturan maneh gawe ge, ngomongna teh jiga maneh di desa ngabahasna kecerdasan buatan, algoritma, da teu kaharti ! 

“Apal, politik absolut kan ceuk ibu, penguasana hiji tapi memerintah/berkuasa sakahayang manehna sorangan.Jiga ibu di rumah kitu. Beasiswa itu untuk yang tidak mampu dan beneran brilian bu, ibu sendiri bilang kalau mampu pakai uang sendiri mengapa tidak mencobanya.

Tah tempat gawe boga profit sakitu jeung berani mencairkan itu, da babaturan urang mah solid bu, ceuk urang teh adakan dana untuk upgrade potensi dan sumber daya manusia. 

Urang cobaan nyakolakeun nepi tingkat strata 2, dimimitian ku urang bu. Geus plus plos. Saking naon bu ? Saking teu dihargaan ku kampus di Tasikmalaya mun rek jadi pembicara di kampus kudu magister jeung doktoral.Jadi urang teh sumanget bu semakin tinggi pendidikan, kesempatan makin banyak. Tah jiga ibu kumaha karaosna mun pendidikan tidak bisa dinikmati ? 

Urang mah atoh bisa mayar kuliah tina kas sorangan teh. Asa puas we teu jadi pengemis dana pendidikan bari jeung ngaku teu mampu tapi ka kampus make honda jazz. Nu kitu nyah nu disebut miskin teh bu ? eh naha jadi ngomongkeun budakna pak eman, ibu sih hayoh wae membanggakan anaknya pak Eman.

Heueuhlah budakna pak Eman kebanggaan ibu. Sakali-kali taros ku ibu, basa keur SD eta kertas toronan diselapkeun dina wadah patlot nya meh meunang peunteun 90 ? bejakeun ceuk urang babaturan sabangkuna. 

Hayoh we nanya teh mau jadi apa ibu mah. Ya mau jadi antropolog bu, Ke teh lamun udah lulus, daftar keanggotaan asosiasi antropologi indonesia , hade pisan.

Sok tingali ibu dina google AAI didirikan tanggal 12 Maret 1983. Tanggal lahir saya bu 12 Maret 1993. Cirining naon bu eta ? kabeneran we nya hahaha, ulang tahunna ke teh bareng jeung urang. Asa bahagia bu. Born to be anthropologist ahahaha alus kan bu ? Ibu ! Anak ibu bakalan jadi Antropolog, kahayang urang 10 tahun yang lalu, sakeudeung deui yeuh. Urang mah geus mineng nulis etnografi. Ibu bisa teu ? 

Tempat kerjaku walaupun kecil menyetujui itu dan membantu sisanya kalau ada kekurangan karik mayar ka kampus, naha ibu jadi riweuh ih. 

Dan kami sedang mencoba mengembangkan lembaga riset independen antropologi pangan dan gizi di kebun ini, tingali atuh ku ibu eta aktana di notaris anu babaturan ibu geuning, jeung mahal deui sugan teh teman ibu teh rek mere diskon pelayanan.

Nanyakeun kumaha mindahkeun SIUP wae mayar gocap ka asistena. Wah euy pemalakan. Jeung nanaon teh aya bayaran per jasana. Nya ngarana ge neangan duit nya bu. 

Memang shelter ini masih kecil bu tapi kan atuh bisa diakses pake website bu ayeuna mah bahkan di Silicon Valley mah geus make virtual office duh euy urang tinggaleun we nu nganggap kantor teh penting, padahal mah kinerja orang-orangnya bu yang lebih penting sama perangkat yang digunakan yang tercanggih, jeung ibu teu kudu riweuh we ayeuna mah, jeung ga usah overthinking. 

Ya, walaupun ibu sering mencela kalau kantornya jelek dan ga terkenal, tapi kami merangkak mandiri bu tanpa dukungan orangtua sama sekali, murni dari menyisihkan sisa-sisa gaji semenjak jadi pekerja yang ibu sukai ahli gizi baheula, dari sini ibu bisa lihat kan sudah sampai mana rekam jejaknya, makanya kebun ini adalah harapan banyak pihak, ibu bisa coba lobby penerima hak waris untuk menunda dulu, memangnya mereka perlu sekali dana bu ? 

Da buat apa atuh uang eta ih matak rieut jangar. Emang keur naon atuh duit teh rek dibeulikeun naon meni rusuh kitu kudu dibagikeun jadi hak waris, cik atuh tunda dulu, da keur aya kegiatan konservasi ku barudak kebon teh, keur dibebenah, keur dibere pupuk karak ge rengse.

Da bu eta teh 2,8 Milyar dibagi 4 nyah ? lah saeutik. Paling ngan 700 jutaan saurangna, Cik ayeuna mah rek didata ku urang bu pewaris mana nu hayangeun rusuh duitna. Nu henteu rek diobrolan sina ngasaan hasil kebon keneh, tidak ada yang berubah ! sama ketika biyung sepuh hidup kitu bagi hasilna. 

“Ibu ga mau tau, kamu sampai tidak ke angka 300 juta rupiah dalam 10 bulan ke depan keur ngajejegkeun ? kalau tidak, pewaris kebun mitra akan mengiyakan developer perumahan dengan harga 2,7 Milyar untuk kebunmu dan kebun mitra.

Pek eta mah hadapi da lamun biyung sepuh geus euweuh mah dibagikeun meh rengse kabeh jeung jelas. Naha ieu pewaris bedegongna naudzubillah. 

Harusnya kamu bekerja pada pekerjaan yang menjamin kehidupanmu, bukannya malah  mengikuti idealisme yang selalu kamu banggakan, antropologi , antropologi, dan antropologi, eta ti mimiti kuliah gizi pipikiran teh hayoh we etnografi, etnologi.

Ai gizina maneh teh ga fokus kitu. Lihat itu rekanmu lulusan antropologi atau sosiologi atau kesos kitunya ibu lupa, dia hanya bisa menjadi wartawan lokal dan kena phk karena pandemi dan bekerja di kebunmu sekarang sebagai asisten kamu ko etah, berarti ga cerah eta masa depan antropologi teh. Jeung kamu deui narima we, kumaha sih hihitungan teh.  

Silakan berkemas saja sampai bisa membuktikan bahwa antropologi itu memang jauh lebih baik dari gizi dan pekerjaan lain, kamu terlalu berhalusinasi da lila-lila teh, lembaga independen teh, kamu saha ? da kudu jelema gede atuh, cik ngaca sakeudeung mah. 

“Ibu lupa kalau dari bahasan antropologi dan gastronomi inilah, rezeki ini mengalir, coba lihat bu sarjana gizi itu bertransformasi bu masuk liputan unesco, ibu ga bangga gitu ?

Ibu bilang dong ke warga yang selalu nyuruh sarjana gizi kerja di puskesmas perbatasan kabupaten, dimulai dari naskah etnografi kampung naga bu, cerita antropologi ini dimulai, merambah ke kebun, membahas gastronomi, dan akhirnya kesempatan tak terduga berdatangan bu.

Bahkan sekarang sudah ikutan berbagai member dialogue di ranah sosial humaniora benua lain jeung urang bahasana ge antropologi bu yeuh dangukeun heula ibu :

  • pendekatan holistik -komparati kebiasaan makan,
  • Perbedaan budaya dan perilaku makan, makanan dan lingkungan 
  • Antropologi Gaya hidup anu make Model perilaku konsumsi pangan bahwa didinya aya struktur rumah tangga nu ngabahas identitas suku, kepercayaan. Pan atuh kedah nganggo elmu antropologi ibu.  

Masa ibu ga bangga sedikitpun dari pencapaian ini ? Da ada bu profesor antropologi itu mengucapkan bangga terhadap pencapaian ini sama antropolog senior memberikan selamat gitu, ai ibu mah henteu kalah bilang lah ngan kitu, ngan kitu teh da diseleksi ibu melalui berbagai proses kurasi, ai ibu. 

Nilai-nilai akademikku juga lumayan ga memalukan cacakan lain ti antropologi urang mah, diajarna ge otodidak macaan e-book dina kindle. Bakat ku hayang bisa diskusi bu jeung antropolog jadi kudu loba maca. 

Mun ibu teu ngaridhoan mah wios we, ieu antropologi tinggal meakeun programna, da moal nanyain ke ibu mata pelajaran antropologi mah ih aya ahlina ibu, geus eta mah geus we bu. tapi kasih kesempatan buat nyobain yang lagi dijalani we heula, keun eta nu 300 juta perak mah urang maksimalkeun tina kebon jeung ieu otak urang sina ngebul ngiluan hackathon, pitching jeung ngaberdayakeun deui warga, atuh taspen ibu satengahna bisa meureun ngabubungah hehe. 

“Ya, Kamu memang kepala batu, ibu sudah ingatkan jika lintas jurusan kamu akan banyak sakit hatinya nanti, mulai dari berbeda pandangan, teman yang tidak sefrekuensi, banyaknya hambatan karena mengejar ketertinggalan, dan belum ada jaminan pekerjaan mendatang kan ? 

Nya sok eta tina taspen satengahna cokot we hijikeun angger kurang keneh, Kamu banyak gagalnya, dan silakan renungkan untuk hal-hal percobaan itu, kamu itu perempuan, pikirkan juga bagaimana kamu berkeluarga, berumah tangga, dan kehidupan nyata, bukan malah mencoba berbagai hal.

Unesco itu hanya liputan biasa dengan hibah tidak terlalu banyak dan ga nutup harga tawaran developer, ibu ge bisa asup kana liputan kitu mah. Lagian warga desa disini tidak tahu apa itu unesco, mereka akan bangga jika kamu jadi pejabat publik, ehhh… kamu mau kemana ? eta mamawa kantong rek ka gunung mana deui wae ? Hujan ! 

“Ke ATM , ngambil gaji hasil nulis riset sosial humaniora tentang eco-feminism yang dipresentasikan di University of Leeds basa eta, keur di kebon ge urang mah menyempatkan diri keur nulis kajian antropologi lingkungan dan feminisme mah da beuki teu jiga ibu mun ka kebon teh lebay, sekalian camping ngejagain kebun udah mumet ditagih kesuksesan utopis sama lansia modern kaya ibu. 

Lagian kebun kan harus diolah agar menghasilkan kata ibu, sembari nulis etnografi buat Kelompok diskusi Agroteknologi ETH Zurich dari yayasan swasta eropa nu pararuguh mere duit, teu jiga ibu nyarekan wae budakna. 

Dan itu kajian antropologi pake pendekatannya ya ibu anu geulis sajagat twitter, ibu ga bakalan ngerti, jadi ibu mendingan masak nasi leumeung aja buat persiapan idul qurban, nasi leumeung kok di kompor gas, di hawu atuh ibu masakna. 

Bahkan ibu udah ga lokal banget sikapnya semenjak ibu punya ponsel pintar dan gabung sama geng rumpi perumahan dan pensiunan yang banyak melakukan feodalisme sama keluarganya sendiri”

Kamu selalu memaksakan kehendak yang terlalu berisiko, apa tadi kamu bilang ? kuliah antropologi ? nilai akademik ?

Si eta mah sok ngaleos-ngaleos bari jeung teu puguh pengumuman teh, keur kuliah deui atawa kumaha hey ! ai ieu kumaha surat kuasa ieu teh ku ibu tanda tangan atawa henteu ? ai budak kalahkah indit. Naon tadi teh jurih jurih, geus gelo eta budak. Repa ! Repa Kustipia ! 

(10 menit kemudian)………………..Naha balik deui ? 

Mawa terpal da camping urang teh di kebon mahoni, mekel korek da loba reungit. 

“Yeuh atuh bawa magicom leutik” 

Ai ibu, listrikna dicolokeun kana irung ? 

Warisan Terakhir dan Problematikannya : 

Banyak sekali yang terjadi di awal tahun 2022 dan saya mencoba merangkum ini, karena apapun yang terjadi sebagai manusia memanglah harus tetap bernafas, untuk menghilangkan sesak dan keruwetan, masalah ini akan dielaborasi tentunya dengan solusi terbatas, sebagai calon antropolog, saya hanya yakin bahwa perlahan masalah akan terurai, namun tidak berhenti mengkaji, itu yang saya lakukan, walaupun hanya bergerak 1 meter, hanya berdiskusi 1 kalimat, bahkan berdiplomasi 1 jam yang penting melakukan sesuatu :

“Tidak boleh menyerah begitu saja pada ancaman, tekanan, sekalipun bermasalah dan kritis, ada metode tambal sulam, jadi hadapi dengan kejernihan pikiran dan tetap tenang agar sesuatu yang solutif mudah diaplikasikan…..”

  1. Pekerjaan Utama, pukulan telak ketika IPK semester 1  tidak mencapai 3,75 (saya baru mengetahui kalau untuk non-antropologi ketika ingin berkecimpung di antropologi haruslah cemerlang, dan di buktikan dari nilai akademik) , karena dibalik IPK-IPK ini ada ancaman serius dari pemutusan hubungan kerja dari lembaga independen yang bergerak di bidang sistem pangan dan perkebunan yang memberikan izin belajar dan mengelola proyek mandiri, pengganti sudah ada dan lebih cemerlang (dia lulusan luar negeri dari SOAS LONDON jurusan ANTROPOLOGI PANGAN, mengapa yang blasteran sering mudah mendapat posisi pekerjaan di Indonesia ini ?). Apa saya ga syok ? Ga lah, saya udah terbiasa dijadikan objek komparatif studi sama lembaga ini, dia akan sangat mudah menggeser posisi saya, jika saya gagal dalam studi ini, dan saya sudah menyiapkan naskah perpisahan jika saya tidak mampu melewati. Saya bertahan dengan tetap mencoba outstanding dalam kiprah pembuatan laporan kerja, berikut juga mengikuti call paper dengan sempoyongan karena tidak ada penulis tandem atau Second Author. Denda pun sudah dibayar lunas dengan tidak menerima gaji 3 bulan, oh mantapnya, untungnya saya masih memiliki sisa-sisa gaji menjadi ahli gizi selama 5 tahun yang lalu dimana bekerja di bidang gizi ini membuat saya tersiksa lahir batin menerima perlakuan ekologi sosialnya yang sangat jenaka dan tidak manusiawi pada waktu itu. Berangkat pagi pulang magrib. Selamat menua di jalan !
  2. Wirausaha Sosial yang terancam berhenti setelah 10 tahun berproses karena pemiliknya meninggal dan jadinya menjadi hak waris kebun mitra yang berpindah dan inilah yang memusingkan segala lini, saya bertahan dengan metode kompetisi dengan memaksimalkan semua kemampuan : analisis, membuat laporan, membuat proposal bisnis, memperbarui pitch deck, hackathon dan dana mitra kolaborasi. Total harga kebun mitra dihargai 2,7 Milyar dan dari uang kas Wirausaha sosial tertutup 1 Milyar, sisanya para hak waris memutuskan meneruskan proyek kolaborasi sebanyak 1,5 Milyar. Sisanya 200-300 juta rupiah harus berlomba dengan penawaran para developer perumahan di wilayah kebun mitra. Saya mencoba berkonsolidasi dan membuat gagasan adopsi aset benih dari kebun mitra dan 225 juta tertutup. Tinggal sisanya adalah 75 juta, Darimana ? Kami memutuskan menebang pohon mahoni yang menua dan melakukan konservasi darurat dengan penanaman benih durian yang disuplai dari kolaborator baru dan semuanya kami lakukan tidak lebih dari 1 bulan.
  3. Data Unpad terkunci,hal yang menyebalkan adalah membuka paus unpad yang selalu berganti password karena sinkronisasi email dan perbaruan data sehingga menutup akses data : email, drive dan blog. Solusi ? bukan antropolog kritis kalau tidak bisa membuka sistem ini, saya mendatangi warnet dengan bersepeda dan meminta tolong bukakan akses paus unpad karena bagi saya tidak memungkinkan datang ke IT Unpad, jauh sekali dan repot di persyaratan protokol kesehatan jika menggunakan transportasi publik seperti kereta api atau travel. Saya hanya punya sepeda karena memilih tidak membeli transportasi pribadi, saya memilih kebun ! karena itu sumber kehidupan selanjutnya yang perlu diselamatkan segera ketika menghadapi ancaman. Karena efeknya berimbas kepada tenaga kerja harian yang mengolah hasil kebun.
  4. Batal menikah lagi, ini sudah kali ke 5, mengapa dalam hidup manusia harus ada fase ini ? sebagai manusia yang sudah gagal beberapa kali ke jenjang ini karena berbagai alasan pembatalan dimulai dari : pekerjaan perempuan yang berkebun, diskriminasi bentuk fisik, dan wanita yang idealis sudah terasa biasa saja. Saya hanya butuh waktu 3 hari untuk camping dan tanpa notifikasi, gimanapun juga, saya masih merasakan reaksinya. Tapi ini tak seberapa, secangkir kopi tubruk dan tembakau mole bisa menghibur saya, dan saya tuntaskan masalah asmara ini dengan menghadiri pernikahannya dan saya memilih kambing guling dan hidangan zupa soup, kemudian pulang dengan mampir dulu ke warkop deket Cirahong, rupanya saya lapar, semangkuk mie rebus ala kampung tersaji dan saya kembali bergegas pulang. 
  5. Adik (termasuk tim wirausaha sosial) yang kritis di ICU dan akhirnya 3 Agustus 2022 meninggal karena meningitis dan setelah melewati operasi di bagian kepalanya, Sebelumya pengganti orang tua pun meninggal. Seakan-akan menjadi dewaasa itu tidak hanya bebas dari finansial belaka, tapi bebas pikiran hal-hal mengharu biru seperti ini, dimana Ruangan ICU tidak pernah memberikan kegembiraan untuk saya, saya banyak kehilangan orang-orang yang dekat dengan saya di ruangan ini.  Menjadi dewasa itu apakah selalu dihadapkan dengan cobaan ? Tapi saya harus tegar dan menyerahkan semuanya ke Sang Maha Memiliki, semua yang hidup memang akan kembali pada Penciptanya.
  6. Tugas Prof Oekan (studi kasus bantar gebang) yang hilang di paus unpad dan data turlap yang terkunci, ini petaka dimana saya hanya bisa mengetik ulang dan membuat ulang dari data-data yang terkumpul, di hati dan pikiran saya selalu yakin bahwa Antropolog selalu punya jalan keluar. Sesimpel itu menyemangati diri sendiri yang sedang ambruk, dipermainkan nasib, menelan realita, dan menikmati ujian, Mungkin Tuhan sedang rindu. 
  • Dimulai dari Kematian biyung sepuh yang meninggalkan banyak peristiwa dan kompleksitas problema ekologi manusia yang sebenarnya dimana jika dihadapi seorang diri ternyata membuat pusing tak karuan, berputus asa, dan terkadang merasa kehilangan identitas profesional karena penilaian sekitar, hal ini disebabkan oleh lunturnya kepercayaan, tapi ini konsekuensinya. Bahkan konsekuensi terburuk adalah ga jadi antropolog jalur pendidikan, tapi, itu mental anak kampung biasa. Saya hanya perlu jeda sejenak, dan menyusun solusi alternatif. Seperti yang dilakukan para antropolog-antropolog dari Inggris, ketika sedang menghadapi banyak masalah dan kebuntuan, mereka melakukan patchwork research and ethnography, dan inilah etnografi dan antropologi tambal sulam yang sedang saya hadapi.
  • Itulah percakapan seorang sarjana gizi yang tidak bekerja sepenuh hati di bidangnya, semenjak mengerjakan catatan lapangan etnografi pertama kali dari mata kuliah gizi dan pangan di Kampung Naga, Tasikmalaya pada tahun 2012 dengan berbekal buku Observasi Partisipasi karya J.Spradley dan menuliskan catatan lapangan dengan cara membuat jotting notes/jotted noted, antropologi ini adalah bidang yang sangat mengagumkan karena dituntut berpikir kritis terhadap fenomena yang terjadi, syukur-syukur bisa membuat solusi alternatif, lebih cemerlang lagi memberikan rekomendasi kebijakan, terutama pada sistem pangan dan program-program gizi dan kesehatan dari lokal ke global dimana hal ini banyak terputus di pertengahan jalan.
  • Februari 2022 adalah babak baru untuk memastikan konsentrasi pilihan berbagai studi yang akan dieksplorasi lebih jauh bersama para ahli, ada berbagai pilihan yang membingungkan. Dari ruangan kecil di tepi kebun ini yang berisi tumpukan buku-buku lama tentang sosial humaniora mengikuti berbagai fase kehidupan baru dengan cara pandang baru. Dan itu lebih menenangkan, setidaknya sudah berinteraksi dengan antropolog beneran. Ternyata, cobaan hidup anak desa bukan hanya soal prestise saja yang harus dihadapi setiap hari, tapi afiliasi pekerjaan dan lokasi bekerja, apa salahnya dengan berkebun mandiri, bertani dan melakukan pekerjaan kasar namun predikatnya sarjana. Sarjana itu kan hanya gelar akademik saja, di kebun inilah semua kontribusi pemikiran, ide baru, dan ilmu pengetahuan lokal terus berkembang.
  • Maret 2022, layaknya manusia pada umumnya, manusia pun menggunakan kalbunya untuk mencintai sesama manusia, dan terpaksa berhenti setelah mengetahui masa depan antropolog itu tidak jelas, sebagai putra tunggal pejabat publik lebih menyukai perempuan berseragam dan kantornya jelas, bukan mengolah kebun. Pembatalan lamaran dan pernikahan pun terjadi dan untuk mengolah patah hati ini ada 1000 bibit unggul ditebar dengan metode jajar legowo secara manual, dan baru selesai Juni 2022, semoga ekologi ini bertumbuh dan 1000 bibit ini adalah bibit mahoni agar lima tahun kelak menghasilkan pundi-pundi pendapatan yang bisa berguna bagi berbagai kebutuhan hidup manusia jika siap tebang.
  • Mei-Juni 2022 adalah masa-masa kritis karena jarak kebun dan rumah sakit itu amat jauh sekali karena waktu tempuhnya 30 km, itupun menggunakan kendaraan pribadi, ada salah satu anggota keluarga pengganti orang tua dan inilah pemilik kebun mitra dari wirausaha sosial yang sedang berjalan, yang pemikirannya selalu bijak dan inilah yang menyemangati untuk tetap fokus menjadi apa yang diinginkan, “selagi kesempatannya terbuka lebar dan individunya mampu dan minat, kerjakan saja sampai tuntas”.
  • Ruang ICU tidak pernah menyegarkan rupanya, bahkan ketika mengikuti perkuliahan daring yang mengharuskan presentasi mandiri sudah amat tidak fokus dan hanya ingin menyudahi perkuliahan, beberapa pasiennya pun selalu tidak terselamatkan, di tengah gentingnya ujian dan tugas-tugas akademik daring dan beberapa pekerjaan perkebunan yang sangat banyak, disitulah mental manusia dewasa sedang diuji, belum lagi masalah hak-hak waris dan gempuran para developer perumahan yang memang terus menggoda agar menjual lahan kebun secara murah dan pembayaran cicilan, hal inipun ditunggu oleh kebun mitra harganya karena harus dibagi waris, sedangkan masa depan warga desa itu adalah kebun, hutan, dan ekosistem sawah yang sudah menyatu semenjak lama. Bulan juni memang hujan, tapi setelahnya meninggalkan pelangi.
  • Juli 2022 adalah fase detoks diri atas apa yang terjadi dan hanya bisa beristirahat dari kemelut yang ada, patah hati karena segmentasi afiliasi, pekerjaan kebun yang merugi karena waktu panen tidak pasti, komoditas kayu siap tebang yang sangat ribet aturan administrasi daerah dan banyaknya pungli serta pembayaran kredit dari para pembeli dan pemborong sangat-sangat tidak ramah, bahkan mengurusi hak waris dan administrasi kematian pensiunan guru dihabiskan hanya dengan mengantri dan ditunda-tunda. Luar biasa fenomenologi ini jika dibuat kajian efektifitas pelayanan publik.

Menghadapi ini seorang diri tidaklah mudah, bahkan godaan syetan yang terkutuk dalam bisikan “ayo bunuh diri saja, jika tidak kuat”, tapi sebagai anak desa dari kota santri, Tasikmalaya. Ajaran bunuh diri itu dosa menurut agama islam dan mayatnya tidak melalui tata laksana jenazah muslim pada umumnya, bahkan mayat orang yang bunuh diri tidak perlu disholatkan dan langsung dikubur. Itu menyeramkan secara pribadi” 

“Rupanya racikan bajigur dan bubuy sampeu dari kebun bisa menenangkan pikiran ini sambil mendengar suara tongeret yang tidak pernah berhenti”. 

Hari mulai redup dan saatnya menyiapkan tenda untuk bermalam. 

Eksploitasi Ekosistem untuk Adaptasi Kebutuhan Hidup Selama Pandemi 

Pandemi covid-19 merubah semua bentuk kehidupan, cara beradaptasi orang kota dan orang desa dalam memandang hidup dan mencari uang untuk melanjutkan kehidupan. Sebagai warga desa yang sudah dewasa dan masuk kategori angkatan kerja yang berbekal ilmu-ilmu dari hasil bangku perkuliahan, mencoba merubah dan mengajak sebagian warga desa agar tidak berfokus pada penjarahan habis-habisan terhadap sumber daya alam dan menghasilkan dampak bencana ekologis. Namun, yang terjadi adalah kebun dan hutan sekitarnya dihabisi untuk meraup keuntungan dan penambahan pendapatan untuk keberlanjutan. Keberlanjutan ? 

Tunggu dulu, keberlanjutan semu dalam kaidah ekologi politik yang ditulis oleh Russet itu menggambarkan hubungan manusia dengan lingkungannya, tapi hubungan ini rusak kalau dipaksakan, Maka harus ada cara lain. 

Pandemi semakin mencekam didistribusikan informasinya oleh pejabat publik daerah, bahwa akses pangan pun sulit, tidak ada pasar murah padahal kalau melihat UU Pangan No.18 tahun 2012 yang hari ini sudah masuk ke Undang-Undang Cipta Kerja harusnya ketika status pandemi operasi pasar murah itu berjalan dan dikelola oleh Badan Ketahanan Pangan dan masuk ke program Dinas Ketahanan Pangan baik kota/kabupaten. 

Yang ada hanyalah para tengkulak yang siap menebus murah berbagai komoditas segar dari petani pedesaan dengan skala besar, sedangkan ketersediaan pangan di pedesaan tidak memenuhi, memang ada stok beberapa sumber karbohidrat, tetapi aksesnya adalah di perkampungan lokal karena mereka memiliki leuit dan lumbung pangan untuk kelompoknya. Jadi siapa yang bertindak futuristik ketika dalam pandemi seperti ini ? 

Pandemi sudah tidak menakutkan, geliat wirausaha rumahan banyak muncul dan sebagai pemantik semangat untuk tetap berkontribusi untuk antropologi pangan adalah pemetaan dan perencanaan sosial yang diterjemahkan pada beberapa aksi pemberdayaan dan menyusul dengan pendanaan. 

Eksploitasi ekosistem di pedesaan dimulai dari : penebangan pohon-pohon kayu dan non kayu untuk diolah karena memenuhi kebutuhan UMKM, pembuatan makanan dan minuman kemasan dengan metode makanan beku agar awet dan berumur panjang sehingga bisa dinikmati di kemudian hari diambil dari sumber daya kolam, sungai, dan pesisir dimulai, bahkan limbah pangan dari produksi sudah tidak tertampung dan akhirnya lingkungan yang tadinya asri dan menyegarkan menjadi penuh polusi udara dan polusi cemaran hasil pengolahan untuk kebutuhan manusia yang siap didistribusikan. 

Apakah manusia seserakah ini pada tingkat konsumsi dan cemas akan kelaparan ? Memang, jika melihat indeks kelaparan dunia, Negara Indonesia menempati rangking 73 dunia dari 116 negara dengan posisi tidak rendah. Dan ini rawan, bisa terlihat dari semenjak pandemi lonjakan harga pangan, dan permasalahan sosial budaya pangan, kebijakan pangan, kebijakan agraria, ditambah pengesahan RKUHP amatlah bertubi-tubi. 

“In the 2021 Global Hunger Index, Indonesia ranks 73rd out of the 116 countries with sufficient data to calculate 2021 GHI scores. With a score of 18.0, Indonesia has a level of hunger that is moderate” 

Hanya ada segelintir orang tua bijak yang memandang eksploitasi sumber daya alam secara habis-habisan akan menjadi petaka, mereka menyayangkan jika kepentingan bisnis kreatif ini menjadikan alam sebagai budak. Dan ya, saya sepakat jika keserakahan manusia pun akan menjadi bencana dan sistem yang bobrok dalam pengelolaan karena tidak adanya kontrol diri. 

Renungan Ekologis Pragmatis 

Semenjak menenangkan diri dengan cara forest healing dan tanpa bekal makanan dari perkotaan, ternyata jiwa liar manusia ini hadir, dimulai dari kepanasan, kehujanan, bahkan membuat perlindungan dari tenda untuk beristirahat dan rasa lapar yang tidak bisa tertahankan, maka keinginan berburu itu timbul, bahkan fungsi indera penciuman dan pengecap lebih aktif, kreativitas mengolah pun hadir. 

Berjalan menyusuri hutan dan kebun dan mencari umbi-umbi yang pas untuk dibubuy, memetik berbagai komoditas tumpang sari pangan seperti : harimunting, nanas merah, talas suweg, salak, nangka, jengkol, kopi, dan ada beberapa ayam yang berkeliaran di sekitar sawah huma menjadi sumber daya pangan yang bisa diolah untuk bertahan selama forest healing, bahkan racikan minuman dari rempah-rempah pun bisa dibuat karena berserakannya : kapulaga, jahe merah, kunyit, cikur (kencur), dan merica hitam yang merambat ke pohon kayu. 

Ternyata manusia itu sangat adaptif dan bisa bertahan jika tidak ada saingan, namun ketika ada bagong liar dan kawanan mencek yang datang entah darimana, sumber pangan pun akan berebut. 

Selama menyusuri hutan dan kebun ini sendirian, ada banyak potensi ekonomis jika dikelola secara benar dan berkeadilan, bahkan daun-daun mahoni yang mengering pun bisa dijadikan kompos dan dijual ke perkotaan asal mau mengolahnya, untuk keperluan kriya bisa memanfaatkan pewarnaan alami dari daun-daun per komoditas, mau dibuat atraksi olahraga pun bisa menyusuri kelokan hutan dan kebun untuk trekking asal pengelolaannya jelas ketika bekerja kolaboratif.

Bahkan pangan hutan bisa didomestikasi jika cocok, mengapa manusia tidak mau mengerjakan pekerjaan yang bisa bersinergi dengan alam ? Apakah tidak menghasilkan secara finansial jika dikerjakan dengan skala kecil dan skala individu ? Apakah harus skala industri ? Lagi-lagi industri ? limbah industri tidak pernah ditangani serius dan akhirnya merusak lingkungan sekitar tanpa penebusan kesalahan pada lingkungan. 

Mengapa alam ini terus menerus diperas dan dijadikan budak tanpa bisa berkompromi untuk keseimbangan isinya. Benar kata Prof Oekan pas ngajarin ekologi politik bahwa hubungan manusia dan lingkungan itu erat, bahkan orang kampung udah punya ilmunya. 

Ya, Prof memang benar, sepanjang menyusuri hutan dan kebun ini ada warga lokal yang sedang memanfaatkan daun enau untuk dijadikan sapu lidi dan warga lokal ini hanya mengambil seperlunya dan tidak berlebih. 

Ini adalah hal bijaksana yang terlihat langsung. Mengapa manusia yang berpengetahuan lebih bisa amat sangat rakus ? Apa tujuan kerakusan itu sehingga tega merusak kebersinambungan lingkungan ini ? Ada keperluan apa ? Teringat Pak Budhi pernah menjelaskan kalau efek tragedy of common bisa terkelola dengan baik bisa tidak. 

Menyusuri hutan dan kebun sambil menanami bibit mahoni dengan metode jajar legowo layaknya warga lokal, mengingatkan kembali mata kuliah etnobotani bahwa tidak hanya nilai ekonomi saja, tapi ada fungsi ekologis dari berbagai sumber daya alam yang ada. “1 hektare ini sudah kujajaki untuk ditanami tumpang sari pangan, dan inilah sebuah legacy bagi ekologi”

Prof Johan pernah ngajarin kalau komoditas hutan itu bisa menjadi komoditas unggulan, cara bertani orang lokal dan perlakuannya terhadap lingkungan bisa menjadi teladan, dan ya, saya berkabar dengan teman di Filifina yang mengambil Indigenous Studies Doctoral Program sedang mengembangkan Indigenous Lab, dan itu potensial dengan lokasi mereka. Bu Rini Soemarwoto juga mengingatkan kalau komoditas dan etnobotani dari pedesaan itu amat sangat banyak dan punya manfaat kalau diolah dan dikreasikan. Mengapa hal-hal seperti ini tidak pernah terdokumentasikan baik sebagai pembaruan ilmu dari sumber daya masa lampau ? 

Ah memang museum etnobotani satu-satunya di Bogor sudah berganti nama jadi MUNASAIN. Padahal, banyak sekali artefak etnobotani didalamnya untuk kemajuan peradaban dan keilmuan.

Mengapa Indonesia yang amat sangat beragam, bahkan multikultur tidak terpantik akademisinya untuk bisa  mengajarkan hal-hal dari pengetahuan lokal dan keterampilan lokal ? Hanya ada sedikit. Dan Prof. Oekan bahkan ga gengsi ngejelasin keberlanjutan dari paciringan dan menjadi kajian ilmiah. 

Kalau begini, sains itu hanya untuk STEM (Science, Technology, Engineering, and Math) saja ? Atau jadi STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, and Math) ? dimana “Arts” adalah sosial humaniora dan pengetahuan lokal ? 

Merenung sambil berkontribusi menebarkan benih seperti ini sejenak menghempaskan beban pikiran dan tanggung jawab, selain harus mencari sisanya sebanyak 300 juta rupiah dalam kurun waktu 10 bulan agar kebun ini bertahan dan mitra kebun terselamatkan. 

Ekologi seperti ini menenangkan dan menjadi ruang terbuka dari penatnya kehidupan perkotaan, udara yang sejuk, suara-suara binatang yang ada pun meramaikan suasana, bahkan banyak suara burung, dimana fungsi migrasi burung-burung sangat berpengaruh bagi keseimbangan alam, dan sebagai pusat informasi musim menurut pengetahuan lokal yang memang saat ini semenjak perubahan iklim terjadi, sudah tidak bisa diverifikasi kebenaran dan ketepatannya, yang ada hanya cerita saja yang dikemas menjadi folklore. 

Masih dalam renungan bagaimana nasib setelah selesai studi antropologi, mungkinkah antropolog akan menghasilkan dan mensejahterakan ? Ini sudah diujung dan sudah berjalan, teringat kembali kata-kata Prof Oekan kalau memilih antropologi tidaklah salah, iya bener juga prof karena masalah lingkungan adalah masalah sosial, dan masalah gizi juga adalah masalah sosial dan kemanusiaan. Bahkan guru besar antropologi saja bisa dengan bijak menyampaikan pesan ini. Mengapa ibu sendiri tidak yakin, ah memang ibu selalu terpapar informasi skala desa saja, jadi ibulah yang harus berkuliah sebenarnya agar ucapan, pikiran, dan tindakannya lebih terbuka menerima perbedaan dan kebaruan. Dari sini saya tidak mau tertinggal dalam hal pendidikan, Prof Oekan juga bilang kalau ga bisa adaptasi atau beresiliensi, siap-siap saja untuk termarjinalkan. Fight ! 

Kemelut hidup menjadi dewasa di era disrupsi ini sangat sulit dijalani sendirian, jika ekologinya matrealistis semuanya dan tidak ada kepedulian pada keberlanjutan lingkungan hidup, semuanya harus ditransformasikan menjadi seperti kehidupan kota dan metropolis. Justru ketenangan batin itu ada di ruang terbuka seperti ini karena banyak oksigen dari pohon-pohon yang rindang dan masyarakat di pedesaan dengan kelompok usia pemuda/pemudi sudah beralih minat dan cara pandang. Mereka memilih merantau ke kota besar untuk

“Kamu harus bisa membuat perubahan di Manonjaya”, inget itu kata Pak Budi Rajab. 

Bahkan kekuatan semangat yang ada cuma catatan-catatan perkuliahan antropologi, ini akan menjadi artefak dan bukti bahwa masuk antropologi itu bukan halusinasi dan semua orang berhak belajar antropologi jika betul-betul berminat dan ingin mendalami, tidak semata-mata untuk uang, itu hanya bonus dari kontribusi pemikiran dan tindakan yang sudah dilakukan. 

Bu Budiawati Supangkat bahkan pernah menugaskan bacaan Kisah Kebun Terakhir yang ditulis Tania Li, isinya hampir sama dengan apa yang saya hadapi, hanya saya masih cukup beruntung tidak seperti tokoh dalam buku itu yang kehilangan hutan, isinya, dan masa depan.

“Kisah ini tentang warisan tanah terakhir, bu….dimana saya adalah orang yang terdampak, haruskah saya tulis oto-etnografi ini bu untuk pelajaran Mata Kuliah Kajian Kritis Etnografi selanjutnya?….mempertahankan kebun dan isinya itu tidak cukup hanya dengan pengetahuan saja ternyata….tapi harus dengan keberanian, walaupun sering dianggap masih kecil “

Kritik Untuk Perilaku

Penghuni Planet Bumi 

  • Ketika mengikuti pelatihan global yang foundernya itu adalah Al-Gore tentang Perubahan iklim, diri ini seakan menagih janji-janji palsu terhadap mitigasi kerusakan lingkungan yang dikemas acara-acara besar dan berkepentingan. Alih-alih membicarakan solusi tapi malah banyak alasan manipulatif.
  • Panca indera ini seakan ingin merampungkan gejolak yang tertolak bahwa keadaan planet bumi memang tidak baik-baik saja.
  • Dimulai dari sampah plastik skala rumah tangga, penanganan sisa-sisa makanan yang tercecer memenuhi selokan dari saluran pembuangan, air selokan yang tidak lagi jernih, air sungai yang sudah berbusa karena dampak detergen dan kemasannya yang dulunya mencuci menggunakan lerak, para pengendara di jalan yang membuang sampah sembarang (mereka punya harta benda tersier tapi mereka tidak teredukasi baik).
  • Para perokok yang membuang puntungnya dimana saja, para penjual kuliner yang mengkreasikan kemasan makanan dan minuman kekinian tapi tidak menyediakan tempat sampah di kedainya, sosialisasi pilah sampah yang minim, produk-produk tidak ramah lingkungan semakin menyeruak dengan kepraktisan pengiriman daring dengan kuota pemakaian plastik sebagai proteksi barang yang menumpuk di gudang rumah dan menambah daftar sampah plastik di TPST (Tempat Pembuangan Sampah Terpadu) dengan kategori baru. Bahkan makanan yang bersisa berserakan di tempat sampah umum tanpa terdistribusikan ketika makanan masih hangat-hangatnya. This is leftover food !
  • Banyak sekali webinar tentang penyelamatan planet bumi tapi tanpa aksi sama sekali, hanya dibahas di forum-forum webinar sebagai selebrasi dan penambah pengetahuan belaka. Mengapa sulit sekali ? Apakah terlalu sibuk ?
  • Perihal jejak karbon, harus dilakukan investigasi mandiri yang tidak terkait nama lembaga atau komunitas agar tetap independen dalam melontarkan kritik, jadi begini : ribut-ribut tentang polusi kendaraan, jika benar kontribusi jejak karbon yang disebutkan oleh aparatur ESDM negara ini bahwa penyebabnya adalah kendaraan berbahan bakar kendaraan fosil, penggunaan energi listrik dan air dan konsumsi makanan. Mengapa edukasinya dan himbauannya hanya berlaku kepada : anak sekolah, mahasiswa, dan kelompok yang bahkan tidak menggunakan itu ?
  • Mengapa tidak dari para pejabat publik, akademisi senior, dan para anak muda yang baru bisa membeli kendaraan, atau orang-orang yang sengaja membei kendaraan namun diangsur ?
  • Harusnya, hal semacam ini menjadi perhatian, dibuat pembatasan pemakaian, atau disyaratkan jika berkendara harus diisi minimal 2 atau 3 orang jika menggunakan mobil pribadi.
  • Suatu hari melewati kawasan sekolah-sekolah elit dengan label full day school, dan tahukah jika jemputan anak-anak sekolah ini adalah mobil-mobil berbahan bakar fosil dan satu orang dijemput oleh satu kendaraan ?
  • Mengapa tidak ada fasilitas mobil jemputan sekolah ? Apakah sedang mengadu gengsi atau memang harga kenyamanan itu memang murah namun abai pada kontribusi jejak karbon yang menambah polusi, kemacetan dan ketimpangan lainnya ? Mengapa hal-hal yang terjadi di area elit yang tidak bisa dijangkau oleh kebanyakan publik tidak pernah diberikan peringatan atau himbauan ?
  • Bahkan para pejabat publik dan orang kaya baru sengaja membeli kendaraan untuk mendefinisikan kesuksesannya. Di zaman yang sudah terintegrasi digital dan penuhnya informasi untuk mengakses transportasi publik, memiliki aset kendaraan dan nilai susut adalah sebuah kebanggaan dan kemudahan. Mengapa hubungan kekayaan tidak pernah berbanding lurus dengan pengetahuan individu pada akhirnya ?
  • Menagih kontribusi perusahaan-perusahaan besar pada lingkungan yang bermain dengan proyek batu bara, ketika ada satu perusahaan melimpahkan limbah berbahaya dan menjadikan lingkungan tercemar, hal ini tidak pernah terkejar untuk memastikan kelestarian ekosistem karena dampaknya yang sudah tidak tertangani dan akhirnya menjadi sesuatu hal yang biasa.
  • Apa susahnya berjalan kaki dan bersepeda jika jarak tempuhnya dekat ? Oh, ya… ini kan bukan Negara Swedia, Belanda, Denmark, Norwegia, Irlandia, Islandia, Estonia dimana warganya peduli dengan lingkungan dan masa depan, ini karena kekuatan edukasi masa kecil jadi perilaku orang dewasa terbawa baik. Sepenting itukah pendidikan dan pemahaman menjaga lingkungan sejak dini ?
  • Sampah-sampah rumah tangga yang tidak dipilah menyebabkan tumpukan sampah yang menggunung dan menghilangkan beberapa nyawa di tempat pembuangan akhir, ya….fenomena seperti ini kapan berakhir ? Siapa yang patut bertanggung jawab atas keriuhan dan kerusakan lingkungan yang tak terkendali ini ? Hal ini hanya bisa dilakukan oleh manusia-manusia sadar futuristik yang punya sinergi dengan kelestarian alam.

Pembuktian Matrealistis

Materi Antropologi untuk Ibu

Walaupun saya banyak diragukan dalam menyampaikan pendapat, opini, gagasan, atau hanya komentar, apalagi ide riset pasti aja selalu ga sempurna atau biasa saja , ga greget, kuno, jahiliyah sagalarupa, dengan sedikit meminjam kata “antropologi”, saya akan tetap mencoba sampai-sampai saya menghitung, sebenarnya siapa saja orang-orang yang memang sering bersikap dan bereaksi demikian selain ibu, dan ternyata hanya segelintir, dan saya percaya di luar sana masih banyak orang-orang yang bisa mengapresiasi pemikiran ini, semenjak ditantang oleh Ibu tentang “Antropologi tidak dapat menghasilkan uang”, saya berpikir dan merasa tertantang, sejenak hanya bergumam dan memikirkan ulang  :

“ya iya atuh ibu antropologi emang mau menjual apa dan menawarkan jasa apa secara praktis, tapi Ibu lupa kalau sesuatu yang besar bisa terjadi itu dimulai dari yang kecil mendalam,

ya memang antropologi tidak seluas kajian filsafat atau qur’an hadist, kajian teologi, atau sosiologi, tapi antropologi punya kefokusan tersendiri, baiklah ibu,

Ibu baru bisa menerima saya kalau antropologi itu ada duitnya, tingali tah ibu tingali, dan Ibu harus mulai menerima anaknya yang menyukai antropologi dan sedang belajar ini,

da atuh ibu saya itu suka antropologi lain jalur coknang snmptn atau ujian saringan masuk milih kuota jurusan kosong atau pilihan kedua, saya dengan sadar dan waras, ieu elmu teh cocok jeung garapan urang, dan yang terpenting saya mau belajar ini, bahkan kata ibu “nanti diantropologi dikekeak” saya bisa menerima itu dan saya jadikan masukan untuk perbaikan, kenapa Ibu jadi riweuh, tapi gimanapun juga do’a ibu do’a yang panjang, oke bu….Ini buat ibu….

Semenjak masuk antropologi apakah saya merasa tenang ? tidak sama sekali. banyak hal-hal yang bikin was-was, dan banyak ancaman dari sekeliling termasuk micro support system : Keluarga.

Banyak sekali pertentangan, tapi saya berhak menentukan dan mengarahkan isi pikiran saya, isi hati saya, dan isi dompet saya hahaha, eta mah geus puguh. Saya masih punya orang tua lain yaitu guru ngaji saya semenjak saya sekolah iqro/sekolah agama, luar biasa responnya bahwa keilmuan apapun asalkan ada kejujuran, keikhlasan, keseriusan, dan kesabaran, dan mau mengamalkan apalagi mau disedekahkan, maka itulah ladang pahala,

Alhamdulillah cerah luar biasa memang guru ngaji saya yang udah sepuh ini, dulu saya adalah murid ternakal karena sering duduk paling belakang dan mengaji cuma pake kupluk yang penting nutupin rambut dan sering kabur pas bahas ilmu tajwidz soalnya ga bisa bedain hukum idgham bigunnah dan idgham bilagunnah dan akhirnya dihukum bacaan surat pendek, tapi si anak nakal itu kembali mengunjungi gurunya karena cuma guru ngaji yang bisa memberikan komentar sederhana tapi tidak menyinggung, kadang manusia seperti ini harus diperbanyak biar adem dunia ini sama orang-orang taqwa nan bijak yang memandang sesuatu ternyata helicopter view sebenarnya.

Kembali kepada calon pundi-pundi matrealistis dari uji kelayakan ide atau gagasan antropologi bisa jadi duit atau engga. Saya punya dua jawaban setelah mengalami berbagai proses, yaitu :

  1. Tidak bisa, itu kalau saya kurung batok kacida. Saya juga terkejut ketika gagasan paradigma antropologi banyak tertolak di beberapa pendanaan yang diadakan berbagai pihak, terbukti dengan proposal riset, proposal bisnis, bahkan abstrak penelitian prosiding tertolak, tetapi itu kalau di Indonesia. Maaf, harus mengatakan negara tercinta ini. Semoga bisa menjadi bahan evaluasi. Saya juga bingung kriteria penilaian seperti apa memangnya untuk hasil yang wah yang para pemilik dana inginkan. Untuk ini saya sudah menanggapinya biasa aja, adapun ingin berkecimpung berpartisipasi saya akan memposisikan sebagai “Tim Hore” dan penggembira.
  2. Bisa, saya takjub spontan ketika proposal riset, proposal bisnis, ide penelitian 3 lembar (brief research), dan proposal mengajar di college yang membuka general lecturer menerima proposal saya dan mengapresiasi portofolio saya, dan mau membayar layak dari “hasil lamunan, imajinasi, pemikiran, hasil membaca, hasil belajar” yang saya tumpahkan pada tulisan.

“Ini tahun 2022 bukan ? pemikiran saya memang sangat terikat dengan ekosistem sawah, kebun, hutan, sungai, kolam, dll, tapi masa anak kampung pelosok  ga boleh punya kesempatan yang gemilang layaknya orang kota, ini cuma soal akses informasi dan strategi dan relasi, ketika saya berkumpul dengan para pebisnis muda saya berpikir tentang Profit harus melampaui Break Event , ketika saya bergabung dengan peneliti dari Swiss, Belanda, Jerman, Norwegia saya terbawa maju akan keberlanjutan, keseimbangan, kemajuan, dan kesetaraan dengan meminimalisir kerusakan serta harus mengapresiasi hasil-hasil terdahulu, ketika saya bergabung dengan Ibu saya semua kembali pada pembahasan uang dimana tidak ada hal lain selain : sekolah /kuliah – bekerja – uang, mana pernah sekolah/kuliah – ilmu – amal – hasil (uang), saya memulai keliaran memaksimalkan internet untuk mencoba berbagai kesempatan ini dengan tujuan ekosistem yang saya tempati bisa setingkat lebih berkembang, ya tentu saya perlu modal, tapi saya sudah perhitungkan bahwa jika mengeksploitasi sumber daya kebun, masalahnya adalah waktu dan manajemen pasca panen, inilah fungsinya antropologi : IDE YANG MENGHASILKAN UANG”

Sebagai pembuktian kepada ibu bahwa antropologi bisa menghasilkan uang, berikut beberapa gagasan saya yang dibayar layak :

  1. Lecturer West Coast Culinary Symposium, San Francisco , saya mengajarkan paleo gastronomy (an antropology perspective) dan saya membuka kelas Sejarah jamu dan Era Kerajaan Mataram Kuno (hubungan manusia dengan tanaman obat, kurang antropologis naon deui ibu ?).
  2. Mentor Wirausaha Sosial Enpact Germany, saya diberi kepercayaan untuk memberikan arahan keberlanjutan dari agroekosistem karena perusahaan ini akan mengekspoitasi sumber daya alam dengan program B2B atau business to business, spesifikasi keahlian saya adalah memastikan bahwa tidak ada permasalahan budaya dengan masyarakat, namun perusahaan bisa terus jalan namun tentunya nilai-nilai dari fungsi ekologis harus tetap yang utama, dan saya senang sekali bahwa ternyata Jerman yang dimata saya itu negara canggih bisa mempercayakan ini pada saya yang suka diacuhkan kalau ngomong di bale desa tentang transformasi usaha kalau ngobrol ga bawa bingkisan, saya ga tau apakah memang orang indonesia itu suka menyepelekan ide atau bagaimana ?
  3. On going project : Indigenous Learning Center dana dari NGO di Swiss, saya sudah rendah diri duluan karena konsep saya kampungan ingin mendirikan sekolah manjat, sekolah nandur, kursus petik salak dan ngolah pohon salak sampai biji-bijinya dengan pengetahuan lokal. Mun di bahas di warung bi munah mah geus we dianggap gelo. Tapi, saya tidak mau kecolongan lagi saya presentasikan ini masuk kurasi, pada akhirnya lolos pendanaan, hasilnya digunakan pembenahan lokasi di beberapa area kebun dan mengumpulkan warga sekitar yang memang jago di bidangnya. Saya pun kaget karena mengkonversi dari CHF ke USD ke Rupiah itu tidak terlalu mudah karena akses perbankan dan layanan transaksi publik minim.
  4. On going project : Eco-Gastronomy #FoodAdventure and #FindingEthnofood #FindingEthnofood #WildFood, dana ini dari seed funding lembaga sosial forestry negara Jerman, gimana rasanya kalau ide yang udah dirancang jauh-jauh hari bahkan tahunan, ide ini mengendap 5 tahun karena emang ga punya duit, maklum masih mahasiswa, mahasiswa selalu dianggap ga punya duit mulu, tapi ini 2022, semua orang berhak punya duit, piraku teu canggih kan ? Saya mengajukan ide proyek ini dan lolos kurasi, walaupun 3 besar, tapi dananya bisa dipakai memperbaiki area tumpang sari pangan kebun dan memborong pupuk kandang dimana pupuk kandang tidak pernah laku semenjak banyak pupuk buatan, para peternak pun sumringah, nah inilah kebahagiaan saya, dan ibu menganggap hal ini biasa ? 270 juta ge biasa we dimata ibu saya mah, mun dipake buat kebon teh, tapi mun dibelikeun toyota nu panganyarna mah dianggap berhasil. Hese da efek sinetron ngahiji jeung geng komplek mah. Saya mengizinkan warga sekitar membawa komoditas apapun yang penting tidak melebihi boboko dan itu gratis, kecuali kelapa silakan ambil samanggar ambil seperlunya sisanya bagikan terutama di kampung saya masih kental dengan kalau perempuan haid tradisinya harus minum air kelapa murni setiap hari, dan terbukti itu produksi komoditas stabil karena diambilnya secukupnya. Warga sekitarpun tidak usah beli pangan mentah, dan distribusi makanan dan minuman darurat seperti air kelapa tersampaikan pada penerima, setidaknya mereka tidak kram perut karena haid, Ibarat istilah kebersamaan ini dan gotong royong ini di kebun itu bahasanya “karik menta we atuh ka kebon wanini (biyung sepuh, kebun mitra)”.  Saya merenung juga untuk apa pelit, semua ini hanya titipan, dan saya pun selalu disadarkan oleh interaksi antar manusia.
  5. On going Project : The Gastronomist X Bike To Eat, proyek kolaborasi hasil brandingan UNESCO dibantu oleh IKJ, saya mencoba berkolaborasi dengan komunitas pegiat slow living perkotaan yang emang sudah puyeng banget, udah tahap mumet sama banyaknya klakson teu pararuguh, runtah dimana-mana, gembel juga makin banyak, kebun bersama, ah boro-boro itu sansivera di alun-alun ge ditarijek, melihat kota tasikmalaya yang udah teu pararuguh rupa lalu lintas, rupa bangunan, apalagi hal-hal tasik kota resik itu mah cuma tulisan aja. Saya dan kolaborator menerima pendanaan dari hasil kompetisi berjangka 5 tahun, udah kek repelita (rencana pembangunan lima tahun) dimana setiap keberhasilan dan aksi ada kalkulasinya dan ini menyenangkan, proyek ini didanai lembaga amal Minesota, bekerja dengan gowes/bersepeda dan makan dibayarin, ini baru cerdas bukan ? Kadang suka aneh sama manusia masa kini pengen disebut modern tapi pemikiran masih masa lampau, konsep ini diambil dari konsep hardolinre (dahar, modol, ulin, sare), tapi gimana caranya kegiatan ini dibayar, tapi ketika kami gowes kami mengisi daya baterai ponsel hasil coba-coba pelajaran elektro waktu SMA kami beli peralatan yang bisa terhubung dengan tenaga surya, ternyata banyak ditukang rongsok dan di tukang lampu hahaha kamana wae urang, ya terbatas segalanya juga, tapi Allah mah bakalan ngebuka jalan buat orang-orang yang berusaha kan yah ? kadang suka diketawain ngapain melambat di saat semuanya serba cepat. Seriusan ya capek dipermainkan sama format-format kesuksesan teh. Sesekali kami ingin menikmati hidup. Gitulah obrolan santainya mah. Jadi, kalau saya gowes dan makan, ya berarti itu lagi menghasilkan, dimata Ibu saya itu “ulin,ulin,ulin”, dimata kolaborator “gajian, gajian, gajian”, dimata tetangga “euweuh gawe, euweuh gawe, euweuh gawe”. Ya begitulah realita.
  6. Speaker for Institute Historical Research, London. Ini kebanggaan tersendiri soalnya cuma sejarawan senior yang selalu lolos tampil di sini, kolega saya pun meragukan itu karena tau forumnya bukan sekelas manusia ecek-ecek kaya kita (saya dan kolega), tapi saya mau coba, saya rapikan naskah ilmiahnya, saya gunakan paradigma cultural materialism pada bahasan ini namun dengan pendalaman sejarah, saya bukan sejarawan, tapi kalau saya berminat pada sejarah apakah saya harus sekolah sejarah dulu ? teryata jawaban convenornya keren banget : “justru itu kami ingin mendengar orang-orang yang memang tertarik pada suatu bidang tapi tidak belajar dibidangnya secara formal, dan itu sangat kami apresiasi, semoga bisa mempresentasikan itu, kami senang ada orang Indonesia yang mengetahui forum besar ini dan menjadi pembicara”. Gile emang, ini tuh pelebur marahnya ibu, soalnya ibu tau forum ini, dan ibu pun luluh dengan berhasilnya saya nangkring di forum ini. Seketika, ibu pun mengeluarkan koleksi buku jadulnya, surat kabar yang dia kumpulin tentang berbagai peristiwa penting, majalah jadul, dan buku antropologi Anthropology from a Pragmatic Point of  View – Immanuel Kant.

“ai eta ibu punya buku antropologi, sok ibu waktu dan tempat saya silakan”

“tah maneh mah, geus intina we nya meh tereh, okelah udah membuktikkan ke ibu kamu bisa menembus forum tersusah itu,kenapa ibu menantang itu, forum itu mengeliminasi ide secara ilmiah dan historis, jadi partisipant aja ngisi kuesioner panjang kan, apalagi jadi pembicara, ya diseleksi, ya selamat kamu berhasil, jadi buku eta mere sugesti  ke ibu, dengekeun : Kant describes the Anthropology as a systematic doctrine of the knowledge of humankind. Jadi Kant ini does not yet distinguish between the ilmu sekarang naon atuh akademik ceuk mahasiswa mah lah poho Ibu nyebutnya pada  anthropology as we as a human understand it today and the philosophical. Makanya ibu khawatir kamu itu terjerumus pada hal-hal yang emang keilmuan itu akan stuck disitu dan akhirnya kamu ga bisa ngapa-ngapain, da tetep mempertahankan sesuatu, ya tapi kalau udah masuk IHR mah sudah mewakili Ibu menguji anak ibu isi pikirannya nyampe mana”.

“Bu, apal teu urang teh geus tahap tesis ? ”

” Si kehed….!!!”

“Geus doakeun we bu atuh da kieunya babaturan gawe geus mere izin, proyek dengan pemikiran antropologi geus menghasilkan, karik ibu beunta, kerjaan semakin kesini semakin dinamis, shelter karik menerkeun, kebun karik ngalunasan hak waris, sakit hati asmara da biasa aja ternyata, saingan gawe anu ti soas london da teu bisaeun bahasa lokal puguh mah bule teu nyaho, jadi ibu meridhoi ga anaknya sekolah antropologi ?”

“nyalah jig….antropolog naon ? ”

“gizi, pangan, gastronomi, jeung indigenous studies”

“nya sok jig sing jadi antropolog pada akhirna mah, maneh teh duit aya cik benerkeun shelter maneh teh repa ! meni jiga zaman purba kitu we nya tina bambu”

“nu aya we atuh ibu, nu penting mah iyuh”

“da maneh mah, dieu ku urang we di desain sing bener antropolog teh kudu nyaman kehed, otak maneh nu dipake, sok jieun sing baleg tulisan sing badag pusat studi atawa naon atuh sok make bahasa inggris tuda aneh maneh mah center for center for heeuh naon, da orang desa mah nempona lain kesederhanaan, keberhasilan yang dibuktikan dengan segala kepemilikan, ya itu makanya kata Immanuel Kant antropologi itu doktrin pengetahuan umat manusia. Baca we buku-buku ibu baheula. Sekarang tantangan kamu buat keseimbangan okelah cukup eta antropologi geus mayan bisa nyieun playground sorangan maneh, sok saimbangkeun jeung agama maneh. Tempo sakuriling ! Pasantren ! Kaji atuh ku budak ibu antropologi isi al-qur’an kek atau naon nu aya unsur agama islamna, da maneh yeuh pangbalikan teh kamana ? da ngan antropologi hungkul mah loba buku nu leuwih alus ge, tapi selama ibu membaca antropologi jarang membaca ibu kajian al-qur’an di dalamnya. Tugas kamu eta mah, sok ibu mengizinkan jadi antropolog tapi tesis mun bisa tentang al-qur’an asupkeun”

“ai sugan udah direstuan we tanpa syarat boro rek mawa piring ek makan opor ayam merayakan kemenangan ai pek teh bersyarat, beuki rieut wae, iya ibu mun ridho ibu seekslusif itu, beranilah naha make henteu”

“ya tidak semudah itu ferguso, da antropologi di Indonesia mah hanya sebatas program kuliah, mentokna jadi PNS formasi anu muka antropologi, diluar asn mah masih keneh seuseut, pahami itu matak mun antropologi ibu mendukung kamu jadi pengajar tapi da maneh kudu saimbang kudu ada sisi qur’ani asup, ya okelah lembaga riset, heueuh eta maneh kikituan teh pan lila ti tahun 2016, lin ?”

“Iya ibu suri, eta geus kadinya deui wae”

“naon etateh mamawa piring kosong? ”

“iya pan sanguna tak ada, ai opor geus aya”

“naha make ga ada, eta na magicom”

“ya anda tidak ngajetrekeun dari off ke cook nagen we off nya moal asak, tah eta literasi teu asup teh”

“cicing eta mah poho, nya sok atuh beli we tah ka nasi padang riweuh pisan hayang nasi ge”

“moal ah ek ngadagoan eta nasi, da kemampuan adaptasi urang mah udah teruji di kebon”

“meh tereh, zaman ayeuna mah kudu tarereh nanaon ge ulah eleh ku online shop, tuh jiga ibu pesen bumbu rendang ti padang asli tereh nepina, coba mun kabeh pelayanan satereh toko online geus we bagus”

“jig jig atuh benerkeun shelter di kebon teh, nulis tesis diditu jangan dirumah, sok ibu mau liat antropolog teh bisa teu mempertanggung jawabkan ucapan, konsep, gagasan, jeung implementasina. ngomong hungkul haya bacot balaka ya repa”

“iya…..udah bu ? mau balik lagi ka shelter”

“kamu teu hayang boga kendaraan nu matut kitu ?”

“bike to work bike to eat bike to read bike to market bike to life selama itu jaraknya 25-50 km bolak-baliknya, naha da urang mah pesepeda, emangna ibu”

“heueuhlah, mun ibu sediakan moal dipake ?”

“moal, teu nikmat lain hasil sorangan”

“sok-sok makan heula terus bereskeun sagala rupana, september teh sakeudeung deui, hak waris tah geus mulai, 300 juta sesana nyairkeun teh pan tidak gampang !”

“bae we titah tungguan da urang lain tina ngajual produk dari melebarkan ide eta teh pake ilmu antropologi mau diakui atau tidak juga memang begitu adanya, masing aya antropolog senior nyebut urang so tau ge urang mah ga masalah, meureun kitu sifatna jelema mah, teu urusan urang mah, nu penting mah urang pake ilmu antropologi menghasilkan kitu we nu terehna mah, iya kan bu ?”

“tah kitu, maneh mun dikekeak ku antropolog senior atawa ku professor antropologi kumaha da ide maneh teh rendahan dan ga  bermutu? ”

“urang mah bu geus teu bisa kukumaha asup katarima dina antropologi ge geus syukur pisan, urang boga kesempatan diajar teu maca buku teuing urang teh, nya sok we tunjukkan pada jalan yang benar ai urang salah mah, simpel nya kan bu hahahaha”

“si kehed….keur ditimpa masalah ge ngalawak we , geus teu boga rasa kanyeri budak ibu teh ?”

“lah bu ari terus ngararasakeun kanyeri mah moal bugar-bugar, nya aya atuh eta mah ngan urang mah melepaskan we karik anggap lain milik make ripuh-ripuh teuing, dipecat ngalamar deui, bangkrut usaha, cobaan deui, gagal teu jadi boga gelar, karik balikan daftar deui, da semuana ge permainan ceukna qur’an naon ? hidup hanyalah senda gurau (Q.S Al ankabut ayat 64), tapi ketika anak ibu masih punya tenaga masih sanggup berusaha selalu mencoba we bu, da pada akhirnya memanglah Yang Maha Kuasa yang menentukan”

“Alhamdulillah tah kieu kakara anak ibu memandang dengan hal-hal fenomenal tapi ada spiritual kan jelema kitu maneh teh artinya hate maneh jeung otak maneh nya geus klop karik sesuaikan jeung zaman, eta sabaraha pasang tihang listrik keur menembus desa eta teh mahi moal 15 juta ?”

“ya kalem sauetik saeutik ibu…. lah pake we ku ibu sesa duit pensiunan mah, da duit mah aya ibu ngan lain keur nu kararitu bu, lain prioritas, ulah serba difasilitasi, warga desa didinya titah kreatif jeung ngamanfaatkeun renewable energylah kitu bu, eta geus mulai naranyakeun pan di shelter urang naha jadi boga listrik pan make panel surya jieunan si Kevin”

“Jig di shelter, balik-balik geus jadi antropolog, ya okelah mampir kesini kalau kangen masakan rumah mah da angger maneh mah neangana teh rek poe naon bulan naon lain lebaran ge, ada opor ayam komplit, geus aya ayam krispi saus sagala rupa, angger we hayang opor ayam nu jiga lebaran, geus maneh mah ngaco”

“iya, ke urang coba komunikasikan ke berbagai pihak da loba bu, ngan kusorangan we jeung si Kevin sarjana teknik nu can mernah gawena, da atuh beukina opor ayam buatan ibu, embung ah minyakna hideung da atuh urang teh pernah diuk di kelas gizi nya teu malaweung urang teh, kunjungan ka umkm nu kitu mah unggal minggu pan hayeuh we responsi, nyaho lah prosesna, matak urang teh ibu lain kampungan dahar kuluban teh, eta menghindari hal-hal yang membayakan yang masuk ke perut”

“nya sok sing dilancarkan jadi antropolog di mata ibu ge kamu mah geus berhasil ari kikituana mah samodel etnografi kitu, ngan da jalur akademik mah nya heueuh tidak semua suka, jig paratkeun , semakin cepat kamu selesai semakin cepat kamu dapet opor ayam dan ketemu ibu, tuh ruangan keur nulis etnografi di ujung !”

Itulah percakapan sederhana sebelum kembali ke shelter, apapun yang terjadi hanya dihadapi, dijalani, dan dinikmati, karena ketika kemampuan manusia sudah mencapai titik maksimal, sudah tidak bisa dipaksakan lagi.

Dari permasalahan yang saya hadapi, saya seperti menemukan laboratorium kehidupan, banyak kejadian yang mendewasakan saya. Saya memang anak muda, tapi sebentar lagi menua, saya harus menjadi seorang bijak yang memandang sesuatu dengan kedewasaan dan ketika saya hidup maka saya harus bermanfaat untuk diri sendiri dan sekitar. Menghadapi sesuatu bukanlah dengan amarah, tapi dengan ketenangan, dan sedikit pembuktian, karena tanpa itu hanyalah fiktif belaka, dimulai dari ketidakpercayadirian karena banyaknya hinaan dan keraguan, hal ini mendewasakan saya dalam suatu proses, ya memang tidak ada hasil instan, saya juga jadi tanggap gejala sosial dan saya menangkap definisi kesejahteraan versi banyak orang.

Ketika ibu saya mendefinisikan kesuksesan ditandai dengan berbagai kepemilikan, definisi kesuksesan versi guru ngaji saya bukan itu, tapi kebermanfaatan ilmu yang dia ajarkan dan amalan perbuatan sukarelawan kemanusiaan seperti memandikan jenazah dan aktivitas keagamaan tingkat kampung dan bisa naik haji karena melengkapi rukun islam, beda lagi dengan definisi sukses versi bapak saya kalau sukses ya bisa menggabungkan semua elemen yang bermanfaat tapi punya nilai ekonomi tanpa merusak sekeliling bahkan nilai-nilai dalam al-qur’an harus masuk, definisi sukses bagi saya adalah :

  1. Tidak punya hutang, semudah apapun caranya, sekecil apapun bunganya, jeratan hutang itu adiktif dan ini berbahaya bagi gaya hidup di masa depan 5 atau 10 tahun mendatang, keterlambatan pembayaran itu ada nominal denda yang dibayarkan.
  2. Bisa Membiayai kuliah dari duit sendiri, di saat yang lain disupport habis-habisan dalam berebut masa depan yang gemilang, disitu ada orang yang lagi memperjuangkan sesuatu untuk bisa mendapatkan kesetaraan yang tidak pernah setara. Nelson mandela pernah bilang Education is a weapon, saya mau bantah saja “Sumber daya manusia yang tidak bertransformasi adalah senjata makan tuan”, Hal ini mewakili dari beberapa pelayanan publik yang saya rasakan yang tidak selalu memuaskan, tapi saya maklumi saja.
  3. Punya Aset Lahan Kebun dengan keanekaragaman isinya, dan ini sedang dipertahankan dan didesain bagaimana nilai ekonominya ada, lahannya lestari, bagaimanapun juga ketika saya menua, saya perlu lahan seperti ini entah untuk forest healing atau memang memberdayakan keberlanjutan isinya.
  4. Sudah menjadi pelaku gaya hidup yang minim sampah dan hemat energi, hal ini sedang dicoba dan membiasakan diri, ya walaupun baru sampai bisa mengisi daya baterai ponsel karena bersepeda, tapi saya sudah tidak kerepotan mengisi daya ponsel di kebun, minim sampah pun dimulai dari apa yang saya konsumsi, walaupun sering dianggap kampungan karena masih makan rebusan.
  5. Berhasil tidak belanja kebutuhan dapur kecuali protein premium seperti : daging sapi dll, ketika pekarangan rumah sudah menghasilkan aneka tumbuhan dari TOGA/tanaman obat keluarga, apotek hidup, dimana hal ini sudah jarang ditemui, ya prinsip ketahanan pangan dimulai dari terpenuhinya kebutuhan makan per kepala di setiap rumah. Baru menghitung skala besar secara statistik, ketika kelaparan dihitung dengan skala besar, itu pasti nihil, tapi ketika kelaparan ditanyakan pada tiap individu pada kondisi tertentu itu definisi kelaparan sebenarnya, kadang hal semacam ini luput dari kajian sistem pangan.
  6. Berkendara sesuai jarak, ketika masih dibawah 50 km bisa menggunakan sepeda karena saya anak muda yang staminanya masih stabil dan tidak terdeteksi penyakit tertentu, maka tidak ada yang salah dengan bersepeda, kalau jaraknya jauh baru saya menggunakan kendaraan lain seperti motor atau mobil. Ini zaman sudah maju, saya memilih menggunakan pelayanan publik saja yang sudah terintegrasi dengan layanan daring. Simpel.
  7. Kembali mendalami agama Samawi (bagi saya islam) , sudah banyak buku,  referensi, artikel ilmiah bahkan kajian hasil seminar, tatap saja saya tidak puas dengan semua itu, masih ada yang mengganjal dimana saya memerlukan penegasan yang fix, tapi kajian ilmiah ya terbatas, kajian al-qur’an  semakin didalami semakin terbuka bahkan banyak inspirasi yang datang, bahkan hidup pun terasa enteng karena bisa membawa efek menenangkan disaat era disrupsi ini semakin tak terkendali, mendalami isi al-qur’an kembali mengingatkan saya pada masa kecil dimana orang tua saya mengajari saya membaca iqro daripada membaca alfabet. Bukan kearab-araban, emang kalau belajar sejarah itu jangan setengah-setengah. Tarikh (Sejarah Islam) itu ya dibahas tentang kehidupan para nabi, ya jazirah arab memang lokasi historisnya. Kenapa tersulut kearab-araban ? Santai aja sih.

Pesan Bapak 

“Jika menjadi antropolog adalah keinginanmu dan pilihanmu, berangkatlah dan selesaikan, selalu sandingkan keilmuan dunia dengan Al-Qur’an dan Hadist,

Masalah pekerjaan dan kehidupan lain bisa dijalani, layaknya cuaca selalu berganti, tidak perlu takut, Perkara hak waris harus diselesaikan namun harus ada titik temu dan jalan tengah,

Bagi yang membutuhkan akan dilakukan sebagaimana mestinya, bagi yang masih bertahan mari kembangkan bersama,

kalian adalah anak muda yang masih punya tenaga…..,

Silakan gunakan ruang baca untuk mengerjakan tugas akhir dan sesekali saja camping di kebun atau menginap di shelter, ingat selalu untuk mawas diri,

tidak perlu memperlihatkan kekayaan dan seberapa hebat dirimu pada manusia lain yang sama-sama cari makan di bumi ini,

biarkan alam dan keadaan sosial ini yang mengembalikannya,

Selamat berjuang menjadi Antropolog Pangan !

Sheltermu bocor, kalau tidak ahli memasang atap, hubungi yang bisa, kamu makhluk sosial, perlu orang lain juga,

Ah ini….sesekali nikmati cerutu dan selesaikan kajian nahu sorofmu, gimanapun juga kamu itu dari Kota Santri, Bapak mau baca hasil penelitian anak bapak yang mengkaji al-qur’an dengan fenomena yang terjadi, saluhur-luhurna elmu ai teu beriman jeung bertaqwa mah biasa wae keur bapak mah, tapi anak sholeh/sholehah dengan mengerti agamanya ada pahala yang tak terputus”

“Sok tuntaskeun, selamat berjuang ! rek terluka rek meunang kanyeri sok di shelter we anggeuskeun kabeh, ya hati-hati ada apa-apa alarm sing tarik”

Dari Shelter ke Rumah….

“masih ada kuah opor ayam yang dimasak oleh Ibu untuk menuntaskan perjalanan menjadi antropolog pangan…..tidak ada yang boleh menghentikannya lagi…….”

CARPE DIEM, REP !

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” Q.S Al-Insyirah ayat 5

Posted in Uncategorized | Comments Off on ANTROPOLOGI PATAH HATI

#4 – Refleksi All Our Kin – Carol B Stack

Diskusi bersama Ibu Wati (Dr. Budiawati Supangkat, MA, Antropolog Gender – FISIP, UNPAD)

tentang Kekerabatan dari E-book All Our Kin – Carol Stack.

Kebersamaan diskusi virtual :

sumber gambar : goodreads

Tentang Penulis :

Carol B. Stack/Carol Stack.

Carol Stack merupakan antropolog studi sosial budaya pendidikan dengan ketertarikan riset : kemiskinan perkotaan dan pedesaan, kebijakan terhadap anak dan keluarga, migrasi, ras, dan gender, ketertarikan riset barunya pada : pemuda,pekerjaan dan sekolah. 

SINOPSIS ALL OUR KIN

Selayang pandang buku ini menceritakan kajian antropologis penulis selama melakukan riset pada tahun 1974 tentang komunitas kulit hitam yang berlokasi di Midwest, salah satu area perkotaan. Stack menganalisis dengan fokus kelas bawah (orang kulit hitam) dan disebut dengan FLAT (Flat ini diceritakan berada di kota Fiksi Jackson Harbor).  Di kota ini, Stack mengerjakan studi kasus nyata pada komunitas migrasi kulit hitam dari Amerika Selatan ke Midwest tercatat dari tahun 1968 hingga 1971.

Perjalanan Stack meneliti menggunakan penyamaran karena tidak menggunakan nama asli dari afiliasi lembaga risetnya, tujuan Stack demikian adalah untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa : daerah perkotaan yang paling miskin memiliki kesamaan dalam hal norma dasar, kelembagaan, dan ditemukannya masalah sistemik sosial. 

Penemuan Stack tentang penindasan sistemik yang terjadi pada komunitas kulit hitam terlihat dari rasisme dan kekerasan ekonomi, yang ternyata memberikan penjelasan bahwa hal ini adalah hal yang benar-benar sistemik dan dapat digunakan kembali jika ada hipotesis untuk solusi untuk jangkauan kasus yang melebar atau meluas.

Stack menjelaskan dalam buku ini bahwa alasannya tertarik dengan migrasi komunitas kulit hitam dimulai dari sebuah pengamatan tentang penghuni zona perkotaan di Midwest yang memiliki ketergantungan pada kesejahteraan terutama dari programnya. 

Program kesejahteraan ini disebut sebagai Bantuan Keluarga untuk tanggungan anak-anak. Hal ini terlihat dari sekelompok keluarga pindahan dari desa ke kota dalam dua generasi terakhir. Stack memiliki rasa penasaran dengan intuisi peneliti ingin mengetahui :

“Apakah ada sesuatu tentang kota-kota Midwestern ini ?”

“Bagaimana kota ini bisa memberikan insentif kepada komunitas orang kulit hitam yang dibebani oleh kemiskinan jangka panjang ketika melakukan migrasi ? “

Studi antropologis Stack secara umum hanya memetakan berbagai jenis hubungan keluarga melalui barang dan jasa yang bergerak, penelitian Stack ini atas dasar pemikiran dan ide strukturallis dari gabungan perspektif antropologi dan sosiologi, beberapa yang memengaruhi kajian Stack dalam analisisnya adalah :

  1. Frances Fox Piven   (Seorang Professor Emeritus Ilmu Politik – CUNY, Amerika dan ilmuwan sosial yang terkenal secara internasional dengan komitmennya terhadap orang miskin dan pekerja untuk kepentingan demokrasi).
  2. Charles Valentine (lahir pada tahun 1929 dan menghadiri Sekolah Pascasarjana di University of Pennsylvania pada 1950-an. Dia dipilih oleh Ward A. Goodenough untuk bergabung dengan sekelompok siswa yang menemaninya ke Papua-Nugini untuk membantu studi etnografi budaya dan linguistik penduduk).
  3. Richard A. Cloward (Publikasi risetnya) (Sosiolog, Aktivis, Penulis, Professor di Sekolah Pekerja Sosial – Universitas Columbia).

Ketiga influencer inilah yang melengkapi kajian Stack terhadap struktur ekonomi Amerika dengan memetakan beberapa aspek seperti :

  1. Kondisi Warga Negara
  2. Batas Kesadaran diri selaku warga negaranya tinggal.

Stack berpandangan bahwa akibat pandangan wajar tentang kemiskinan dan ketidaksejahteraan dapat menyatakan penderitaan orang kulit hitam diremehkan, terbukti mereka diremehkan dan diberi posisi sebagai tenaga kerja dasar, sistem kesejahteraan yang miskin dan gagal sangat terlihat ketimpangannya, dan adanya epidemi kekerasan ekonomi berbasis ras.

Dalam riset ini Stack tentu menentang keras pada asumsi populer tentang kemiskinan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Sosiolog Oscar Lewis yang menyatakan cycle of poverty yang selalu bermasalah dimanapun karena ada penguatan ekonomi namun dimanfaatkan dan menjadi berkelanjutan oleh para pelakunya.

Sebelum masuk pada bahasan refleksi setiap bab dalam buku All Our Kin, ada beberapa prinsip Stack yang saya sukai dari perspektif outsider ketika Stack menjadi antropolog yang menkaji kehidupan komunitas hitam di The Flats :

  1. Stack berhasil memposisikan dirinya sebagai peneliti/antropolog yang tidak menggunakan afiliasinya sejak terjun mengambil data dan meneliti, hal ini menjadikan Stack lebih leluasa memposisikan dirinya sebagai outsider yang masuk ke dalam kehidupan kelompok kulit hitam bahkan sampai urusan personal orang hitam.
  2. Stack menyamarkan lokasi dengan membuat penyamaran nama The Flats dan ini tidak mendiskriminasi siatu lokasi untuk ditelusuri bahkan diinvestigasikan, Stack menjaga nama baik The Flats dan orang-orangnya, namun Stack memunculkan data empirik dari hasil penelitiannya.
  3. Stack peduli pada kemiskinan, jaminan sosial, dan hubungan antar individu baik itu memiliki kekerabatan atau orang lain yang akhirnya menjadi satu keluarga. Stack menekankan kekuatan suatu hubungan dapat membantu kesenjangan sosial, terutama dalam memberikan bantuan.

Refleksi 1 – Perkenalan The Flats, The Setting, The Research Scene dan My Home Base : 

Stack membuat pengenalan sebagai antisipasi bahwa seorang wanita muda kulit putih dapat melakukan studi tentang kehidupan keluarga kulit hitam, dan memberikan pengetahuan dasar untuk mengevaluasi kualitas data yang diperoleh.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan spektrum pertanyaan yang luas yang mendasar bagi analisis sosial.
“Mungkinkah orang luar yang melambangkan budaya dominan memasuki komunitas kulit hitam, memenangkan partisipasi dan persetujuan komunitas,
memperoleh data yang dapat diandalkan, dan menilai keandalannya?” 
Sebagai pertanyaan penelitian Stack mencakup :
  1. Peran apa yang dapat diambil oleh peneliti?
  2. Dapatkah pengamat memahami bagaimana pertanyaannya ditafsirkan oleh informan?
  3. Bisakah pengamat menemukan aturan yang digunakan oleh mereka yang dipelajari untuk mengatur urusan sehari-hari mereka?
  4. Bisakah membedakan teorinya sendiri untuk memahami data dari makna yang diberikan oleh anggota komunitas dalam kehidupan sehari-hari mereka?
  5. Bagaimana saluran/informan awal yang dipilih untuk mendapatkan informasi tentang makanan pembuka ke dalam komunitas yang memengaruhi temuan dan bias dari studi lapangan antropologis?
Baik dalam masyarakat industri maupun nonindustri, para peneliti biasanya menjalin kontak pertama mereka dengan orang-orang yang memegang kekuasaan seperti : administrator kolonial,kepala suku, walikota lokal, dan hakim.

Orang-orang ini memanfaatkan status mereka dalam komunitas dan bantuan yang diberikan kepada mereka untuk mengantar para peneliti ke komunitas, mata rantai pertama dalam apa yang menjadi rantai perkenalan. Siapa pun yang melanjutkan melalui saluran lain berisiko menyinggung pihak yang berkuasa dan memprovokasi undangan untuk meninggalkan komunitas. Di sebagian besar komunitas kulit hitam di Amerika Serikat saat ini, kekuasaan dibagi di antara generasi profesional yang lebih tua.

  • Stack mendapatkan kontak pertama di The FLAT dengan dengan bekerja melalui jaringan mapan kelompok pria dan wanita kulit hitam yang memiliki status dan kekuasaan di The Flats dan di komunitas Jackson Harbor yang lebih besar. 
  • Informan Stack  mencakup dua ilmuwan sosial kulit putih lainnya telah memasuki komunitas kulit hitam di Jackson Harbor melalui kontak dengan pengkhotbah, guru pekerja sosial, dan profesional kulit hitam lainnya. Meskipun tidak ada penelitian yang membutuhkan teknik pengamat partisipan yang intensif, penelitian mereka terbatas.
  • Stack melakuka studi pertama kali pada pertengahan 60-an pada komunitas yang telah menghasilkan beberapa orang yang pandai berbicara. Bahkan berbicara intelektual untuk menentang ketidakadilan rasial dan politik.
  • Pidato dan aktivitas mereka ditujukan terutama pada komunitas kulit putih di dalam komunitas kulit hitam itu sendiri, mereka tidak mengontrol suara.
  • Stack mengenal pria dan wanita muda yang terlibat dalam aktivisme politik dalam komunitas kulit hitam kemudian mereka berkomitmen untuk tujuan mereka pada : pusat kesehatan gratis, Organisasi Hak Kesejahteraan, pusat pelatihan kerja, aktivis rumah susun.
  • Stack mempelajari orang-orang di The Flat menggunakan nama depan satu sama lain, dan untuk menyebut tetangga dan teman mereka dengan Nama keluarga jarang digunakan dan sering kali orang tidak tahu nama keluarga dari kenalan dan teman lama.
  • Meskipun pembuatan nama panggilan untuk saudara dan teman adalah hiburan yang kreatif dan tak ada habisnya. Nama panggilan dipersonalisasi dan disayang seperti yang secara dramatis mengekspos karakteristik yang mengesankan atau mencolok tentang seseorang, memberinya identitas yang sangat khusus. Stack juga memperoleh beberapa nama panggilan selama penelitian, tetapi nama panggilan itu adalah “Si Putih Caroline”, sebuah nama yang awalnya diberikan kepada Stack oleh sebuah keluarga untuk membedakan Stack dari keponakan mereka yang juga bernama Caroline.
  • The Flats adalah nama fiktif, begitu pula nama kotanya, Jackson Harbour. Statistik yang dikutip pada komunitas ini berasal dari Sensus AS (1960-1970), tetapi untuk menyembunyikan identitas kota, angka-angkanya telah sedikit dikaburkan. Namun demikian, deskripsi menggambarkan pengaturan, dan secara akurat mencirikan banyak daerah perkotaan lainnya di Midwest dan perempatan ghetto di dalam kota-kota ini.

Refleksi 2 –  Black Urban Poor :

Stereotypes Versus Reality dan An Anthropological Approach : 

Stack mengakumulasikan tentang beberapa studi tentang keluarga kulit hitam di Amerika Serikat yang memiliki pemikiran tinggi baik strategi adaptif, akal, dan ketahanan keluarga perkotaan di bawah kondisi kemiskinan abadi untuk sebuah stabilitas jaringan kekerabatan mereka. Sebagian besar studi klan tentang kehidupan keluarga kulit hitam telah membandingkan keluarga dengan latar belakang model kelas menengah kulit putih.
Selama lebih dari 50 tahun, para sarjana terkemuka kehidupan keluarga kulit hitam telah puas dengan budaya hitam pigeonhole ke dalam konsep yang terbentuk sebelumnya dari ibu-ayah-anak (model nuklir) atau matriarki (model matrifokal), hampir tidak mempertanyakan validitas budaya mereka.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? 
Pengamatan Stack menyebutkan bahwa :
  • Studi yang cenderung memperkuat stereotip populer dari kelas bawah atau keluarga kulit hitam-khususnya keluarga kulit hitam dalam kemiskinan sebagai kelompok yang menyimpang, matriarkal, dan rusak. Mengingat bias akademis yang berlaku, tidak mengherankan bahwa beberapa upaya telah dilakukan untuk melihat keluarga kulit hitam sebagaimana adanya, mengakui interpretasi orang kulit hitam terhadap pola budaya mereka sendiri. Pelajar dari kehidupan keluarga kulit hitam umumnya mengabaikan interpretasi bahwa orang kulit hitam memiliki pengalaman hidup mereka sendiri.
  • Tentang keluarga untuk mencapai mobilitas sosial terdiri dari pekerjaan bergaji rendah, musiman, dan sementara. Ini adalah faktor utama yang mencegah individu keluar dari kemiskinan. Selain itu, mereka yang mencoba mobilitas sosial harus secara hati-hati mengevaluasi keamanan pekerjaan mereka, bahkan jika itu pada tingkat kemiskinan, sebelum mereka mengambil risiko melepaskan diri dari bantuan kolektif kerabat. Harapan dan kewajiban kolektif yang diciptakan oleh jaringan kerja sama sanak saudara yang miskin di The Flats menghasilkan stabilitas dalam kelompok kerabat, dan keberhasilan jaringan sanak saudara ini bergantung pada stabilitas ini.
  • Adanya teori-teori ilmu sosial rasis seperti yang telah melahirkan konsep-konsep seperti budaya kemiskinan. Dalam Blaming the Victim William Ryan (1971) secara dramatis menunjukkan dampak pemikiran rasis terhadap ilmu-ilmu sosial dan dampak diskriminasi terhadap orang kulit hitam. Ryan berpendapat bahwa “kita tidak bisa menyalahkan korban atas kekurangannya”
  • Namun, bahkan Ryan menerima asumsi ilmuwan sosial dan pembuat kebijakan dengan menyatakan bahwa atribut menyimpang ini hanya berlaku untuk segmen yang relatif kecil dari komunitas kulit hitam. Dia menerima tanpa kritis bahwa keluarga kulit hitam yang miskin adalah keluarga tanpa ayah. Dia percaya bahwa peristiwa stres di antara orang miskin diikuti oleh perubahan rumah tangga yang tidak terduga oleh orang dewasa dan anak-anak. Dia menyatakan bahwa tekanan ekonomi dan diskriminasi adalah penyebab dasar kemerosotan keluarga “Negro” dan bahwa “patologi sosial dan keluarga berantakan adalah akibat kembar.” Semua asumsi ini ditantang dalam buku ini oleh Stack.  Ryan tidak menanyakan, misalnya, apa satu-satunya ikatan kekerabatan atau persahabatan yang dimainkan di komunitas kulit hitam, siapa yang mensosialisasikan anak-anak yang lahir di ghetto, kriteria rakyat apa yang memenuhi syarat seorang wanita untuk melahirkan atau membesarkan anak, atau apa yang mungkin fungsi adaptif serikat seksual dan beberapa jaringan keluarga rumah tangga, Karena tidak mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, ia mungkin meminta maaf atas cara hidup mereka.
  • Kerabat pribadi tumpang tindih membentuk kelompok individu yang masing-masing dapat membawa orang lain ke dalam jaringan domestik. Para peserta jaringan domestik di The Flats cukup sering berpindah-pindah dan memiliki loyalitas lebih dari satu kelompok rumah tangga dalam satu waktu. Anggota rumah tangga di mana individu memiliki loyalitas berbagi tanggung jawab domestik yang dipahami bersama. Anak-anak dapat diasuh oleh orang tua mereka atau oleh peserta lain dalam jaringan domestik orang tua mereka, atau mereka dapat dipindahkan bolak-balik dari rumah tangga ibu mereka ke rumah keluarga kerabat dekat perempuan lainnya. Pola tempat tinggal anak-anak di The Flats menimbulkan pertanyaan tentang distribusi hak pada anak-anak, kriteria yang orang berhak untuk mengambil peran orang tua, dan bagaimana mendefinisikan “keluarga” di The Flats.
Secara tradisional, para antropolog telah mendefinisikan suami, istri, dan keturunannya sebagai unit sosial-ekonomi dasar yang membentuk sebuah keluarga. Unit ini dianggap sebagai kelompok keluarga universal yang menyediakan fungsi seksual, ekonomi, dan reproduksi dan pendidikan (Murdock 1949). Perspektif tentang keluarga ini jelas tidak memadai untuk studi kehidupan rumah tangga di The Flats.
Pengertian kemiskinan menjelaskan persistensi kemiskinan dalam hal penyisihan, disintegrasi kelompok, disorganisasi pribadi, pengunduran diri  dan fatalisme. Namun, sejak awal, Hylan Lewis (1965), kemudian Hannera (1969), Liebow (1967), dan Valentine (1968) menunjukkan bahwa banyak ciri yang diduga mencirikan budaya kemiskinan-pengangguran, upah rendah, tempat tinggal yang padat adalah hanya definisi kemiskinan itu sendiri, bukan “budaya” yang berbeda. Di The Flats, pekerjaan tersedia bagi mereka yang berharap upah.
Piven dan Cloward (1971) berpendapat bahwa pemberian bantuan di Amerika adalah institusi pendukung yang melayani tatanan ekonomi dan politik yang lebih besar. Piven dan Cloward mendemonstrasikan fungsi-fungsi kesejahteraan masyarakat dalam bukunya Regulating the Poor (1971, xiii) Hal ini “menunjukkan bahwa pengaturan bantuan dimulai atau diperluas selama pecahnya sesekali kekacauan sipil yang dihasilkan oleh pengangguran massal, dan kemudian dihapuskan atau dikontrak ketika stabilitas politik dipulihkan.”
Sifat ekonomi Amerika, seperti yang dijelaskan oleh Piven dan Cloward (1971), mengharuskan orang miskin untuk memikirkan cara untuk mengatasi krisis kronis, bencana, dan peristiwa yang sama sekali di luar kendali mereka. Banyak penelitian mengabaikan bagaimana tekanan ekonomi dan politik di luar dan di dalam keuntungan, sistem kesejahteraan, majikan, kehilangan tanah, agen sosial, sekolah, dokter, klinik kesehatan, layanan kota- mempengaruhi pola budaya, identitas sosial, kesempatan hidup, dan hubungan interpersonal di antara orang miskin.
Banyak tinjauan literatur tentang keluarga kulit hitam menunjukkan kegagalan ilmuwan sosial untuk memahami realitas budaya Afro-Amerika; lihat, misalnya, Gonzalez (1969), Struktur Rumah Tangga Black Carib (Bab VI): Whitten dan. (1970), Antropologi Afro-Amerika (Pendahuluan (1971), Tomorrow’s Tomorrow: The Black Wom yang disarankan oleh Stack agar analisis tentang keluarga dan kemiskinan semakin holitik.

Refleksi 3 – Swapping ” What Goes Round Comes Round 

The Obligation to Give, The Rhythm of Exchange dan Social Networks

Stack menceritakan tentang pengalamannya dalam melihat kehidupan orang yang bernama Ruby Banks yang naik taksi untuk mengunjungi Virginis Thomas,  dan mereka menukar beberapa butir jagung panas dan sayuran dengan popok dan susu. Di taksi saat pulang, Ruby berkata kepada Stack

“Saya tidak percaya menempatkan diri pada siapa pun, tapi saya tahu saya butuh bantuan setiap hari, Anda tidak bisa mendapatkan bantuan hanya dengan duduk di rumah, berbaring di rumah, dan semuanya Anda harus bangun dan pergi keluar dan bertemu orang-orang, karena pada hari Anda pergi keluar, orang pertama yang Anda temui mungkin adalah orang yang dapat membantu Anda mendapatkan hal-hal yang Anda inginkan. Saya tidak percaya mengemis, tapi saya percaya bahwa orang harus saling membantu. Dulu saya mengharapkan banyak hal seperti suite ruang tamu, pakaian, pakaian bagus, pakaian bergaya-saya muak memakai pakaian yang sama. Tapi saya tidak bisa, saya tidak bisa bantu diri saya sendiri karena saya memiliki anak-anak saya dan saya mencintai mereka dan saya memiliki ibu saya dan semua kerabat kami Kadang-kadang saya tidak punya uang receh di saku saya, tidak sepeser pun menangis untuk mendapatkan sekotak popok kertas, susu, roti roti Tapi Anda harus mendapat bantuan dari semua orang dan siapa saja, jadi jangan berpaling ketika mereka datang meminta bantuan”

Sebagai Keluarga kulit hitam yang tinggal di The Flats yang membutuhkan sumber dukungan kooperatif yang stabil untuk bertahan hidup. Mereka berbagi satu sama lain karena urgensi kebutuhan mereka seperti adanya aliansi antara individu dibuat sepanjang waktu ketika kerabat dan teman berubah dan memberi satu sama lain. Mereka berdagang kupon makanan, uang sewa, TV, topi, dadu, mobil, nikel di sini, rokok di sana, makanan, susu, bubur jagung, dan anak-anak.

Refleksi 4 – Personal Kindreds : “All Our Kin”: 

Motherhood, Fatherhood, Friendship

Stack memperhatikan setiap perilaku dan kehidupan di The Flats. Di seluruh dunia, individu membedakan kerabat dari non-kerabat. Selain itu, dalam istilah yang sering diperluas ke non-kerabat dan hubungan sosial antara anak-kerabat dapat dilakukan dalam idiom kship. Individu memperoleh hubungan kapal yang diakui secara sosial dengan orang lain melalui rantai hubungan sosial antara orang tua-anak (Goodenough 1970). Rantai koneksi orang tua anak sangat penting untuk penataan. Meskipun antropologi telah lama membedakan perbedaan antara orang tua alami dan sosial (Malinowski 19 Radcliffe Brown 1950, Goodenough 1970, Canoll 1970). Dan Inilah yang terjadi di The Flats tentang hal-hal konyol :  Seorang wanita muda Mack di The Flats, dia memiliki anak sendiri dari ayah yang berbeda. Billy berkata :
“Kebanyakan orang yang memiliki hubungan keluarga berada di lingkungan ini, tepat di The Fasts, tetapi saya juga memilih orang di Selatan, di Chicago, dan di Ohio. Saya tidak bisa banyak nama mereka dan kebanyakan dari mereka bukan mally kifol tome Mulai di jalan dari sini, ambil ayahku, jadilah Daddy (Ayah), dia bukan ayah bagiku. Aku hanya punya satu ayah dan itu Jason”

Refleksi 5 – Child Keeping : “Gimme a Little Sugar”

Statistical Patterns dan Transactions in Parenthood 

Komunitas kulit hitam telah lama menanggung masalah dan kesulitan yang dialami bersama oleh semua ibu dalam kemiskinan. Tanggung jawab bersama di antara kerabat telah menjadi kewajiban. Keluarga-keluarga yang baru mengetahui kehidupan di The Flats menceritakan kepada Stack tentang banyak keadaan yang mengharuskan anak-anak untuk tinggal di rumah tangga yang saling membutuhkan dan tidak termasuk orang tua biologisnya. Sebagian besar orang dewasa yang terlibat dalam penelitian ini pernah dikendalikan oleh kinamen (a man who is one of a person’s blood relations). Beberapa anak mereka sendiri membutuhkan biaya mahal di rumah kinamen, atau telah diurusi oleh kerabat di masa lalu.
Orang-orang di The Flats sering menjadi vegan dan cold-keeping sebagai bagian dari elastisitas penduduk. Perluasan dan pengurangan rumah tangga, dan rekombinasi berturut-turut dari kerabat laki-laki yang tinggal bersama, juga diperlukan untuk merawat anak-anak yang tinggal di rumah tangga mereka seiring dengan pergeseran hombold, hak dan kemungkinan yang dibutuhkan. Orang-orang yang untuk sementara memikul kewajiban kekerabatan untuk mengasuh anak, mengasuh anak tanpa batas, memperoleh kelompok utama malam dan tugas-tugas yang secara ideal.
Jumlah orang yang dapat mengasumsikan perilaku yang sesuai idealnya terkait dengan aturan orang tua dan kakek-nenek meningkat untuk memasukkan kerabat dekat dan teman-teman. Akibatnya panggilan “ibu”, “ayah”, “nenek”, dan sejenisnya, label yang sesuai untuk menggambarkan lingkungan sosial.

Refleksi 6 – Domestic Networks “Those You Count On”:

Kin-Structured Local Networks, Residence and Domestic Organization, The Domestic Networks of Magnolia and Calvin Waters, Genosity and Poverty 

Stack melihat pada kelompok hitam ini ada sebuah tanggung jawab untuk menyediakan makanan, perawatan, pakaian, dan tempat tinggal dan untuk mensosialisasikan anak dalam peta desti etwork het al huld. Rumah mana yang menjadi milik individu tertentu yang bukan merupakan pertanyaan penting, seperti yang kita miliki dalam gambaran rumah tangga sehari-hari bergantung pada hal-hal di mana orang-orang berkumpul dengan semua waktu dan uang.
Meskipun mereka yang makan bersama dan berkontribusi terhadap sewa umumnya dianggap oleh orang-orang Flat sebagai unit rumah tangga minimal, perubahan rumah tangga jarang mempengaruhi pertukaran dan ketergantungan harian mereka yang mengambil bagian dalam kegiatan bersama.
Jalur tempat tinggal dan organisasi operasi orang-orang yang terhubung dalam jaringan domestik menunjukkan stabilitas dan kekuatan kolektif kehidupan keluarga di The Flats. Michael Lee dibesarkan di The Flats dan memiliki pekerjaan di Chiesen. Dalam kunjungan ke The Flats, Michael meninggalkan tempat tinggal dan organisasi domestik kerabatnya.

Refleksi 7 – Women and Men “I’m Not in Love with”

No Man Really, Mother and Fathers, Fathers and Children, Men and Mothers

Stack juga memperhatikan kisah asmara antara wanita dan pria di The Flats, ada kalimat yang mengejutkan Stack :

“Aku Tidak Benar-benar Jatuh Cinta dengan Tidak Ada Pria”
Ini disebabkan karena adanya kekosongan dan keputusasaan lowongan pekerjaan merugikan bagi pria dan wanita, rute kontrol atas sedikit oleh wanita, dan keamanan jaringan kerabat, militer melawan manajemen atau hubungan jangka panjang di The Flats wanita dan pria, bagaimanapun juga , akan lebih bagus jika  hubungan yang satu sama lain memiliki rasa dan jatuh cinta,
Funlity dari pengalaman kerja untuk stretcomes di komunitas kulit hitam secara sensitif digambarkan oleh Elliot Liehow di Tallys Camer. Dia menyatakan (1957, hlm. 63) bahwa
“Pekerjaan itu menggagalkan pria dan pria itu gagal dalam pekerjaan.”
Ini merupakan hasil dari diskusi Liebow (1967, 142) tentang penelitiannya tentang hubungan eksploitatif pria penipu jalanan dengan wanita. Hal ini memperlihatkan :
“Mes (tempat ini) tidak hanya menempatkan diri mereka sebagai pengeksploitasi skotomi terhadap wanita, tetapi mereka mengharapkan pria lain melakukan hal yang sama.”
Untuk stabilitas maital, pekerjaan bergaji rendah, pengangguran, dan kesejahteraan , semua memiliki konsekuensi  yang dapat diprediksi untuk hubungan pidana antara perempuan dan laki-laki di The Flats.  Bahkan jika ada  diskusi tentang peran seks dalam komunitas hitam namun dibahas dengan cara pendekatan personal dan itu masuk ke dalam ranah diskusi pribadi.

Refleksi 8 – Kesimpulan : 

  • Keluarga kulit hitam di The Flats dan non-kerabat mereka  memiliki pola-pola perubahan berbasis kekerabatan jaringan dalam batas rumah tangga, atau bahkan ikatan seumur hidup.
  • Prestasi struktural yang sangat adaptif dari keluarga kulit hitam perkotaan ini melengkapi respons yang lambat terhadap kondisi sosial-ekonomi kemiskinan, pengangguran perempuan dan laki-laki kulit hitam, dan sumber daya.
  • Prestasi negatif yang dikaitkan dengan keluarga miskin terlihat bahwa keluarga kulit hitam yang tergabung dalam perubahan domestik yang kooperatif terbukti menjadi jaringan yang ulet, aktif,
  • Kurangnya gaya hidup miskin secara bersamaan terkunci ke dalam ikatan yang intim dan berkelanjutan dengan The Flats dan kehidupan sosialnya.
  • Adaptasi kemiskinan yang menarik dijelaskan dalam penelitian ini dalam siklus kemiskinan yang membuat orang miskin melepaskan diri dari jaringan kerabat mereka atau meninggalkan kota.
Demikian Refleksi dan membaca tentang hubungan kekerabatan dengan kehidupan sosial terutama kelompok kulit hitam yang diteliti oleh Antropolog Kulit Putih Carol Stack dalam bukunya All Our Kin.
– Repa Kustipia

 

 

Posted in Antropologi Dasar | Comments Off on #4 – Refleksi All Our Kin – Carol B Stack

#3 Multiple Governance Pada Kebijakan Gizi Seimbang

Dalam pertanyaan Kebijakan dan Kebudayaan adalah :

  1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan kebijakan sebagai multiple governance ! 
  2. Jelaskan bagaimana kerangka multiple governance dapat digunakan untuk menjelaskan kompleksitas contoh kebijakan yang didiskusikan dalam pertemuan sebelumnya ? 

Kilas Balik Kebijakan yang didiskusikan pada Senin, 8 November 2021

  1. Armia menjelaskan Analisis Multiple Stream Framework pada Kebijakan Mudik Lebaran di Tengah Covid-19.
  2. Hikmat menjelaskan Garbage Can Model pada Analisis Implementasi Kebijakan Asesmen Nasional 2021 di Indonesia.
  3. Nguyen Tan Khang menjelaskan Advocacy Coalition Framework pada Evidence-Based Health Policy Development Coalition (EBHPD)
  4. Repa Kustipia menjelaskan Incrementalist Model pada Kebijakan Gizi Seimbang di Indonesia.

Sebagai topik bahasan yang dipilih untuk membahas Multiple Governance adalah Kebijakan Gizi Seimbang di Indonesia.

Silakan kunjungi tautan berikut untuk membaca presentasi singkatnya : 

Multi Governance pada Kebijakan Gizi Seimbang – Repa Kustipia” 

Sebagai Ringkasan Materi yang ditulis oleh Peter L.Hupe dan Michael J.Hill tentang Tiga Tingkat Tindakan Tata Kelola : Membingkai Ulang Model Tahapan Proses Kebijakan. 

1. Perkenalan.

Sebagai struktur teoritis terkadang bercampur dan disatukan dengan metode dan konsep bersama, bahkan sesuatu yang empiris akan berkaitan dengan hal deskriptif pada sebuah teori”

Menurut Schlager (1997), mencirikan lanskap proses studi kebijakan bervariasi yang mencerminkan kompleksitas objek studi itu sendiri. Elemen kunci pendekatan yang menggambarkan model lanskap proses kebijakan ini meninjau secara fungsionalitas dari model ini.

Menurut Sabatier (1999), Penentuan elemen proses kebijakan yang sangat kompleks terdiri dari :

  1. Multiplisitas aktor (keduanya individu dan korporasi) yang masing-masing memiliki kepentingan, nilai, persepsi dan preferensi kebijakan.
  2. Rentang Waktu satu dekade atau lebih.
  3. Domain kebijakan biasanya ada lusinan program yang berbeda melibatkan beberapa lapisan pemerintahan.
  4. Berbagai keterlibatan perdebatan tentang kebijakan teknis diadakan di forum berbeda.
  5. Taruhan tinggi proses kebijakan menimbulkan banyak perilaku politik kekuasaan. 

Kompleksitas objek ini membentuk latar belakang dan fakta studi kontemporer tentang proses kebijakan yang masuk pada berbagai arah.

Dalam bukunya Kebijakan Publik : Wayne Parsons memberikan gambaran luas tentang kekayaan konseptual  di bidang kebijakan analisis, menurutnya bidang ini ‘kaya akan perbedaan’ dalam :

  1. pendekatan,
  2. disiplin akademik,
  3. model (heuristik dan kausal),
  4. metafora
  5. peta.

Kegagalan kebijakan terjadi pada tingkat implementasi kebijakan langsung yang telah disepakati pada tahap legislatif.

Di Negara-negara Barat dalam berbagai kebijakan publik yang menjadi perhatian publik hanya pada situasi krisis atau bencana. 

Sejak Selznick dan Grass Roots pada tahun 1949, banyak studi ilmu sosial aitu yang berkonsentrasi pada implementasi menemukan hasil yang mengecewakan dari kebijakan publik dalam praktiknya.

Sebelum menyoroti model tahapan, dilakukan dulu : Sorotan masalah studi pada proses kebijakan (perdebatan kompleks dan intens), hal ini seperti studi sistematis berliteratur klasik tentang publik administrasi. 

Studi Sistematis (Peta Umum)

MODEL SIMON : Analisis kontemporer cenderung melakukan proses kebijakan berfokus pada kesalahan dan bencana untuk mengabaikan sejumlah contoh proses kebijakan yang stabil dan sukses, serta melibatkan desain yang disengaja dan layak.

Pandangan yang seimbang antara citra positif dan negatif dari proses kebijakan yang dibutuhkan adalah cara berteori tentang aspek sistematis fenomena yang dapat melemahkan. 

Model (Peta) , Model Positivis Sosial pada Sains, dengan tujuan Menjelajahi : Sifat, fungsi dan keterbatasan dari apa yang disebut model tahapan, dan kemudian untuk melihat apakah kerangka umum alternatif untuk proses analisis kebijakan dapat dibangun di atasnya.

Pertanyaan sentralnya adalah: fungsi tahapan, model studi proses kebijakan, batasan identifikasi, mengatasi batasan dalam analisis kerangka kerja alternatif. 

2. Model Tahap Proses Kebijakan (Varian Literatur)

Harold Laswell (Berperan pada Studi Proses Kebijakan) merupakan ilmuwan dan politikus dari Amerika,dia merupakan pencetus Orientasi Kebijakan menurut Parsons.

Karakterisasi Parsons dalam Orientasi Kebijakan : Multi Metode, Multi Disiplin, Berfokus pada Masalah, Peduli pada pemetaan kontekstualitas proses kebijakan, Memiliki Pemilihan Kebijakan dari Hasil Kebijakan dengan tujuan : Integrasi pengetahuan ke dalam disiplin ilmu secara menyeluruh dalam menganalisis pilihan publik dan pengambilan keputusan, sehingga terbentuk penghargaan dalam demokratisasi masyarakat. 

Tujuh Tahap Keputusan Menurut Laswell (1956) : Intelijen, Promosi, Formula, Harapan (Do’a), Aplikasi, Pengentian, dan Penilaian. 

Menurut Laswell, Peta konseptual harus memberikan panduan untuk mendapatkan gambaran umum dari fase tindakan kolektif. 

Tahun 1945 Herbert Simon merumuskan Logika Keputusan mencakup : Kecerdasan, Desain, dan Pilihan dalam pembuatan : Metakebijakan, Pembuatan Kebijakan, dan Pasca Pembuatan Kebijakan. Diakhiri oleh tulisan Sabatier tentang proses kebikakan memberikan definisi tentang proses kebijakan publik yang meliputi cara dimana masalah dikonseptualisasikan dan dibawa ke pemerintah untuk mendapatkan solusi, dan lembaga pemerintah dapat merumuskan alternatif kebijakan publik dengan memilih solusi kebijakan, dan solusi tersebut : diimplementasikan, dievaluasi dan direvisi. 

Jenkins-Smith dan Sabatier membuat poin-poin berikut dalam kritik yang lebih rinci tentang apa yang mereka sebut dengan tahapan heuristik yaitu : tidak memberikan dasar jelas untuk hipotesis empiris, secara deskriptif tidak akurat, legalistik bawaan dari top-down, penekanan tidak tepat pada siklus kebijakan sebagai unit temporal analisis, integrasi peran analisis kebijakan untuk orientasi kebijakan proses kebijakan publik.

3. Tahap Model Fungsionalitas

DeLeon berpendapat bahwa kerangka kerja seperti ‘kerangka koalisi advokasi’ dari Sabatier dan Jenkins-Smith dan kerangka ekuilibrium yang ditentukan’ dari Baumgartner dan Jones (1993) dapat diposisikan sebagai referer untuk inisiasi kebijakan, bagian awal dalam tahapan heuristik (meskipun itu tampaknya tidak adil bagi). DeLeon memberikan lebih banyak contoh pendekatan alternatif untuk tahapan heuristik. 

Elinor Ostrom (1999) berpendapat bahwa tiga tingkat spesifisitas, yang sering dikaitkan pada prosesnya seperti : kerangka kerja, teori dan model. Oleh karena itu dia mengidentifikasi ini sebagai berikut : 

  1. Kerangka kerja membantu mengidentifikasi elemen yang diperlukan untuk analisis yang lebih sistematis. 
  2. Teori analisis menentukan elemen kerangka relevan dengan jenis pertanyaan secara umum (bisa jadi sebuah asumsi). 
  3. Kerangka kerja membuat asmsi khusus yang diperlukan untuk diagnosis suatu fenomena , menjelaskan prosesnya, dan memprediksi hasil. 

Menurut John (1998) tahapan heuristik adalah kerangka kerja daripada teori. Ini tampaknya posisi yang jelas untuk diambil tentang nilai heuristik sebagai perangkat untuk memfasilitasi penelitian dan pengajaran. 

 

Kunci untuk memahami sifat tahapan heuristik harus dicari asal-usul  dari Orientasi kebijakan. 

DeLeon, meskipun seorang advokat, mengakui bahwa aspek negatif tahapan heuristik bagi peneliti hanya satu tahap pada satu waktu sehingga terlihat pengabaian proses kebijakan secara keseluruhan.

Selanjutnya,heuristik dapat mengarah pada pandangan proses kebijakan terputus-putus atau episodik dalam jangka pendek, ketika seseorang mengambil tahapan heuristik sebagai peta umum untuk analisis proses kebijakan, berpotensi menimbulkan beberapa kesalahan pemahaman yang mungkin memiliki konsekuensi temuan penelitian. 

Menurut Sabatier, kompleksitas analisis proses kebijakan harus menyederhanakan situasi agar memiliki kesempatan memahaminya dan Parsons pun melihat nilai dari tahapan heuristik mengatasi aktivitas multi-frame tetapi sekaligus menggarisbawahi keharusan untuk melihat lebih jauh ke arah pemetaan konteks masalah yang lebih luas, prosesnya, nilai dan institusi yang membuat kebijakan tersebut berlangsung. 

Menurut Parsons (1995) Kebijaka  yang kompleks yang dibingkai oleh berbagai teori, model, penjelasan, nilai-nilai dan ideologi, masalahnya bukan pada siklus kebijakan, namun pada kebutuhan memasukan dan menyertakan model pendekatan yang akan digunakan dalam analisis kebijakan.  

Kerangka Kerja Analitis Alternatif Sebagai Peta Umum

Menurut Parson (1995), Analisis tentang bagaimana keputusan diambil dan kebijakan dibuat dan bagaimana analisis digunakan dalam proses pengambilan keputusan disebut : analisis keputusan.

Keputusan kolektif dibuat ‘oleh pejabat (termasuk warga negara yang bertindak sebagai pejabat) untuk menentukan, menegakkan, melanjutkan, atau mengubah tindakan yang diizinkan dalam pengaturan kelembagaan. Keputusan kolektif ini adalah rencana untuk masa depan tindakan. 

Keputusan konstitusi membentuk tatanan kelembagaan dan penegakannya untuk pilihan kolektif. Keputusan kolektif, pada gilirannya, membentuk pengaturan kelembagaan dan penegakannya untuk tindakan individu. 

4. Proses Kebijakan Sebagai Tata Kelola Ganda

Richards dan Smith mengatakan bahwa : Tata kelola adalah label deskriptif yang digunakan untuk menyoroti perubahan sifat dari proses kebijakan baru-baru ini pada beberapa dekade. 

Menurut Hill dan Hupe (2002), membuat sketsa konsekuensinya seperti ini : 

  1. Perhatian ilmiah berfokus pada pemerintah sebagai tindakan institusi (Publik atau Private). 
  2. Lapisan administratif
  3. Tindakan manajemen

Ringkasnya, struktur proses kebijakan dapat dilihat dari elemen : 

  1. Aktor 
  2. Rangkaian Aktivitas 
  3. Situasi Aksi 
  4. Lapisan Masyarakat 

Aktor

Menurut Ostrom, Aktor merupakan individu atau kelompok yang berfungsi sebagai pengambil tindakan (perilaku, sub-makna objektif dan instrumental). Legitimasi aktor benar-benar terlibat dalam proses kebijakan atas dasar normatif. 

Level Aksi

Menurut Kiser dan Ostrom (1982), Proses kebijakan sebagai tata kelola terdiri dari tiga rangkaian kegiatan yang disebut : 

  1. Pemerintah konstitutif : Pengertian pemerintahan konstitutif berasal dari gagasan Kiser dan Ostrom tentang pilihan konstitusional, yang mereka definisikan sebagai pembingkaian aturan yang mempengaruhi kegiatan operasional dan pengaruhnya dalam menentukan siapa yang berhak pada seperangkat aturan. 
  2. Pemerintah direktif : Formulasi dan pengambilan keputusan tentang keinginan dari hasil bersama dengan memfasilitasi berdasarkan kondisi realisasi situasi jika milik pemerintah. 
  3. Pemerintah operasional : Tata kelola operasional memperhatikan pengelolaan aktual dari proses realisasi. 
Kerangka 

Tata Kelola Beragam

Level Aksi

Skala situasi aksi Tata Kelola Konstitutif Tata Kelola Arahan Tata Kelola Operasional
Sistem  Desain Institusional Pengaturan Aturan Umum Mengelola Lintasan
Organisasi Merancang Hubungan kontekstual Pemeliharaan Konteks Mengelola Hubungan
Individu Mengembangkan Norma Profesional Aplikasi aturan Terikat Situasi Mengelola Kontak

Situasi Aksi

Menurut Ostrom , Situasi Aksi adalah sebuah konsep analitik yang memungkinkan seorang analis untuk mengisolasi struktur langsung yang mempengaruhi proses yang menarik bagi keteraturan dalam tindakan dan hasil manusia, dan berpotensi untuk direformasi. 

Secara empiris, tingkat agregasi dapat diberi label dengan cara meringkas : lokus individu, organisasi dan sistem. 

Lapisan Administratif

Sistem vertikal administrasi publik, proses kebijakan yang bertemu dengan berbagai aktor dan lokus sebagai aksi situasi. Sementara istilah ‘lokus’ menyangkut situasi aksi dalam hubungan politik-masyarakat yang ditunjuk dalam perbedaan agregat mengacu pada serangkaian administrasi publik vertikal dari mana aktor ‘nyata’ berpartisipasi dalam proses kebijakan tertentu. 

Kerangka kerja analitis umum alternatif untuk studi proses kebijakan : 

Permainan  Bersarang Pilihan Rasional Kelembagaan Beberapa tahap Beberapa pemerintahan
Permainan Tinggi Tingkat Konstitusi Analisis Meso Tata Kelola Konstitutif
Permainan Tengah Tingkat Pilihan Kolektif Analisis Keputusan Tata Kelola Arahan
Permainan Rendah Tingkat operasional Analisis Pengiriman Tata Kelola Operasional

Memposisikan Kerangka Kerja (Tata kelola Ganda)

  1. Kerangka kerja menghubungkan studi proses kebijakan secara eksplisit dengan konsep pemerintahan.
  2. Karakter tertentu sebagai lokalisasi kegiatan pemerintahan dengan masyarakat.
  3. Kelipatan Kerangka Tata Kelola menarik mikro-asumsi yang berakar secara ekonomi.
  4. Formulasi Ostrom memiliki penekanan kelembagaan yang kuat sementara, seperti menjelaskan adaptasi terhadap konsep pilihan konstitusional.

5. Penggunaan Kerangka Tata Kelola Ganda

Analisis alternatif sebagai kerangka kerja menawarkan dua kontribusi untuk penelitian proses kebijakan sambil menghindari metode keterbatasan idologis dari tahapan heuristik. 

Mengaktifkan Pembentukan Teori Konstekstual Fungsi Utama dari Kelipatan

Governance Framework adalah contoh dasar konseptual untuk teori kontekstual yang membangun studi tentang proses kebijakan.

Menurut Sabatier (1999), Melihat variabel terikat yang digunakan dalam penelitian kebijakan sejauh ini dimungkinkan untuk membedakan : 

  1. Perubahan kebijakan dalam sistem politik,
  2. Adopsi kebijakan atau serangkaian kebijakan,
  3. Variasi dalam keluaran atau hasil kebijakan.

Kerangka kerja memberikan fleksibilitas untuk memilih unit analisis yang sesuai. Multiple Governance Framework menawarkan cara untuk menyusun dan mengatur, namun rentang yang lebih sempit ini memungkinkan untuk memiliki sejumlah kecil variabel yang dianggap relevan terhadap pertanyaan penelitian yang ada. 

Take Home Notes untuk Repa Kustipia dari Ibu Dr.Caroline Paskarina, S.IP, M.Si : 

1. Multiple Governance harus dilihat versi insider not outsider.

2. Rincian Kompleksitas dan Sepak terjang keterlibatan aktor

3. Teori dan Conceptual Framework (Telusuri)

Terimakasih, Have a great Monday !

 

 

 

 

Posted in Uncategorized | Comments Off on #3 Multiple Governance Pada Kebijakan Gizi Seimbang

#2 Esainya Augie Fleras

Buku : The Politics of Multiculturalism – Augie Fleras

Selayang Pandang

Kia Ora !

Sapaan salam dari suku Maori. Hal yang terbesit ketika memilih chapter 6 adalah keberagaman dan toleransi di Selandia Baru dengan eksistensi penduduk aslinya yaitu suku Maori.

Saya juga takjub dengan Haka Dance yang selalu ditampilkan pada beberapa acara jika berkunjung ke Selandia Baru atau ke kedutaan besar Selandia Baru di Jakarta, kemaoriannya akan selalu dibawa dan tidak dilupakan, namun sejarah multikulturalisme di Selandia Baru ini rumit dan banyak pertentangan terlebih jika sebuah toleransi dan keberagaman menyasar pada hak-hak penduduk asli yang lebih dulu tinggal dan hidup di daerahnya dan sejahtera, karena dinamika kehidupan yang dinamis dan cepat, hal adaptif dan penyesuaian harus dihadapi untuk mencapai kesetaraan dengan para pendatang dan imigran, sehingga hal ini menjadi kehidupan yang kompetitif.

Chapter ini akan membahas perjuangan para suku maori mempertahankan keaslian sikap dan gaya hidup suku maori yang sudah terbentuk pada perjanjian waitangi dan memiliki kedaulatan tata kelola pemerintahan namun dihadapkan pada hal-hal administratif dan isu-isu keberagaman : Monokulturalisme (budaya tunggal yang diyakini oleh suatu penduduk, dalam hal ini Maori), Bikulturalisme (Strategi integrasi ditengah akulturasi), Multikulturalisme (Idealisme tentag keberagaman) dan Binasionalisme (kewarganegaraan ganda).

Melihat geliat pemerintahan dan kekuasaan di Selandia Baru, saya jadi teringat anggota Parlemen perempuan yang memiliki tato khas suku Maori, beliau adalah Nanaia Mahuta menjabat sebagai Menteri Pembangunan Māori dan Menteri Pemerintahan Lokal dalam Pemerintahan Partai Buruh, dan ini memperlihatkan pada dunia bahwa kedaulatan atas masyarakat adat masih bisa dipertahankan dan dilibatkan dengan pemerintahan kekinian dan suku maori masih memiliki ruang berekspresi baik dalam politik, sosial, kemanusiaan, dan kelokalan/Indigenous studies nya. 

Nanaia Mahuta

Sumber gambar : Twitter @NanaiaMahuta

Chapter 6 – Persaingan Tata Kelola di Aotearoa Selandia Baru : Monokulturalisme, Bikulturalisme, Multikulturalisme, dan Binasionalisme.

“Isme” Politik

Menurut Crothers (2007), Wilayah Aotearoa di Selandia Baru telah lama menikmati reputasi Intenasional untuk tata kelola hubungan ras yang harmonis, hal ini bukan semata sebuah desain, namun ada tantangan untuk menghadirkan tata kelola inklusif yang menaungi keberagaman dan menghormati perbedaan yang sulit dipahami bahkan menakutkan.

“isme” politik terkadang disalahkan, karena adanya Bikulturalisme yang mendominasi, namun ada politik monokulturalisme dan multikulturalisme yang terus berebut status.

Pakeha, merupakan orang Selandia Baru (non-maori) berpendapat tentang

Kerangka monokultural secara terbuka, namun mundur dari konstitusi terbuka, hal ini mempengaruhi perubahan nasional yang bertujuan mempertahankan kendali atas agenda nasional yang mendukung multikulturalisme karena rendahnya kejahatan”

Sedangkan, di Pemerintahan Kebijakan bikultural adalah dasar koperasi pemerintahan, dan pemimpin adat Maori setuju, dan jika Bikulturalisme dipaksakan negara, Menurut Fleras dan Spoonley (1999) Bikulturalisme akan membahayakan status konstitusional bangsa.

Menurut Johnson,Maaka, dan Fleras (2008) Bikulturalisme yang di kritik seorang kritikus mengenai bikulturalisme mengakui binasionalitas Selandia Baru sebagai negara yang terdiri dari dua bangsa.

Namun, Menurut Barclay (2005), konsep hak masyarakat adat pada tatanan konstitusional dwinasional menjadi perhatian nasional yang serius hingga menjadi perdebatan dengan tantangan yang dikemukakan oleh Friesen (2008):

  1. Perbedaan konstitusi Bikultural di Selandia baru yang tidak besar dan tidak tertulis (pada pengakuan suku maori sebagai masyarakat adat karena menuntut multikulturalisme karena imigrasi.
  2. “Isme” Politik yang tajam memperebutkan pilihan tata kelola Selandia Baru tidak daat diperdebatkan lagi, Sejalan dengan pemikiran Bromell (2008).

Komitmen Multikulturalisme dikritik karena mengorbankan hak dan keutamaan suku maori sebagai penduduk asli/tanah, namun sebaliknya Ideologi Bikultural berakar pada prinsip perjanjian Waitangi (prinsip pemerintahan yang bermitra dalam perlindungan, partisipasi, dan otonomi. Hal ini pun dikritik karena ketidakpedualian terhadap imigran.

Migran dan minoritas membenci penyerapan dalam monokultul, kerangka kerja, tapi disisi lain meremehkan pengucilan dari bikultural pemerintah”

Mari cermati pada Status Quo Eurosentris, Menurut Pearson dan Mei (2001) :

Tanggapan arus utama yang ambigu : Mereka menawarkan komitmen multikulturalisme pada bikulturalisme, tapi ada ketakutan dengan tuntutan bikultural yang berlebihan dan status quo eurosentris bisa terguling”

Disisi lain, Bikulturalisme simbolik menjadi menarik dibahas dalam memajukan kebaruan yang berbasis “kemaorian” atau budaya suku asli maori yang memang sama-sama memiliki konflik “isme” pada bikulturalisme yang memang didukung oleh negara dengan fokus perhatian pada pemenuhan kebutuhan suku maori karena kesalahan sejarah, bahwa dwinasional yang kuat akan menjadi transformasi konstitusional.

Sebagai bahan renungan saja dalam pertanyaan  :

  1. Jadi isme ini adalah teka-teki pemerintah ? sejalan dengan deskripsi singkat Fleras ?
  2. Isme ini adalah sebuah tuntutan untuk pengakuan multikulturalisme sebagai kerangka kerja untuk tata kelola ?
  3. Apakah Multikulturalisme merupakan desain yang dibuat pemerintah ?
  4. Bagaimana dengan imigran Asia – Pasifik yang memiliki dualitas etnis ? Kemudian hal ini dipolitisasi hanya untuk data inkusif ?

Kembali pada pembahasan suku maori dengan ketegasannya yang dipolitisasi :

Menolak adalah dasar pemerintah untuk multikulturalisme yang baru dan bikulturalisme yang disponsori negara, yang didalamnya ada dwinegara dengan visi dualistik yang menyebabkan AOTEAROA menjadi sekutu dwibangsa, Ada keterlibatan pembagian mitra kekuasaan dan implikasi transormasi kontruksi yang kurang”

Bandingkan dengan Politik Suku Maori Asli dengan seruan :

Pemikiran ulang : Hubungan Kekuasaan (Mahkota) Maori yang mengutamakan model suku otonomi dan bisa menentukan nasib sendiri, tapi diusulkan negara”

Hal ini terjadi kendati :

  1. Lapisan kompleksitas dan kebingungan pada monokultur.
  2. Penerimaan publik pada pernyataan “We are one people” sebagai identitas nasional merupakan antusias politik.
  3. Tinjauan kebijakan dan program dapat memastikan kebutuhan individu (Seluruh masyarakat Selandia baru) dengan fokus perhatian : Hak dan hak adat suku maori.

Menilik “isme” yang disisipkan pada :

  1. Monokulturalisme
  2. Multikulturalisme
  3. Bikulturalisme
  4. Binasionalisme

Ternyata : “isme” yang terkandung tidak penting dan dampaknya kecil.

Sebagai contoh : Menurut Fleras (1998) Status Quo Institusional, bikulturalisme dari negara hanya terbukti sedikit dari multikulturalisme untuk suku maori.

Bagaimana jika yang lain tidak setuju ?

Perbedaan mendasar pada ruang lingkup, tujuan, rasional, strategi, dan hasil usulan mengakui perbedaan. Namun, pembentukan bikulturalisme (konstitusional imperatif) multikulturalisme hanya untuk tujuan sosial yang menyelaraskan : Migran dan Minoritas memiliki kebutuhan multikultural pada bahasa kebangsaan dan nasib sendiri”

Namun, yang ditemukan malah jadi tidak jelas tentang “isme” ini bahkan penggunaannya tidak tepat sehingga bikulturalisme tidak bisa dibedakan dengan multikulturalisme dan berdampak pada mitra budaya. Multikulturalisme atau Bikulturalisme dapat menangkap logika mendasar politik suku maori di Selandia Baru, karena memang merupakan aturan pemerintah dwinegara yang memandang hak dan wewenang dalam pengakuan.

“isme” Politik kompleks akan selalu berkembang di Aotearoa,Selandia Baru. Karena logika dibalik politik ini mengeksplorasi kontroversi tentang isu pemerintahan utama yang bersinggungan dengan :

  1. Hubungan “isme” dengan multikulturalisme
  2. Politik Bikulturalisme atas multikulturalisme
  3. Hubungan Binasionalisme dengan multikulturalisme
  4. Prospek multikulturalisme dalam pemerintah dwinegara.

Bagaimana menyeimbangkan hak bersaing pada hubungan ras ?

Dr. Rajen Prasad (1997) : cara berpikir masyarakat multi-etnis dengan budaya asli memerlukan dokumen untuk mengatur hubungan Maori dengan kekuasaan (mahkota), Komitmen multikulturalisme (dalam kerangka binasional) berkembang dalam kebingungan ini”

Keanekaragaman dan Perbedaan di Aotearoa Selandia Baru

Menurut Fleras (1998), keberadaan Selandia Baru di Pasifik terbentuk dari perjanjian kesaksian. “Isme” Politik terus menjadi rebutan dan bergeser dari :

Monokulturalisme (pemerintah diam) –> berdebat tentang multikulturaisme dan bikulturalisme (model pemerintah) –> Neo-Multikulturalisme dan Binasionalisme (Radar Pemerintah).

Selandia Baru telah berevolusi dari :

Monokultur (pengaruh pemerintahan Inggris karena) –> Mengakui legitimasi bikultural dari Maori (Bangsa Pendiri dan Mitra Pembagian Kekuasaan).

Namun, inisial multikulturalisme menghilang secara cepat karena :

KOMPROMI BIKULTURALITAS SELANDIA BARU

Penyebabnya adalah :

  1. Politisasi Demografis.
  2. Dukungan Tren Imigran mengarah pada Multikulturalisme.

Kebijakan imigrasi Selandia baru saat ini :

  1. Menghasilkan ekonomi dan sosial yang nyata.
  2. Kebijakan Imigrasi berfokus pada sumber asal negara yang disukai.

Namun, hal ini lebih mengarah pada karakteristik individu seperti : Keterampilan, tingkat pendidikan, usia dan jumlah modal investasi.

Menurut Bedford, Ada pula komponen kunci daam memajukan Keragaman yang produktif yaitu :

  1. Kontribusi pada sumber daya manusia di Selandia baru (migran dan keahlian menjadi kebutuhan).
  2. Adanya pembinaan hubungan internasional yang kuat (koneksi ekonomi pada migran di tanah air harus kuat).
  3. Pengembangan budaya perusahaan dan inovasi (migran memiliki pengalaman dan keterampilan kewirausahaan).
  4. Pengembangan pelatihan keterampilan dan strategi kerja lengkap (memiliki izin sementara dan jangka pendek).
  5. Reuni Keluarga baru dengan membahas kebutuhan kemanusiaan di Selandia Baru (Penting : Kewajiban Internasional para pengungsi).
  6. Kohesi bikultural dan sosial yang beragam harus dipertahankan komposisi etnisnya.

Bagaimana dengan suasana ambivalensi ?

Tetap ada, terlepas dari kegelisahan yang berkembang atas imigrasi yang menyangkut ekonomi masyarakat Selandia Baru, kepercayaan pada : pengelola yang baik, maka akan menghasilkan hal positif bagi masyarakat”

NB : Ambivalensi didefinisikan sebagai keadaan sosial yang di dalamnya seseorang menghadapi harapan-harapan normatif yang saling berlawanan dalam hal sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, dan perilaku.

Program imigrasi untuk tempat tinggal  :

  1. 60% ruang Aliran terampil/bisnis.
  2. 30% disponsori keluarga
  3. 10% dari kemanusiaan/internasional

Tren migrasi datang dari Inggris, Cina, dan India. Perubahan pola arus migrasi secara cepat terjadi pada thun 2006 dengan data :

  1. 67% warga Selandia Baru.
  2. 14,6 % warga Eropa
  3. 11,1 % Maori (Orang Selandia Baru)
  4. 9,2 % warga Asia (Cina, Hongkong, Taiwan, Korea, Filifina, dan Jepang).
  5. 6,9% warga Pasifik
  6. 1% warga lainnya.

Mengapa terjadi pergeseran demografis yang begitu hebat ?

  1. Karena Selandia baru secara demografis multikultural mendukung pemerintahan Multikulturalisme.

Namun Menurut Menteri Pembangunan Sosial dan Ketenagakerjaan yang mendaulat Menteri Urusan Etnis (Ruth Dyson) : Selandia sudah memiliki UU HAM dan Hubungan ras yang kuat, memiliki kerangka kerja dan setiap orang berhak menikmati kesetaraan perlakuan dan perlindungan hukum dengan tetap menghargai perbedaan (Parlemen Selandia Baru, 7 Agustus 2008).

2. Selandia Baru memiliki komitmen prinsip-prinsip pemerintahan Multikultural.

Sejak tahun 1999 : Pemerintah menetapkan inisiatif multikultural (Pembentukan Portofolio Urusan etnis Departemen Dalam Negeri, Kantor Urusan Etnis, Perayaan Etnis di Parlemen/Pekan Kesadaran Islam, Hubungan antar beragam komunitas sebagai jembatan dari Parlemen (Parlemen Selandia Baru, 7 Agustus 2008).

Pemerintah Selandia Baru menjadi pemerintah multikultural tanpa keresmian.

De Facto dalam Multikulturalisme

Permasalahan yang dihadapi Selandia Baru adalah :

Tidak pernah secara resmi mendukung multikulturalisme sebagai kebijakan atau program”

De Facto dalam multikulturalisme :

Untuk mengakomodasi secara inklusi pada institusional migran dan minoritas”

Menurut Singham (2006), Ratifikasi hak azasi manusia internasional dan legislasi domestik memastikan kesempatan yang sama dan mengurangi kesenjangan. Pembangunan kapasitas dari Kementerian Urusan Pasifik sangat mendukung tingkat individu dan komunitas. Dalam hal ini kemunculan kembali multikulturalisme sebagai narasi nasional yang saling melengkapi.

Jejak peristiwa Multikulturalisme di Selandia Baru, meliputi :

  1. Tahun 2003 : Perspektif Etnis dalam program membantu lembaga pemerintah mengidengifikasi kesenjangan layanan pada masyarakat etnis.
  2. Tahun 2004 : Strategi Penyelesaian diluncurkan dengan tujuan menanggapi kebutuhan pemukiman para migran dan pengungsi.

Adapun visi pemerintah Selandia Baru :

Kemakmuran Selandia Baru didukung oleh masyarakat inklusif dimana integrasi lokal dan nasional dari pendatang didukung oleh respon layanan, lingkungan ramah, dan rasa hormat bersama untuk keragaman (Komisi HAM, 2007)”

Tahun 2001 di Christchurch pembukaan pusat multikultural :

“Te Whare O Nga Whetu”

Namun, ada kekeliruan misi yang berfokus pada kebutuhan lokal dan budaya antara hubungan etnokultural dan masyarakat setempat. Kemudian, ada pembentukan 10 Points New Zealand yang merupakan Program Aksi Keberagaman oleh DPR (2004) untuk perbaikan hubungan ras. 

10 Points New Zealand : 

  1. Mengembangkan jaringan orang dan organisasi untuk memajukan
    hubungan yang harmonis di Selandia Baru yang beragam dan inklusif.
  2. Membuat Situs internet (Informasi tentang komunitas yang beragam di Selandia baru).
  3. Membuat Pusat Studi dan Promosi Keanekaragaman budaya.
  4. Mendorong debat publik (HAM, perbedaan).
  5. Meninjau kurikulum sekolah (Budaya Perbedaan).
  6. Menumbuhkan keragaman di media untuk memastikan keragaman budaya.
  7. Mendukung program penyelesaian imigrasi dan pengungsi.
  8. Merayakan keberagaman melalui seni dan festival.
  9. Menyediakan forum untuk bercerita keragaman budaya.
  10. Mempromosikan dialog pertukaran antar kelompok budaya yang berbeda.

Menurut Departemen Perlindungan sosial, Inisiatif lainnya adalah Proyek Connecting Diverse Communities tahun 2007 Sebagai pendekatan pemerintah menuju inklusivitas keberagaman, promosi kohesi sosial, menghormati budaya perbedaan, dan mempererat hubungan antarbudaya dengan kelompok beragama.

Selandia Baru juga meluncurkan kurikulum pendidikan pada bulan November 2007 dengan prinsip : mengakui prinsip inti yaitu kesetaraan, menghargai keragaman budaya, merangkul inklusivitas tanpa diskriminasi,

Penanganan pemerintah dalam menangani isu-isu yang dihadapi tergantung pada : partisipasi efektif di masyarkat, akses yang adil dan setara untuk layanan sosial, dan informasi untuk masyarakat umum dari manfaat keberagaman, menampung harapan masyarakat (responsif, dan berpeluang baik dalam ekonomi dan sosial).

Selanjutnya, Pada tahun 2001 Selandia Baru membentuk Kantor Urusan Etnis dengan visi :

“Kekuatan dalam keberagaman etnis”

Menurut Pearson (2005), Relevansi multikulturalisme menarik dukungan yang berkembang di Selandia baru (Elit negara, pimpinan minoritas, dan akademisi non Maori). Sedangkan menurut Ip, Pang, dan Eaton (2007) menyebutkan bahwa pendukung multikulturalisme tidak hanya mengkritik komitmen bikultural pemerintah karena gagal memunculkan realitas multikulturalitas di Selandia Baru.

 

Pada kenyataannya Istilah “multikultural” dan “multikulturalisme” mengotori dokumen kebijakan pemerintah secara resmi. Ada hal kontras dan sering disandingkan dengan bikulturalisme yang diartikan sebagai toleransi dan penerimaan perbedaan. Namun, perbedaan dirasakan sebagai penyimpangan mayoritas, norma budaya Anglo Celtic, hal ini disebabkan kurangnya kebijakan formal dan UU pemerintah terkait konsekuensi.

NB : Budaya Anglo Celtic adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara luas berbagai budaya asli Inggris & Irlandia. Istilah ini juga mencakup diaspora yang berlokasi di Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Afrika Selatan.

Menurut Greif (1995), banyak yang tidak setuju dengan pengistimewaan multikulturalisme karena mengkhususkan promosi budaya dengan mengorbankan warisan bikultural Selandia Baru. Kemitraan bikultural dan penandatanganan traktat dengan hak jaminan kolektif maori yang menggantikan hak individu imigran tidak bisa dibatalkan di Aotearoa,Selandia Baru, dengan demikian hak bikultural Maori (penghuni asli) harus didahulukan atas hak multikultural imigran, Jika tidak, akan ada bahaya dari aspirasi para maori dengan migran, minoritas, dan penurunan status maori yang sudah sesuai sebagai : TANGATA WHENUA (Penghuni Asli).

Reduksionisme jika disebarluaskan akan tidak bertanggung jawab, menjajah, dan bertentangan dengan Perjanjian Kemitraan (Walker, 2005)”

” Bikulturalisme akan aman karena paradigma berkuasa, Multikulturalisme jika dinegosiasikan statusnya akan sah sebagai alternatif oleh pemerintah (Stuart, 2007)”

 

De Jure dalam Multikulturalisme

Tahun 1970-an, pemukim Anglo dari komunitas imajiner berkomitmen pada bikulturalisme sebagai pemerintahan resmi yang mengakui Maori dan Pakega bagian dari perbedaan namun setara, Hal ini dilalui oleh Selandia Baru yang melewati jalur pemerintahan yang panjang dan rumit.

Bikulturalisme di Selandia Baru memiliki sejarah panjang dalam sejarah : Penandatanganan Perjanjian Waitangi tahun 1840 dengan simbol kekuasaan (mahkota) dan Suku maori dengan simbolis yang fundamental, telihat pada ;

Suku Maori sebagai negara berdaulat atas hak menentukan nasib sendiri yang otonom”

Pemimpin Apirana Ngara mendorong Maori untuk menjadi beradaptasi menjadi bikultural ke pihak Barat dan menyarankan tetap menggunakan bahasa dan budaya mereka dan Erik Schwimmer sarjana dari Kanada menerbitkan buku tentang bikulturalisme di Selandia Baru. Hingga diresmikannya bikulturalisme pada tahun 1975 dan didirikannya Waitangi Tribunal (Komisi Independen penyelidikan keluhan Maori, pelibatan sengketa tanah dan penyitaan).

Bikulturalisme “Tukutuku” adalah untuk Maori. 

Sejauh mana kerangka persaingan multikulturalisme dan bikulturalisme?
Apakah hal ini berguna untuk wacana pemerintahan?

Menurut Stuart (2007), Secara teori, mereka berbeda. Ada Multikulturalisme karena pemerintahan yang umumnya berkaitan dengan penyeimbangan kesatuan dengan perbedaan integrasi migran dan minoritas melalui akonodasi institusional, sehingga logika yang mendasarinya adalah hegemonik (hal ini mendeskripsikan tentang bagaimana mempertahankan status quo), Namun jika idealisme bikulturalisme bersifat transformatif maka ada batasan sentralis dua negara yang berbagi kedaulatan.

Manurut O Sullivan (2006), Pada kenyataannya politik bikulturalisme di Selandia Baru runtuh secara transformasional dilihat dari : Maoritanga (Lunak), Moderat (peningkatan hubungan ras), Inklusif (kemitraan), dan terpisah dari kata setara, dan menentang sistem. Namun, Bikulturalisme saat ini membahas pembagian kekuasaan melalui Model penentuan nasib sendiri (Maori).

Pendirian Te Puni Kokiri sebagai kerangka kebijakan publik yang berfokus pada “positioning” yang lebih baik untuk membangun pemanfaatan sumber daya dan keterampilan kolektif Maori dengan harapan kualitas hidup dalam pembangunan program pertimbangan politik.

Pemerintahan Binasional: Kebenaran untuk Kekuasaan Reformulasi Tata Kelola (Multikulturalisme dalam Binasional) perlu Kesepakatan antara Maori dan Pendatang. 

Sepertinya itu saja intisari dalam keberagaman dan Idealisme yang tersebar di Selandia Baru dan ini perlu pembahasan mendalam dari berbagai pihak, tidak hanya sektor kebudayaan tapi menyangkut kemanusiaan dan keberlanjutan keakraban bernegara.

 

Tasikmalaya, November 2021

  • Repa Kustipia yang sedang belajar Antropologi.
Posted in Uncategorized | Comments Off on #2 Esainya Augie Fleras

#1 Gastronomi

Pokoknya gurih 🙂

Posted in Antropologi Dasar | Comments Off on #1 Gastronomi