ANTROPOLOGI PATAH HATI

LUKA – LUKA EKOLOGIS

oleh : Repa Kustipia

“jalan terjal menikmati antropologi”

Outline :

  • Ceramah Ibu Untuk Sarjana Gizi yang Nyasar ke Antropologi.
  • Warisan Terkhir dan Problematikanya.
  • Eksploitasi Ekosistem untuk Adaptasi Kebutuhan Hidup Selama Pandemi.
  • Renungan Ekologis Pragmatis.
  • Kritik Untuk Perilaku Para Penghuni Planet Bumi.
  • Pembuktian Matrealistis Materi Antropologi untuk Ibu.
  • Pesan Bapak
  • Carpe Diem !

Dokumentasi :

Keterangan foto tidak tersedia.

Keterangan foto tidak tersedia.

Keterangan foto tidak tersedia.Keterangan foto tidak tersedia.

Keterangan foto tidak tersedia.

Keterangan foto tidak tersedia.

Keterangan foto tidak tersedia.

Keterangan foto tidak tersedia.

Keterangan foto tidak tersedia.

Keterangan foto tidak tersedia.

Keterangan foto tidak tersedia.

 

Keterangan foto tidak tersedia.

Ceramah Ibu Untuk Sarjana Gizi yang Nyasar ke Antropologi

“Ibu ga pernah setuju dengan pilihan kamu ke sosial humaniora, lebih baik jadi tenaga kesehatan, kamu akan pakai seragam walaupun honorer, tapi kamu diakui sama warga desa dan kalau ada yang nanya, jawabannya ya ahli gizi”

“Tapi permasalahan gizi menyangkut permasalahan kemanusiaan dan kekuataan kekuasaan, banyak proyek-proyek gizi dan kesehatan yang mangkrak dan ga tepat sasaran, bu.

Dari forum lokal sampai global ada kekuatan politik, antropologi gizi dan pangan itu adalah bagian mata kuliah di jurusan gizi, bu. 

Dan itu mata kuliah yang bisa menguak kebenaran dari para informan bahwa ada program daerah yang ga transparan, coba! ibu sendiri ga pernah pakai garam beryodium yang disarankan sarjana gizi, lebih memilih garam curah yang entah beryodium atau tidak dan ibu juga selalu mengabaikan jumlah takaran : gula, garam, dan lemak pada praktik konsumsi yang ibu lakukan, padahal ibu punya diabetes turun-temurun”. Izin menjelaskan ya bu : 

Pertama, pilihan antropologi itu bukan semata-mata ingin menentang, tapi ingin mendalami ilmunya.

Ibu jangan dulu mengaitkan pada marxisme yang dibilang ajengan masjid sebelah rumah dulu dong, itu ajengan juga belum pernah baca Das Capital makanya cuma menyimpulkan praduga saja, mana dibilang sesat, kembali ke antropologi bu yang selalu ibu permasalahkan, padahal ga pake uang ibu sama sekali, tapi ibu tetap sentimen-tempramen kalau anaknya mempelajari ini, ini ga bikin tenang. 

Kedua, semenjak sekolah di jenjang tinggi dan mendalami ilmu gizi, itu masalah gizi selalu bertambah dimulai dari rendahnya status gizi masyarakat : kurang gizi, anemia, kurang yodium, kurang Vitamin A, ditambah sekarang sanitasi pangan dan keamanan pangan bermasalah, lebih kesini ibu lihat kan banyak permasalahan di bidang agama juga yang menyangkut makanan, kabar terbaru kehalalan makanan.

Ini mengganggu kualitas sumber daya manusia bu, termasuk saya didalamnya, coba kalau program pengentasan anemia gizi besi tidak sampai ke saya dalam bentuk intervensi, ya saya jadi kena dampak anemia itu dan konsentrasi akan turun dan mengganggu kinerja individu, ini skalanya besar bu, Nasional.

Apa saya akan manggut-manggut aja gitu kalau tetap di ranah gizi ? Memang belum jadi orang besar, tapi saya punya ruang berdiskusi dengan teman-teman sosial humaniora. 

Ketiga, ibu masih mau denger ga ? Saya lanjutkan ya bu. Mutu kesehatan dan pendidikan masyarakat.

Disitu ada Human Development Index Report bu untuk menilai kemajuan pembangunan Sumber Daya Manusia termasuk saya bu sebagai masyarakat dalam konteks individu.

Saya harus punya pendidikan yang terus bertahap bu, kalau bisa sampai jenjang S3 dan kalau banyak rezekinya berkali-kali ngambil beberapa konsentrasi. Tapi saya ga kaya Om Ishaq yang S2 berkali-kali pake duit DPRD ya bu, eh keceplosan.

Lanjut ya bu, pendidikan tinggi menunjang pengetahuan masyarakat, semakin berpendidikan semakin terinformasi dan teredukasi bu, derajat kesehatan pun ga akan turun bu.

Gaji juga naik Insya Allah kalau ilmunya terus berkembang mah. Tingali we engke lamun lulus di antropologi, ini cuma soal waktu. Da ga minta duit ibu ya bu, ini mah murni dari rembugan wirausaha sosial, da ibu ini teh bikin pusing ih. Harus dido’ain atuh, bukan ditentang. 

Ya, dido’ain jadi ahli gizi sing bener, eh membelot ka dinya sosial humaniora, sakalian we asup ilmu politik meh ngahiji jeung nu teu pararuguh, modal ngomong we ngomong, maju ka senayan maju ka senayan kitu tuh jiga warga desa ieu nu nyieun spanduk, nu harayang jadi caleg bari mere sembako jeung kaos geuning mun subuh memeh dicaroblos. 

Kamu dan teman-teman yang memilih antropologi lintas bidang tetap saja mengolah kebun dan terus mempertahankan lahan dan isinya, kebun yang lain sudah dijual untuk proyek perumahan, tinggal kebun kita dan kebun mitra wirausahamu yang masih utuh karena menunggu proses perawatan beberapa komoditas yang rusak. Itu sangat lama untuk menghasilkan. 

Coba lihat kebun tetangga yang sudah digunduli dan mendapatkan hasilnya, mereka bisa membeli sesuatu tanpa harus mengolah kebun lagi, bahkan kamu membiayai semuanya masih bergantung pada kebun dan kebun mitra untuk berbagai peralatan yang digunakan, dan karyawan harian kebun mitra, kamu yang membiayai pelatihannya, kamu kan bukan milyader yang punya uang banyak dan siap akan risikonya. 

Pemilik kebun mitra sudah tiada dan sekarang hanya ada hak waris dan kebunmu hanya bersisa 2 hektare itupun kalau hak waris jatuh ke kamu lewat bapakmu, karena kebunmu hanya 1,5 hektare yang kamu beli dari menjual kendaraan, kebunmu itu yang isinya ga jelas, pohon mahoni yang masih muda, komoditas pangan pun tidak sampai 100 kg ketika panen, dan kamu hanya bermain-main dalam percobaan atas nama inovasi dengan warga desa. 

Ini kehidupan nyata bukan coba-coba, hitung kerugian yang sudah kamu keluarkan. Ditambah alasan antropologis yang ga pernah logis di telinga ibu, kuasalah, negosiasilah, bencana ekologislah. 

Teman-teman seusiamu sudah punya banyak memiliki properti kepemilikan, mereka pakai mobil, tinggal di perumahan, sudah berumah tangga. Kamu ?

Bersepeda dan mengurusi kebun, kantornya shelter eta mah saung bambu lain gedung anu jiga di Jakarta geuning anak muda mun ka kantor teh meuni klimis hereupna teh starbuck ngaropi, maneh mah ngopi teh dina hawu di kebon geus we ga ada estetika digawe teh, 

Kadang bikin post-post pake tenda buat camping pertemanan pun bukan sama orang penting di daerah ini, tapi kenalan kamu isinya warga desa yang ga bersekolah ga berpendidikan, malah bikin repot kamu jadinya kamu ngajarin sukarela, hari ini itu uang yang bisa berbicara bukannya hal-hal sukarelawan.

Apa bedanya kamu sama tukang kebun lain. Itu kamu mikir kesitu ga sih ? Mendekati usia 30 tahun belum jelas afilasi kerjanya, setidaknya afiliasinya itu dikenal gitu sama warga desa. 

“Ibu ga perlu khawatir tentang afiliasi, dan angger we pajak/kikitir sagalarupa mah dilunasan. Kebun ini rusak karena terlalu banyak dieksploitasi berlebihan, bu.

Ditebang seenaknya tanpa menunggu fase yang pas, bahkan pupuk untuk mengkarbit komoditas itu adalah hal yang memaksa pertumbuhan.

Tapi baiklah uang hasil kebun sudah lebih dari cukup mengantarkan menjadi antropolog kalau lulus walaupun berhutang budi pada ekosistem kebun dan hutan ini. 

Dan dipastikan ibu bakalan kagum, kalau antropologi itu adalah pembuka jalan panjang menuju sistem yang berkeadilan dan berkelanjutan karena antropolog itu kritis bu pada apa yang terjadi saat ini.

Ibu sendiri yang ngasih tau kalau Pak Koentjaraningrat itu bapak antropologi yang mengagumkan karena peduli pada sosial dan budaya karena ibu kelas Sosial dulunya sebelum pindah ke sekolah kejuruan biar gampang kerja dan jadi pekerja yang ngurus taspen ge meni bikin pusing dan lalila. Fotocopy sagalarupa tapi berlindung dina nama electronic blablabla. 

Ya, ibu jangan lihat teman-temankulah, mereka itu kan ga bilang ke ibu kalau pakai mobil punya rumah itu belum lunas, lagian ini zaman modern bu, transportasi publik sudah banyak, tinggal pesan dan bayar sesuai tujuan. Itu juga mengurangi kemacetan bu. 

Saya itu cuma bisa menekan ego dengan menukar kendaraan bekas karena asap knalpot udah ga jernih udah mulek dan disitu saya merasakan ini saya membuang jejak karbon dari kendaraan, saya memilih membeli kebun dan menanaminya bu, keuntungannya untuk membayar magister antropologi kelak dan kalau cukup mau sekalian lanjut doktoral we sambil nyebor kebon ya ga bu ? dan untuk usaha lain yang ibu lihat sendiri kan sekarang udah sampai mana ? Atuh namanya juga komoditas mereka punya fase bertumbuh dan panen. Tinggal sabar bu. 

Dengan adanya kebun, warga sekitar jadi gampang kalau beli buah-buahan dengan harga murah. Dan mereka punya antusias bu pengen berinovasi mengolah produk kebun biar awet dan bisa disimpan. 

Tinggal banyak pelatihan, kan kalau cuma sama saya tenaganya ga cukup bu, makanya harus banyak kolaborator dan itu saya harus bolak-balik ke kota untuk menjemput mereka, setidaknya mereka mau menjadi mitra kolaborasi dengan bagi hasil yang ibu tau sendiri kalau saya banyak kegiatan daringnya. Walaupun suka diketawain kalau mengunjungi mereka cuma pake sepeda. 

Masalah rumah tangga, ga nikah wae mah kan lamaran ga pernah berhasil karena calon besan ibu teh ga mau menerima fakta kalau anak ibu ya memang menghabiskan waktunya di kebun dan sesekali dianggap gila.

Karena kan terhubung internet lagi zoom sama video conference menjelaskan beberapa slide di depan laptop dan ponsel itu kan lagi speed networking, kadang jadi speaker, kadang ngajar di college.

Tapi memang kalau sama orang kampung lagi walaupun anak pejabat daerah, ga cerdas mah ga cerdas we atuh, hoream kalau laki-laki ngan modal make mobil anu kolotna kitu mah buat apalah ari pas jalan ke kota ga ada bensinan, mending urang kana sapeda sakalina jajan dibayar lunas dan ga kesulitan. Jeung daripada mayar bensin batur mending meuli pakan manuk puguh-puguh eta mah maraban. 

Allah udah memperlihatkan itu teh orang manja bu, jeung ibu meni jiga kolot baheula pisan menjodohkan spontan kitu. Da ga suka ih, Ini kan era gig economy ibu. Pekerjaan bisa dikerjain dari rumah dan penghasilan bisa di transfer ke Paypal.

Ibu mah cuma taunya e-wallet produk perbankan aja kan sama saldo ojek online. Coba bu, berdaya dari desa, dari kampung ini bu, kita bisa pake teknologi tepat guna. 

Da atuh kerja dikota juga kan dulu kepotong sama biaya : kost, makan, transport, kebutuhan, biaya hal-hal kekinian yang itu teh menguras isi kas pekerja pemula ibu.

Sok lihat ku ibu, aya teu anu berpikir anak muda punya tanah terus mengolah tanahnya ? terus bebelokan ? terus kahujanan ? terus nginep di kebon bisi aya nanaon ? teu gengsi diajar ka patani, teu era latihan macul, ngored, nandur, ngahuma, naek tangkal kalapa teu make tali pelindung, eta teh skill lokal ibu namina.

Jeung da atuh sesuai lokasina bu. Kebon salak pan eta dihandap kudu cerdas kumaha carana sangkan teu kacugak, aya trikna eta teh ibu. Matakna ibu lamun ka kebon teh nyuksruk ka handap, lain selfie wae. 

“Iya itu teh anak pejabat daerah, kamu kan bisa meureun membanggakan diri kalau jadi sama dia, kamana-mana make mobil, dianteur, nanti kamu dikasih tuh, ieu mah pas didatangan ku calon besan, kamu kalah mamawa pacul, datang make sapeda, make kameja anu aya geutah nangka, gusti !!!! bari mamawa hayam jeung lauk, eta geus we ngerakeuna , itu teh bentuk penolakan kamu maksudnya ? 

Kamu itu banyak alasan, banyak kemauan, tapi suka menjatuhkan diri sendiri bahkan suka mempermalukan keluarga kalau lagi ngobrol, bahas indexlah, bahas report lah , ya mereka ngetawain yang ada, asa halusinasi dan apa coba kata ibu-ibu komplek ? 

Anak ibu itu cuma ngomong doang bisanya, mengkritisi dinas ketahanan pangan, nanaonan keur pandemi kieu ? mana nagih operasi pasar murah ai kamu teh kumaha sih ? ngerakeun eta kampanye kitu, parpol lain, tapi ngajakan mahasiswa pertanian protes kitu, untungna teu diperkarakeun. UU ITE pan, kumaha mun aya nanaon. Was-was ibu mah bisi kumaha onam. 

Lupakan isi-isi bacaan jadul koleksi ibu, udah lama itu mah jeung mamawa pak Koentjaraningrat jeung Selo Sumarjan, teu sopan pisan maca buku-buku ibu eta teh udah dikardusan buat dikasihin ke loak sama lomari butut eh kalah dipoe diasupkeun deui kana rak buku eta buku-bukuna. 

Kieunya, semua orang di desa ini sudah berpikiran maju dan sudah bosan dengan kehidupan bertani, ini lagi riset-riset kamu tidak pernah menjadi hal membanggakan, hanya sekedar presentasi, nyari dana, naon kamu teh bilangna seed funding ? 

Bahkan tidak menghasilkan dengan nominal yang mengagumkan, coba kebun itu dijual saja pada proyek pembangunan perumahan mumpung pemborongnya teh lagi ada di kantor cabang, walaupun uangnya dicicil 24x dalam kurun waktu 2 tahun.

Setidaknya menghasilkan uang dan silakan kamu nikmati uangnya dengan kebun mitra dan kamu bisa berpindah ke perkotaan, tanpa harus berinteraksi dan mengurusi kebun, siapa yang masih tertarik bekerja di bidang pertanian dan perkebunan seusiamu gini ? batur mah geus hayang maju ka karota, gawean ge ngota. Naha ai maneh kalah jiga jelema anu ketinggalan zaman geuning. 

Semuanya beralih pekerjaan ke perkotaan, temanmu ada yang menjual kebun dan isinya dan berprofesi sebagai taksi online dan pendapatannya lumayan.

Gadis-gadis seusiamu sudah berumah tangga dan bekerja di pabrik, jualan online, temanmu semasa berkuliah sudah menjadi ASN, Dosen honor,  pekerja PTT di berbagai instansi, dan kamu hanya mengurusi kebun dan bilang sabar bu, sabar bu, lagi diusahain bikin lembaga riset antropologi pangan, ditambah kamu mempelajari antropologi aliran marxisme naon eta teh ? 

Kata ajengan juga sesat !  itu dari mana kamu punya akses dengan antropolog ? ga akan bisa dari gizi ke antropologi.

Sudahi saja, itu hanya halusinasi yang akan berkembang, kamu harus sadar kamu itu orang kampung, ga ada mimpi-mimpi selain hidup lebih baik menjadi pekerja disini mah, ga ada antropolog di kampung mah ga ada. Ulah aneh-aneh, moal kaharti didieu mah, tuh al-qur’an diajar mah meh bisa ngajar di pesantren di lebak. 

“Ya atuh lamun cinta mah kan kudu narimakeun sagalana, termasuk kaayan urang keur mawa hayam jeung kondisina kan balik ti kebon, hujan nya kotor. Uyuhan eta ge garing di jalan.  

Iyalah itu teh sedikit self movement, mun ceuk bukuna James Scott mah Senjatanya orang-orang kalah, tah eta tampil kampung dihareupeun calon besan ibu eta teh bentuk protes ti budakna, yen budakna ga mau. Da atuh ibu nanti juga nemu yang sepemikiran, jadi kalem aja. Ulah hariwang. 

Balik deui ka kebon, da teu rame ngabahas percintaan wae mah, moal rengse. Keun we eta mah, dan urang mah ga kesepian, justru energi teh lagi bagus-bagusnya sagala dicobaan kumaha carana ngolah kebon ieu sangkan untung tapi teu ngaruksak kitu bu. 

Kebun ini masa depan kehidupan disini bu, hanya tinggal 10 orang pemilik kebun yang letaknya mengelilingi sungai Citanduy. 

Dan jika dijual semua, maka penggundulan hutan dan pembabadan hutan dan kebun ini akan menghasilkan dampak bencana ekologis bu, dimana letak kebun kita adalah kebun penyangga untuk resapan air Citanduy, eta watesna kebon salak. Sok ku ibu etang sabara puluh hektare mun dihijikeun.

Ibu yakin eta developer perumahan teh paham Analisis Dampak Lingkungan ? Okelah ada AMDAL, tapi ada ga Upaya Pengelolaan Lingkungan ? Lar lur kitu, da yang rugi masyarakat sekitar jeung kebon atuh bu ka sebred, jadi teu produktif ke, keur mah hese ngurusna ayeuna mah geus teu puguh hujan teh iraha stabilitas pertumbuhan salak juga terganggu bu.

Terus Ditanya Sustainability,  Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), jeung Site Plan ge hokcay. Naon eta teh ? Naon eta teh ? Eta developer borongan jeung bodong ibu ga memikirkan dampak ke depannya atas perbuatan hari ini. Ini jebakan bu ! 

Coba lihat kampung tetangga sudah banjir ketika musim hujan, dulunya kebun salak tapi semenjak jadi ruko kelontongan selalu banjir dan airnya menggenang sampai ke jalan raya arah Cimaragas – Bendungan Leuwi Keris, apa ibu mau bertanggung jawab atas bencana ini jika kebun kita hilang dan berdampak merugikan ? 

Hak waris bisa diatur bu, asal ada kesepakatan, itu bisa dinegosiasi, itulah fungsi antropologi bu, ini sedang dipraktikan, bahwa ada kuasa yang berpengaruh disini, fungsi aktor dan pewaris sah, dan anakmu ini masuk pada jajaran ahli waris ini, makanya tunggu dulu bu, izinkan menyelesaikan ini beberapa waktu saja, jangan dijual cepat, jangan terima DP dan cicilan ga jelas, bu. 

Sok ibu pengen beli apa gitu ? Da ibu ge teu jelas uangnya buat apa kalau ada ngajeblag ge. Da pengetahuan pengelolaan finansial dari aset itu harus bertambah atuh bu. Ga cuma nerima tunai terus disimpen, itu ga akan profit bu. Harus ada exposure dan perhitungan jelas tentang Roi of Investment kedepannya. 

Saha Jmes scott teh ? da sok ngajelaskeun anu urang teu nyaho. Semenjak kamu jadi aktivis perkebunan, pertanian, lingkungan yang gajinya dan honornya ga jelas sama sekali di lembaga yang ibu ga kenal juga namanya.

 Kamu jadi sakaba-kaba ga kaya dulu, layaknya dulu menjadi ahli gizi, selalu saja kamu yang berkorban atas nama lingkungan hidup, kekayaan biodiversitas, keberagaman, semuanya berproses-berproses.

Tapi dalam 5 tahun kamu hanya bisa menghasilkan 750 juta rupiah dipotong biaya pegawai harian dari keseluruhan kebun yang luas, amat sangat lambat ! Jeung eta duit gagabah kamu mah lain gura-giru meuli imah kalah dikana kebonkeun. Ampun teuing. cukup we kamu mah ku saung-saung kitu jeung camping, sakalina renov imah angker maneh mah. Kacida pisan ieu budak. 

Belum lagi pekerjaanmu yang nimbrung di kebun atas nama gastronomi hanya bisa mendapatkan hibah riset yang ga lebih dari 50 juta per ide yang kamu gagas, dan baru ada 5 ide, hanya terkumpul 250 juta rupiah pendanaan dalam kurun waktu 5 tahun semenjak kamu berhenti jadi ahli gizi, itu pun dipotong segala macam biaya pengembangan, biaya coba-coba, biaya analisis sagala dicobaan. Da moal percayaeun developer ge maneh kana sapeda kieu mah ih, kudu aya sihungan. 

Menurut ibu, jual saja kebun pribadi dan kebun mitra kemudian bagi hasil dan pembagian hak waris, dan kamu tidak usah bersusah payah menanami, mengontrol, dan mengurusi kebun yang sudah tidak produktif ini dan tidak menghasilkan. 

Bahkan amat lambat keuntungannya dari komoditas yang ditanam, kembali saja jadi pekerja yang digaji negara atau instansi swasta yang jelas peraturannya bahkan punya kesempatan pensiun, berhenti berimajinasi, udah ga mungkin lagi. 

Karir kamu mandet disitu-situ aja, ga ada yang bisa dibanggakan kalau hanya diam terus dikebun, da laki-laki ayeuna mah ga mau atuh gitu teh, maunya sama yang dandan rapi, geulis kitu, lain bebelokan kieu, ampun ieu mah ti isuk jeput nepi poek kakara balik ka imah ti kebon, astagfirulloh jiga saha atuh kamu teh ? 

“Jiga ibu, Tuh nya ibu mah, udah pake smart phone ge acan smart wae, eta teh antropolog jeung politikus nu ngajelaskeun masyarakat agraris, pan urang bu. Buku ieu ge pernah direkomendasikeun ku antropolog bu basa diajar Kebudayaan dan Kebijakan. Sihung sihung da lain bawang atuh bu. 

Ibu mah bacaanna teh hayoh we ngagugulung filsafat, bari jeung jauh teuing bahasana ge : Edmund Husserl, Jean-Paul Sartre, Betrand Russell, Carl Gustav Hempel, Wesley Salmon. 

Atuh sakalian we kagok bu eta mah ngabahas Filsafat masa kini dan filsafat pengetahuan, filsafat manusia deukeut jeung antropologi sakalian ngabahas dualisme Plato, Aristoteles, Descartes, Thomas Aquinas, Hegel, Karl Max , Cassirer, Hans Jonas, Saha deui nya euy, duh poho.  

Kagok edan bu Sakalian we bari ngabudah : Teori Hukum Kodrat meh ibu teh teu ngatur-ngatur wae da atuh jadi terdistraksi bu rek mempelajarina ge lamun teu diridhoan mah. 

Hukum kodrat, teorina ibu bisa tah maca deui meureun : Stoisisme, Positivisme. Atuh bisi ibu teh mandeg teruskeun wae kana Hak Azasi Manusia ceuk filsafat kumaha ? Termasuk pilihan budak ibu milih antropologi teh hakna bu ngarasakeun kenikmatan neangan elmu. 

 Jadi inget sejarahna Inggris eta baheula ngalaman The Bill of Rights lamun Prancis mah aya Revolusi Prancis geuningan bu anu organisatorna teh Marquis de la Fayette da prancis boga golongan status jelema geuningannya : kaum borjuis, kaum klerus, jeung kaum ningrat.

Tuh di Antropologi ge eta teh Clifford Geertz anu nulis The Religion of Java eta ngabagi golongan jelema, ibu ge apal kan bukuna ? Tah urang teh pernah ngerjakeun tugas eta ibu ih, resep pisan ngerjakeunana. Da puguh mah geus pernah maca, jadi babari. Duh euy jadi hayang maca Mojokuto mun keur ngabahas dinamika sosial teh euy. Tah eta bu. Da atuh boga karesep masing-masing. 

Ini kenapa antropolog pangan perlu hadir bu di wilayah ini, Tasikmalaya yang sedang bertransformasi, Matakna lembaga urang dipindahkeun ti Jakarta ka Tasikmalaya teh eta bu, aya konflik tanah anu nyangkut kahareupna. 

Setelah banyak kemelut di kebun ini bu, selain mengkaji beberapa permasalahan, mengkritisi arogansi dari orang-orang yang tidak mau bersusah payah, maunya hasil instan saja.

Lokasi ini terdiri dari :  perkebunan, hutan, sawah, dan masih banyak masyarakat lokalnya yang bergantung pada kebun ini bu untuk menyambung hidup, dan dengan keberadaan mereka proses tumbuh kembang komoditas terjaga.

Tingali ibu pakis nu dihandap salubur, da dirawat, diatur, diberesan ku warga anu barutuh. Teu dibeakkeun. Eta teh ngabantuan jaradi deui. Keur mah liar pan eta pakis teh. Geus ditumis mah ngeunah, ayeuna ibu lamun ka Pangandaran, makan seafood ibu beli tumis pakis sabaraha ? 30 rebu kan ? di kebon mah gratis, asal daek nyokotna. 

Memang masyarakat desa di sekitar kebun hanya bisa melakukan apa yang mereka bisa secara turun-temurun bu, kalau kebun ini dijual untuk dijadikan perumahan, maka ibu sudah merusak lingkungan berlapis-lapis bu dan mematikan beberapa warga yang ketergantungan dengan sumber daya alam di sekitar hutan ini bu, emang ibu mau jadi saksi kalau kerusakan lingkungan ini berdampak cepat ? Paling ge ibu mah bilang : “Takdirna we, Qadarullah kudu kitu” eta mah jawaban pasrah ngarana. 

Mereka itu peternak yang merumput di kebun ini, pencari jamur hutan untuk dibuat pais supa lember dan dijual di warung nasi desa, para pengambil iwung untuk kebutuhan hajatan warga dan syukuran dan bekal makan petani ke sawah. 

Petani salak yang hanya bisa mengambil salak dan mengurusi salak semasa hidupnya, dan peramu obat-obat tradisional masih tergantung hutan dan kebun disekitar ini bu, nyari :

  • sambiloto,
  • alang-alang,
  • bangle,
  • bidara upas,
  • binahong,
  • cakar ayam,
  • cincau,
  • ciplukan,
  • cocor bebek,
  • daun dadap serep,
  • daun sendok,
  • eceng gondok,
  • gambas,
  • jarak tintir,
  • kecubung,
  • kelor,
  • kemuning,
  • kenikir,
  • ki tolod,
  • krokot hejo,
  • lada,
  • lagetan,
  • lempuyang,
  • lengkuas,
  • mengkudu,
  • nanas merah,
  • pecut kuda,
  • putri malu,
  • pegagan,
  • salak,
  • salam,
  • sereh wangi,
  • sereh hejo,
  • soka,
  • tapak dara,
  • temu hideung,
  • temulawak, jeung eta naon atu sok digerus teh orok-orok hitam tea pan eta teh aya di kebon jeung manfaat, ngabantuan panyakit warga, jeung urang ge sok mawa pan, angger we ibu mah beli lagi bumbu bubuk kemasan da praktis ceunah. 

 Kalau mereka dipaksa berhenti pasti akan banyak protes dan nasib kebun ini akan banyak problema, asa dosa bu mun kudu kieu teh, nyeri hate da bu pasti engkena teh, butut we silaturahim teh. 

“Ulah sok maca buku-buku ibu da atuh jauh teuing gizi ka filsafat mah, jeung da eta mah beheula diajar filsafat soteh da incu wadana mah loba buku-buku nu kitu, ibu teh dibere ku nini mami baheula, nya daripada ulin ibu resepna maca sabisa ibu. Nya da jiga maneh nurun bedegongna ti urang teh, tapi ibu mah nurut mun ceuk kolot ulah asup filsafat, nya teu asup. 

Ayeuna kamu ceuk ibu naon ? Jadi Antropolog teh bakal nganyerikeun engkena. Komo kamu jadi teu diwaro di gizi mah,da aneh sorangan, loba teuing mengkritisi. Emang ibu teu nyeri hate budak ibu dikitukeun ? Dianggap teu waras ? 

 Jeung eta sok disambung-sambungkeun kanu antropologi sagala da teu nyambung ah, mancing wae hayang ibu nyarita. 

Kieunya, Revolusi Prancis mah gerakan dunia puncakna teh pas tahun 1948 di Paris, jeung ngarana ge da The Universal Declaration of Human Rights atuh, jeung nu dibahasna ge : politik jeung moral, eta teh tina euforia meunangna sekutu pas World War II. Aya nu kurang kamu ngabahas revolusi prancis ! 

Sok baca deui Nazizme Jerman jeung Fasisme Jepang. Eta aya kaitanna. Kakara bahas hukum kodrat make teori. Jeung mun rek dibahas tina antropologi, kamu teh kudu loba riset data sejarah atuh, mun ngabahas HAM. Kurang jero ngulikna, antropolog mah hiji jero

Aya konferensi Wina matakna ayeuna pan aya UN Commissioner for Human Rights, kamu geuning sok nembongkeun stiker relawan baheula keur pengungsi mun ayeuna mah kan trending twitter #saverefugee. Baheula eta komisionerna Mary Robinson mantan presiden Irlandia, ahli hukum eta. Alus pembela HAM, presiden awewe tah. Ibu resep macaan nu kitu baheula mah. 

Terus maneh rek nuluykeun antropologi kamana ? Da kudu kuliah deui, engke teh dikekesek di antropologi da bahasan maneh teh gizi, pangan, dahareun jeung kebon. 

Beda deui ke teh. Emang sanggup ? Budak ibu dipoyokan deui engke. Ceuk Antropologi teh, paradigma teh teu nyambung. Rek kumaha ? Cik atuh hirup teh sing santai sing damai. Ieu mah melawan arus wae da. Mun gizi geus we gizi. 

Geus ulah ngabahas filsafat, lieur. Moal kataekan kudu sakola jeung ngahiji jeung filsuf. Sarua atuh jadi filsuf ge euweuh duitan pan anggapana teh kitu baheula. Moal payu di kampung mah menelisik kanu euweuh duitan mah, da moal aya nu ngagaji pemikir. Sing beunta ! 

Balik deui ka kebon nu realistis, Dijual tahun ini masih pada kisaran 2,8 Milyar kamu tidak ingin uang sebanyak itu ?

2,8 Milyar ini akan dibagi menjadi hak waris, Developer perumahan menawar keseluruhan itu 2.7 Milyar, kamu harus punya lebih kalau mau turut andil, ga punya kan duit sebanyak itu ?

Ayeuna kas kamu karek 1 Milyar tina sagala rupa mun diduitkeun kan ? . Okelah ti hak waris katutup 1,5 Milyar. Sok sesana bisa teu 300 juta rupiah kaburu aya dalam waktu dekat ? 

Teu leneng neangana ? jabaning kamu mah embung nginjem teh, hayang menjauhi riba we gawe teh. Sok teangan mun rek tereh beres mah ! 

“Geuslah eleh ari ngabahas filsafat mah euy ampun, Atuh sakali-kali ibu teh terangkeun bejaan ka budak ibu tentang : Kuasa yang harus dipisahkan versi Montesquieu ! Ibu kan boga bukuna L’esprit des lois, puguh kan hese macana bu ? da ibu teu belajar bahasana, tah eta teh urang macana make aplikasi terjemahan da hese.

Matakna bu ilmu itu teh ga terbatas. Yang membatasi ilmu itu diri ini bu. Asa kurung batok kitu, atuh ceuk biyung sepuh ge kudu bodo alewoh lain bodo katotoloyoh. Tapi buku eta teh ngabahas hukum kongkret kan bu ? cocok yeuh jeung permasalahan ayeuna. 

Tunda dulu bu, proyek riset bisa kok sampai segitu, tapi memang perlu waktu, tempat kerja sim kuring teh kapanan sedang berusaha tidak berhutang jika memang ingin untuk hak waris kebun mitra karena pemiliknya  sudah tiada dan itu adalah biyung sepuh. 

Ceuk biyung sepuh ge teu kudu rusuh, kebon teh keur paulinan barudak, keur tempat merenung akan kekuasaan Gusti Allah, tah eta ibu lamun biyung sepuh nyarios diregepkeun. 

Jeung biyung sepuh ge teu masalah mun incuna mawa antropologi bahkan ceuk biyung sepuh ge bae diajar antropologi faham-faham sejenna, asal tong poho ngaderes, nya ngaji tea. Puguh ge, Asa bijaksana keneh biyung sepuh da tibatan ibu, cacakan biyung sepuh teu kuliah ngan nepi SGB samemeh nuluykeun ka Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). 

“Da sok kokorotak ai keur beberes teh, hukum kongkret mah deukeutna jeung sosiologi lain antropologi, Ngabahas sistem politik, mun hayang nyaho mah nyaritakeun pemerintahan : Republik, Monarki, jeung Despotisme. 

Tau kan despotisme ? Awas mun teu nyaho ! Geus pernah ku ibu diobrolkeun basa dahar kupat tahu mangunreja ! Malaweung berarti maneh teu ngaregepkeun naon nu ku ibu obrolkeun. Sok malawidang da ai kolot keur ngomong teh. 

Kela, naha make tunda dulu ? Proyek seed fundingmu kata bendahara baru sampai 850juta rupiah itupun kamu potong 100 juta untuk sekolah antropologi jeung teuing dimana deui sakolana ge can jelas kamu jeung babaturan kamu bebeja ka ibu.

Magister emang mahi 100 juta ? Di Indonesia eta teh ? Awas mun rek indit ka Eropa, ka Leiden mamawa duit saeutik kitu, moal mahi. Ulah maksakeun omat. Jadi gembel engke kalah buburuh, lain kuliah.

Di Indonesia ? Kampus di Indonesia ? Nu mana ? ke teh maneh dikekeak geus puguh, cik saha guru besar nu nyahoeun kana kegiatan maneh ? paling ge dianggap kegiatan kampus biasa. Geus lah sok teangan we duit keur nutupna meh rengse. 

 Mau jadi apa kamu dengan meneruskan antropologi ? 100 juta bisa dipakai hal lain, kamu kenapa ga pake beasiswa kaya anaknya Pak Eman ?

Kamu bodoh atau bagaimana sampai tidak dapat begitu ? da perasaan beasiswa teh loba, naha ai kamu sok mayar make duit sendiri wae ?

Geus katebak ku ibu, maneh teu pernah bisa deukeut jeung orang penting di kampus ! Liar wae tuda ieu budak teh.

Ulah idealis teuing atuh cik, surat rekomendasi ge maneh mah ti babaturan maneh. Batur mah gaya ti Profesor, ti dosena.

Da maneh mah kitu teu dikenal. Kuliah teh geus we kuliah teu jiga budakna pak Eman. Budakna pak Eman mah jadi kepercayaan dosen di kampusna ge, maneh ? dicarekan deui ku dosen teh dicarekan deui.

Geus montong kuliah. Sakali-kali mah ukur atuh IQ maneh bisi teu mampu kanyataana. Apalagi ini sosial humaniora, da kudu S1 na ge antropologi hayang S2 Antropologi mah. Ke maneh beda sorangan, ngulang, nilaina barutut.

Ah geus we, Repa maneh mah sok ngaco !  Sarua babaturan maneh gawe ge, ngomongna teh jiga maneh di desa ngabahasna kecerdasan buatan, algoritma, da teu kaharti ! 

“Apal, politik absolut kan ceuk ibu, penguasana hiji tapi memerintah/berkuasa sakahayang manehna sorangan.Jiga ibu di rumah kitu. Beasiswa itu untuk yang tidak mampu dan beneran brilian bu, ibu sendiri bilang kalau mampu pakai uang sendiri mengapa tidak mencobanya.

Tah tempat gawe boga profit sakitu jeung berani mencairkan itu, da babaturan urang mah solid bu, ceuk urang teh adakan dana untuk upgrade potensi dan sumber daya manusia. 

Urang cobaan nyakolakeun nepi tingkat strata 2, dimimitian ku urang bu. Geus plus plos. Saking naon bu ? Saking teu dihargaan ku kampus di Tasikmalaya mun rek jadi pembicara di kampus kudu magister jeung doktoral.Jadi urang teh sumanget bu semakin tinggi pendidikan, kesempatan makin banyak. Tah jiga ibu kumaha karaosna mun pendidikan tidak bisa dinikmati ? 

Urang mah atoh bisa mayar kuliah tina kas sorangan teh. Asa puas we teu jadi pengemis dana pendidikan bari jeung ngaku teu mampu tapi ka kampus make honda jazz. Nu kitu nyah nu disebut miskin teh bu ? eh naha jadi ngomongkeun budakna pak eman, ibu sih hayoh wae membanggakan anaknya pak Eman.

Heueuhlah budakna pak Eman kebanggaan ibu. Sakali-kali taros ku ibu, basa keur SD eta kertas toronan diselapkeun dina wadah patlot nya meh meunang peunteun 90 ? bejakeun ceuk urang babaturan sabangkuna. 

Hayoh we nanya teh mau jadi apa ibu mah. Ya mau jadi antropolog bu, Ke teh lamun udah lulus, daftar keanggotaan asosiasi antropologi indonesia , hade pisan.

Sok tingali ibu dina google AAI didirikan tanggal 12 Maret 1983. Tanggal lahir saya bu 12 Maret 1993. Cirining naon bu eta ? kabeneran we nya hahaha, ulang tahunna ke teh bareng jeung urang. Asa bahagia bu. Born to be anthropologist ahahaha alus kan bu ? Ibu ! Anak ibu bakalan jadi Antropolog, kahayang urang 10 tahun yang lalu, sakeudeung deui yeuh. Urang mah geus mineng nulis etnografi. Ibu bisa teu ? 

Tempat kerjaku walaupun kecil menyetujui itu dan membantu sisanya kalau ada kekurangan karik mayar ka kampus, naha ibu jadi riweuh ih. 

Dan kami sedang mencoba mengembangkan lembaga riset independen antropologi pangan dan gizi di kebun ini, tingali atuh ku ibu eta aktana di notaris anu babaturan ibu geuning, jeung mahal deui sugan teh teman ibu teh rek mere diskon pelayanan.

Nanyakeun kumaha mindahkeun SIUP wae mayar gocap ka asistena. Wah euy pemalakan. Jeung nanaon teh aya bayaran per jasana. Nya ngarana ge neangan duit nya bu. 

Memang shelter ini masih kecil bu tapi kan atuh bisa diakses pake website bu ayeuna mah bahkan di Silicon Valley mah geus make virtual office duh euy urang tinggaleun we nu nganggap kantor teh penting, padahal mah kinerja orang-orangnya bu yang lebih penting sama perangkat yang digunakan yang tercanggih, jeung ibu teu kudu riweuh we ayeuna mah, jeung ga usah overthinking. 

Ya, walaupun ibu sering mencela kalau kantornya jelek dan ga terkenal, tapi kami merangkak mandiri bu tanpa dukungan orangtua sama sekali, murni dari menyisihkan sisa-sisa gaji semenjak jadi pekerja yang ibu sukai ahli gizi baheula, dari sini ibu bisa lihat kan sudah sampai mana rekam jejaknya, makanya kebun ini adalah harapan banyak pihak, ibu bisa coba lobby penerima hak waris untuk menunda dulu, memangnya mereka perlu sekali dana bu ? 

Da buat apa atuh uang eta ih matak rieut jangar. Emang keur naon atuh duit teh rek dibeulikeun naon meni rusuh kitu kudu dibagikeun jadi hak waris, cik atuh tunda dulu, da keur aya kegiatan konservasi ku barudak kebon teh, keur dibebenah, keur dibere pupuk karak ge rengse.

Da bu eta teh 2,8 Milyar dibagi 4 nyah ? lah saeutik. Paling ngan 700 jutaan saurangna, Cik ayeuna mah rek didata ku urang bu pewaris mana nu hayangeun rusuh duitna. Nu henteu rek diobrolan sina ngasaan hasil kebon keneh, tidak ada yang berubah ! sama ketika biyung sepuh hidup kitu bagi hasilna. 

“Ibu ga mau tau, kamu sampai tidak ke angka 300 juta rupiah dalam 10 bulan ke depan keur ngajejegkeun ? kalau tidak, pewaris kebun mitra akan mengiyakan developer perumahan dengan harga 2,7 Milyar untuk kebunmu dan kebun mitra.

Pek eta mah hadapi da lamun biyung sepuh geus euweuh mah dibagikeun meh rengse kabeh jeung jelas. Naha ieu pewaris bedegongna naudzubillah. 

Harusnya kamu bekerja pada pekerjaan yang menjamin kehidupanmu, bukannya malah  mengikuti idealisme yang selalu kamu banggakan, antropologi , antropologi, dan antropologi, eta ti mimiti kuliah gizi pipikiran teh hayoh we etnografi, etnologi.

Ai gizina maneh teh ga fokus kitu. Lihat itu rekanmu lulusan antropologi atau sosiologi atau kesos kitunya ibu lupa, dia hanya bisa menjadi wartawan lokal dan kena phk karena pandemi dan bekerja di kebunmu sekarang sebagai asisten kamu ko etah, berarti ga cerah eta masa depan antropologi teh. Jeung kamu deui narima we, kumaha sih hihitungan teh.  

Silakan berkemas saja sampai bisa membuktikan bahwa antropologi itu memang jauh lebih baik dari gizi dan pekerjaan lain, kamu terlalu berhalusinasi da lila-lila teh, lembaga independen teh, kamu saha ? da kudu jelema gede atuh, cik ngaca sakeudeung mah. 

“Ibu lupa kalau dari bahasan antropologi dan gastronomi inilah, rezeki ini mengalir, coba lihat bu sarjana gizi itu bertransformasi bu masuk liputan unesco, ibu ga bangga gitu ?

Ibu bilang dong ke warga yang selalu nyuruh sarjana gizi kerja di puskesmas perbatasan kabupaten, dimulai dari naskah etnografi kampung naga bu, cerita antropologi ini dimulai, merambah ke kebun, membahas gastronomi, dan akhirnya kesempatan tak terduga berdatangan bu.

Bahkan sekarang sudah ikutan berbagai member dialogue di ranah sosial humaniora benua lain jeung urang bahasana ge antropologi bu yeuh dangukeun heula ibu :

  • pendekatan holistik -komparati kebiasaan makan,
  • Perbedaan budaya dan perilaku makan, makanan dan lingkungan 
  • Antropologi Gaya hidup anu make Model perilaku konsumsi pangan bahwa didinya aya struktur rumah tangga nu ngabahas identitas suku, kepercayaan. Pan atuh kedah nganggo elmu antropologi ibu.  

Masa ibu ga bangga sedikitpun dari pencapaian ini ? Da ada bu profesor antropologi itu mengucapkan bangga terhadap pencapaian ini sama antropolog senior memberikan selamat gitu, ai ibu mah henteu kalah bilang lah ngan kitu, ngan kitu teh da diseleksi ibu melalui berbagai proses kurasi, ai ibu. 

Nilai-nilai akademikku juga lumayan ga memalukan cacakan lain ti antropologi urang mah, diajarna ge otodidak macaan e-book dina kindle. Bakat ku hayang bisa diskusi bu jeung antropolog jadi kudu loba maca. 

Mun ibu teu ngaridhoan mah wios we, ieu antropologi tinggal meakeun programna, da moal nanyain ke ibu mata pelajaran antropologi mah ih aya ahlina ibu, geus eta mah geus we bu. tapi kasih kesempatan buat nyobain yang lagi dijalani we heula, keun eta nu 300 juta perak mah urang maksimalkeun tina kebon jeung ieu otak urang sina ngebul ngiluan hackathon, pitching jeung ngaberdayakeun deui warga, atuh taspen ibu satengahna bisa meureun ngabubungah hehe. 

“Ya, Kamu memang kepala batu, ibu sudah ingatkan jika lintas jurusan kamu akan banyak sakit hatinya nanti, mulai dari berbeda pandangan, teman yang tidak sefrekuensi, banyaknya hambatan karena mengejar ketertinggalan, dan belum ada jaminan pekerjaan mendatang kan ? 

Nya sok eta tina taspen satengahna cokot we hijikeun angger kurang keneh, Kamu banyak gagalnya, dan silakan renungkan untuk hal-hal percobaan itu, kamu itu perempuan, pikirkan juga bagaimana kamu berkeluarga, berumah tangga, dan kehidupan nyata, bukan malah mencoba berbagai hal.

Unesco itu hanya liputan biasa dengan hibah tidak terlalu banyak dan ga nutup harga tawaran developer, ibu ge bisa asup kana liputan kitu mah. Lagian warga desa disini tidak tahu apa itu unesco, mereka akan bangga jika kamu jadi pejabat publik, ehhh… kamu mau kemana ? eta mamawa kantong rek ka gunung mana deui wae ? Hujan ! 

“Ke ATM , ngambil gaji hasil nulis riset sosial humaniora tentang eco-feminism yang dipresentasikan di University of Leeds basa eta, keur di kebon ge urang mah menyempatkan diri keur nulis kajian antropologi lingkungan dan feminisme mah da beuki teu jiga ibu mun ka kebon teh lebay, sekalian camping ngejagain kebun udah mumet ditagih kesuksesan utopis sama lansia modern kaya ibu. 

Lagian kebun kan harus diolah agar menghasilkan kata ibu, sembari nulis etnografi buat Kelompok diskusi Agroteknologi ETH Zurich dari yayasan swasta eropa nu pararuguh mere duit, teu jiga ibu nyarekan wae budakna. 

Dan itu kajian antropologi pake pendekatannya ya ibu anu geulis sajagat twitter, ibu ga bakalan ngerti, jadi ibu mendingan masak nasi leumeung aja buat persiapan idul qurban, nasi leumeung kok di kompor gas, di hawu atuh ibu masakna. 

Bahkan ibu udah ga lokal banget sikapnya semenjak ibu punya ponsel pintar dan gabung sama geng rumpi perumahan dan pensiunan yang banyak melakukan feodalisme sama keluarganya sendiri”

Kamu selalu memaksakan kehendak yang terlalu berisiko, apa tadi kamu bilang ? kuliah antropologi ? nilai akademik ?

Si eta mah sok ngaleos-ngaleos bari jeung teu puguh pengumuman teh, keur kuliah deui atawa kumaha hey ! ai ieu kumaha surat kuasa ieu teh ku ibu tanda tangan atawa henteu ? ai budak kalahkah indit. Naon tadi teh jurih jurih, geus gelo eta budak. Repa ! Repa Kustipia ! 

(10 menit kemudian)………………..Naha balik deui ? 

Mawa terpal da camping urang teh di kebon mahoni, mekel korek da loba reungit. 

“Yeuh atuh bawa magicom leutik” 

Ai ibu, listrikna dicolokeun kana irung ? 

Warisan Terakhir dan Problematikannya : 

Banyak sekali yang terjadi di awal tahun 2022 dan saya mencoba merangkum ini, karena apapun yang terjadi sebagai manusia memanglah harus tetap bernafas, untuk menghilangkan sesak dan keruwetan, masalah ini akan dielaborasi tentunya dengan solusi terbatas, sebagai calon antropolog, saya hanya yakin bahwa perlahan masalah akan terurai, namun tidak berhenti mengkaji, itu yang saya lakukan, walaupun hanya bergerak 1 meter, hanya berdiskusi 1 kalimat, bahkan berdiplomasi 1 jam yang penting melakukan sesuatu :

“Tidak boleh menyerah begitu saja pada ancaman, tekanan, sekalipun bermasalah dan kritis, ada metode tambal sulam, jadi hadapi dengan kejernihan pikiran dan tetap tenang agar sesuatu yang solutif mudah diaplikasikan…..”

  1. Pekerjaan Utama, pukulan telak ketika IPK semester 1  tidak mencapai 3,75 (saya baru mengetahui kalau untuk non-antropologi ketika ingin berkecimpung di antropologi haruslah cemerlang, dan di buktikan dari nilai akademik) , karena dibalik IPK-IPK ini ada ancaman serius dari pemutusan hubungan kerja dari lembaga independen yang bergerak di bidang sistem pangan dan perkebunan yang memberikan izin belajar dan mengelola proyek mandiri, pengganti sudah ada dan lebih cemerlang (dia lulusan luar negeri dari SOAS LONDON jurusan ANTROPOLOGI PANGAN, mengapa yang blasteran sering mudah mendapat posisi pekerjaan di Indonesia ini ?). Apa saya ga syok ? Ga lah, saya udah terbiasa dijadikan objek komparatif studi sama lembaga ini, dia akan sangat mudah menggeser posisi saya, jika saya gagal dalam studi ini, dan saya sudah menyiapkan naskah perpisahan jika saya tidak mampu melewati. Saya bertahan dengan tetap mencoba outstanding dalam kiprah pembuatan laporan kerja, berikut juga mengikuti call paper dengan sempoyongan karena tidak ada penulis tandem atau Second Author. Denda pun sudah dibayar lunas dengan tidak menerima gaji 3 bulan, oh mantapnya, untungnya saya masih memiliki sisa-sisa gaji menjadi ahli gizi selama 5 tahun yang lalu dimana bekerja di bidang gizi ini membuat saya tersiksa lahir batin menerima perlakuan ekologi sosialnya yang sangat jenaka dan tidak manusiawi pada waktu itu. Berangkat pagi pulang magrib. Selamat menua di jalan !
  2. Wirausaha Sosial yang terancam berhenti setelah 10 tahun berproses karena pemiliknya meninggal dan jadinya menjadi hak waris kebun mitra yang berpindah dan inilah yang memusingkan segala lini, saya bertahan dengan metode kompetisi dengan memaksimalkan semua kemampuan : analisis, membuat laporan, membuat proposal bisnis, memperbarui pitch deck, hackathon dan dana mitra kolaborasi. Total harga kebun mitra dihargai 2,7 Milyar dan dari uang kas Wirausaha sosial tertutup 1 Milyar, sisanya para hak waris memutuskan meneruskan proyek kolaborasi sebanyak 1,5 Milyar. Sisanya 200-300 juta rupiah harus berlomba dengan penawaran para developer perumahan di wilayah kebun mitra. Saya mencoba berkonsolidasi dan membuat gagasan adopsi aset benih dari kebun mitra dan 225 juta tertutup. Tinggal sisanya adalah 75 juta, Darimana ? Kami memutuskan menebang pohon mahoni yang menua dan melakukan konservasi darurat dengan penanaman benih durian yang disuplai dari kolaborator baru dan semuanya kami lakukan tidak lebih dari 1 bulan.
  3. Data Unpad terkunci,hal yang menyebalkan adalah membuka paus unpad yang selalu berganti password karena sinkronisasi email dan perbaruan data sehingga menutup akses data : email, drive dan blog. Solusi ? bukan antropolog kritis kalau tidak bisa membuka sistem ini, saya mendatangi warnet dengan bersepeda dan meminta tolong bukakan akses paus unpad karena bagi saya tidak memungkinkan datang ke IT Unpad, jauh sekali dan repot di persyaratan protokol kesehatan jika menggunakan transportasi publik seperti kereta api atau travel. Saya hanya punya sepeda karena memilih tidak membeli transportasi pribadi, saya memilih kebun ! karena itu sumber kehidupan selanjutnya yang perlu diselamatkan segera ketika menghadapi ancaman. Karena efeknya berimbas kepada tenaga kerja harian yang mengolah hasil kebun.
  4. Batal menikah lagi, ini sudah kali ke 5, mengapa dalam hidup manusia harus ada fase ini ? sebagai manusia yang sudah gagal beberapa kali ke jenjang ini karena berbagai alasan pembatalan dimulai dari : pekerjaan perempuan yang berkebun, diskriminasi bentuk fisik, dan wanita yang idealis sudah terasa biasa saja. Saya hanya butuh waktu 3 hari untuk camping dan tanpa notifikasi, gimanapun juga, saya masih merasakan reaksinya. Tapi ini tak seberapa, secangkir kopi tubruk dan tembakau mole bisa menghibur saya, dan saya tuntaskan masalah asmara ini dengan menghadiri pernikahannya dan saya memilih kambing guling dan hidangan zupa soup, kemudian pulang dengan mampir dulu ke warkop deket Cirahong, rupanya saya lapar, semangkuk mie rebus ala kampung tersaji dan saya kembali bergegas pulang. 
  5. Adik (termasuk tim wirausaha sosial) yang kritis di ICU dan akhirnya 3 Agustus 2022 meninggal karena meningitis dan setelah melewati operasi di bagian kepalanya, Sebelumya pengganti orang tua pun meninggal. Seakan-akan menjadi dewaasa itu tidak hanya bebas dari finansial belaka, tapi bebas pikiran hal-hal mengharu biru seperti ini, dimana Ruangan ICU tidak pernah memberikan kegembiraan untuk saya, saya banyak kehilangan orang-orang yang dekat dengan saya di ruangan ini.  Menjadi dewasa itu apakah selalu dihadapkan dengan cobaan ? Tapi saya harus tegar dan menyerahkan semuanya ke Sang Maha Memiliki, semua yang hidup memang akan kembali pada Penciptanya.
  6. Tugas Prof Oekan (studi kasus bantar gebang) yang hilang di paus unpad dan data turlap yang terkunci, ini petaka dimana saya hanya bisa mengetik ulang dan membuat ulang dari data-data yang terkumpul, di hati dan pikiran saya selalu yakin bahwa Antropolog selalu punya jalan keluar. Sesimpel itu menyemangati diri sendiri yang sedang ambruk, dipermainkan nasib, menelan realita, dan menikmati ujian, Mungkin Tuhan sedang rindu. 
  • Dimulai dari Kematian biyung sepuh yang meninggalkan banyak peristiwa dan kompleksitas problema ekologi manusia yang sebenarnya dimana jika dihadapi seorang diri ternyata membuat pusing tak karuan, berputus asa, dan terkadang merasa kehilangan identitas profesional karena penilaian sekitar, hal ini disebabkan oleh lunturnya kepercayaan, tapi ini konsekuensinya. Bahkan konsekuensi terburuk adalah ga jadi antropolog jalur pendidikan, tapi, itu mental anak kampung biasa. Saya hanya perlu jeda sejenak, dan menyusun solusi alternatif. Seperti yang dilakukan para antropolog-antropolog dari Inggris, ketika sedang menghadapi banyak masalah dan kebuntuan, mereka melakukan patchwork research and ethnography, dan inilah etnografi dan antropologi tambal sulam yang sedang saya hadapi.
  • Itulah percakapan seorang sarjana gizi yang tidak bekerja sepenuh hati di bidangnya, semenjak mengerjakan catatan lapangan etnografi pertama kali dari mata kuliah gizi dan pangan di Kampung Naga, Tasikmalaya pada tahun 2012 dengan berbekal buku Observasi Partisipasi karya J.Spradley dan menuliskan catatan lapangan dengan cara membuat jotting notes/jotted noted, antropologi ini adalah bidang yang sangat mengagumkan karena dituntut berpikir kritis terhadap fenomena yang terjadi, syukur-syukur bisa membuat solusi alternatif, lebih cemerlang lagi memberikan rekomendasi kebijakan, terutama pada sistem pangan dan program-program gizi dan kesehatan dari lokal ke global dimana hal ini banyak terputus di pertengahan jalan.
  • Februari 2022 adalah babak baru untuk memastikan konsentrasi pilihan berbagai studi yang akan dieksplorasi lebih jauh bersama para ahli, ada berbagai pilihan yang membingungkan. Dari ruangan kecil di tepi kebun ini yang berisi tumpukan buku-buku lama tentang sosial humaniora mengikuti berbagai fase kehidupan baru dengan cara pandang baru. Dan itu lebih menenangkan, setidaknya sudah berinteraksi dengan antropolog beneran. Ternyata, cobaan hidup anak desa bukan hanya soal prestise saja yang harus dihadapi setiap hari, tapi afiliasi pekerjaan dan lokasi bekerja, apa salahnya dengan berkebun mandiri, bertani dan melakukan pekerjaan kasar namun predikatnya sarjana. Sarjana itu kan hanya gelar akademik saja, di kebun inilah semua kontribusi pemikiran, ide baru, dan ilmu pengetahuan lokal terus berkembang.
  • Maret 2022, layaknya manusia pada umumnya, manusia pun menggunakan kalbunya untuk mencintai sesama manusia, dan terpaksa berhenti setelah mengetahui masa depan antropolog itu tidak jelas, sebagai putra tunggal pejabat publik lebih menyukai perempuan berseragam dan kantornya jelas, bukan mengolah kebun. Pembatalan lamaran dan pernikahan pun terjadi dan untuk mengolah patah hati ini ada 1000 bibit unggul ditebar dengan metode jajar legowo secara manual, dan baru selesai Juni 2022, semoga ekologi ini bertumbuh dan 1000 bibit ini adalah bibit mahoni agar lima tahun kelak menghasilkan pundi-pundi pendapatan yang bisa berguna bagi berbagai kebutuhan hidup manusia jika siap tebang.
  • Mei-Juni 2022 adalah masa-masa kritis karena jarak kebun dan rumah sakit itu amat jauh sekali karena waktu tempuhnya 30 km, itupun menggunakan kendaraan pribadi, ada salah satu anggota keluarga pengganti orang tua dan inilah pemilik kebun mitra dari wirausaha sosial yang sedang berjalan, yang pemikirannya selalu bijak dan inilah yang menyemangati untuk tetap fokus menjadi apa yang diinginkan, “selagi kesempatannya terbuka lebar dan individunya mampu dan minat, kerjakan saja sampai tuntas”.
  • Ruang ICU tidak pernah menyegarkan rupanya, bahkan ketika mengikuti perkuliahan daring yang mengharuskan presentasi mandiri sudah amat tidak fokus dan hanya ingin menyudahi perkuliahan, beberapa pasiennya pun selalu tidak terselamatkan, di tengah gentingnya ujian dan tugas-tugas akademik daring dan beberapa pekerjaan perkebunan yang sangat banyak, disitulah mental manusia dewasa sedang diuji, belum lagi masalah hak-hak waris dan gempuran para developer perumahan yang memang terus menggoda agar menjual lahan kebun secara murah dan pembayaran cicilan, hal inipun ditunggu oleh kebun mitra harganya karena harus dibagi waris, sedangkan masa depan warga desa itu adalah kebun, hutan, dan ekosistem sawah yang sudah menyatu semenjak lama. Bulan juni memang hujan, tapi setelahnya meninggalkan pelangi.
  • Juli 2022 adalah fase detoks diri atas apa yang terjadi dan hanya bisa beristirahat dari kemelut yang ada, patah hati karena segmentasi afiliasi, pekerjaan kebun yang merugi karena waktu panen tidak pasti, komoditas kayu siap tebang yang sangat ribet aturan administrasi daerah dan banyaknya pungli serta pembayaran kredit dari para pembeli dan pemborong sangat-sangat tidak ramah, bahkan mengurusi hak waris dan administrasi kematian pensiunan guru dihabiskan hanya dengan mengantri dan ditunda-tunda. Luar biasa fenomenologi ini jika dibuat kajian efektifitas pelayanan publik.

Menghadapi ini seorang diri tidaklah mudah, bahkan godaan syetan yang terkutuk dalam bisikan “ayo bunuh diri saja, jika tidak kuat”, tapi sebagai anak desa dari kota santri, Tasikmalaya. Ajaran bunuh diri itu dosa menurut agama islam dan mayatnya tidak melalui tata laksana jenazah muslim pada umumnya, bahkan mayat orang yang bunuh diri tidak perlu disholatkan dan langsung dikubur. Itu menyeramkan secara pribadi” 

“Rupanya racikan bajigur dan bubuy sampeu dari kebun bisa menenangkan pikiran ini sambil mendengar suara tongeret yang tidak pernah berhenti”. 

Hari mulai redup dan saatnya menyiapkan tenda untuk bermalam. 

Eksploitasi Ekosistem untuk Adaptasi Kebutuhan Hidup Selama Pandemi 

Pandemi covid-19 merubah semua bentuk kehidupan, cara beradaptasi orang kota dan orang desa dalam memandang hidup dan mencari uang untuk melanjutkan kehidupan. Sebagai warga desa yang sudah dewasa dan masuk kategori angkatan kerja yang berbekal ilmu-ilmu dari hasil bangku perkuliahan, mencoba merubah dan mengajak sebagian warga desa agar tidak berfokus pada penjarahan habis-habisan terhadap sumber daya alam dan menghasilkan dampak bencana ekologis. Namun, yang terjadi adalah kebun dan hutan sekitarnya dihabisi untuk meraup keuntungan dan penambahan pendapatan untuk keberlanjutan. Keberlanjutan ? 

Tunggu dulu, keberlanjutan semu dalam kaidah ekologi politik yang ditulis oleh Russet itu menggambarkan hubungan manusia dengan lingkungannya, tapi hubungan ini rusak kalau dipaksakan, Maka harus ada cara lain. 

Pandemi semakin mencekam didistribusikan informasinya oleh pejabat publik daerah, bahwa akses pangan pun sulit, tidak ada pasar murah padahal kalau melihat UU Pangan No.18 tahun 2012 yang hari ini sudah masuk ke Undang-Undang Cipta Kerja harusnya ketika status pandemi operasi pasar murah itu berjalan dan dikelola oleh Badan Ketahanan Pangan dan masuk ke program Dinas Ketahanan Pangan baik kota/kabupaten. 

Yang ada hanyalah para tengkulak yang siap menebus murah berbagai komoditas segar dari petani pedesaan dengan skala besar, sedangkan ketersediaan pangan di pedesaan tidak memenuhi, memang ada stok beberapa sumber karbohidrat, tetapi aksesnya adalah di perkampungan lokal karena mereka memiliki leuit dan lumbung pangan untuk kelompoknya. Jadi siapa yang bertindak futuristik ketika dalam pandemi seperti ini ? 

Pandemi sudah tidak menakutkan, geliat wirausaha rumahan banyak muncul dan sebagai pemantik semangat untuk tetap berkontribusi untuk antropologi pangan adalah pemetaan dan perencanaan sosial yang diterjemahkan pada beberapa aksi pemberdayaan dan menyusul dengan pendanaan. 

Eksploitasi ekosistem di pedesaan dimulai dari : penebangan pohon-pohon kayu dan non kayu untuk diolah karena memenuhi kebutuhan UMKM, pembuatan makanan dan minuman kemasan dengan metode makanan beku agar awet dan berumur panjang sehingga bisa dinikmati di kemudian hari diambil dari sumber daya kolam, sungai, dan pesisir dimulai, bahkan limbah pangan dari produksi sudah tidak tertampung dan akhirnya lingkungan yang tadinya asri dan menyegarkan menjadi penuh polusi udara dan polusi cemaran hasil pengolahan untuk kebutuhan manusia yang siap didistribusikan. 

Apakah manusia seserakah ini pada tingkat konsumsi dan cemas akan kelaparan ? Memang, jika melihat indeks kelaparan dunia, Negara Indonesia menempati rangking 73 dunia dari 116 negara dengan posisi tidak rendah. Dan ini rawan, bisa terlihat dari semenjak pandemi lonjakan harga pangan, dan permasalahan sosial budaya pangan, kebijakan pangan, kebijakan agraria, ditambah pengesahan RKUHP amatlah bertubi-tubi. 

“In the 2021 Global Hunger Index, Indonesia ranks 73rd out of the 116 countries with sufficient data to calculate 2021 GHI scores. With a score of 18.0, Indonesia has a level of hunger that is moderate” 

Hanya ada segelintir orang tua bijak yang memandang eksploitasi sumber daya alam secara habis-habisan akan menjadi petaka, mereka menyayangkan jika kepentingan bisnis kreatif ini menjadikan alam sebagai budak. Dan ya, saya sepakat jika keserakahan manusia pun akan menjadi bencana dan sistem yang bobrok dalam pengelolaan karena tidak adanya kontrol diri. 

Renungan Ekologis Pragmatis 

Semenjak menenangkan diri dengan cara forest healing dan tanpa bekal makanan dari perkotaan, ternyata jiwa liar manusia ini hadir, dimulai dari kepanasan, kehujanan, bahkan membuat perlindungan dari tenda untuk beristirahat dan rasa lapar yang tidak bisa tertahankan, maka keinginan berburu itu timbul, bahkan fungsi indera penciuman dan pengecap lebih aktif, kreativitas mengolah pun hadir. 

Berjalan menyusuri hutan dan kebun dan mencari umbi-umbi yang pas untuk dibubuy, memetik berbagai komoditas tumpang sari pangan seperti : harimunting, nanas merah, talas suweg, salak, nangka, jengkol, kopi, dan ada beberapa ayam yang berkeliaran di sekitar sawah huma menjadi sumber daya pangan yang bisa diolah untuk bertahan selama forest healing, bahkan racikan minuman dari rempah-rempah pun bisa dibuat karena berserakannya : kapulaga, jahe merah, kunyit, cikur (kencur), dan merica hitam yang merambat ke pohon kayu. 

Ternyata manusia itu sangat adaptif dan bisa bertahan jika tidak ada saingan, namun ketika ada bagong liar dan kawanan mencek yang datang entah darimana, sumber pangan pun akan berebut. 

Selama menyusuri hutan dan kebun ini sendirian, ada banyak potensi ekonomis jika dikelola secara benar dan berkeadilan, bahkan daun-daun mahoni yang mengering pun bisa dijadikan kompos dan dijual ke perkotaan asal mau mengolahnya, untuk keperluan kriya bisa memanfaatkan pewarnaan alami dari daun-daun per komoditas, mau dibuat atraksi olahraga pun bisa menyusuri kelokan hutan dan kebun untuk trekking asal pengelolaannya jelas ketika bekerja kolaboratif.

Bahkan pangan hutan bisa didomestikasi jika cocok, mengapa manusia tidak mau mengerjakan pekerjaan yang bisa bersinergi dengan alam ? Apakah tidak menghasilkan secara finansial jika dikerjakan dengan skala kecil dan skala individu ? Apakah harus skala industri ? Lagi-lagi industri ? limbah industri tidak pernah ditangani serius dan akhirnya merusak lingkungan sekitar tanpa penebusan kesalahan pada lingkungan. 

Mengapa alam ini terus menerus diperas dan dijadikan budak tanpa bisa berkompromi untuk keseimbangan isinya. Benar kata Prof Oekan pas ngajarin ekologi politik bahwa hubungan manusia dan lingkungan itu erat, bahkan orang kampung udah punya ilmunya. 

Ya, Prof memang benar, sepanjang menyusuri hutan dan kebun ini ada warga lokal yang sedang memanfaatkan daun enau untuk dijadikan sapu lidi dan warga lokal ini hanya mengambil seperlunya dan tidak berlebih. 

Ini adalah hal bijaksana yang terlihat langsung. Mengapa manusia yang berpengetahuan lebih bisa amat sangat rakus ? Apa tujuan kerakusan itu sehingga tega merusak kebersinambungan lingkungan ini ? Ada keperluan apa ? Teringat Pak Budhi pernah menjelaskan kalau efek tragedy of common bisa terkelola dengan baik bisa tidak. 

Menyusuri hutan dan kebun sambil menanami bibit mahoni dengan metode jajar legowo layaknya warga lokal, mengingatkan kembali mata kuliah etnobotani bahwa tidak hanya nilai ekonomi saja, tapi ada fungsi ekologis dari berbagai sumber daya alam yang ada. “1 hektare ini sudah kujajaki untuk ditanami tumpang sari pangan, dan inilah sebuah legacy bagi ekologi”

Prof Johan pernah ngajarin kalau komoditas hutan itu bisa menjadi komoditas unggulan, cara bertani orang lokal dan perlakuannya terhadap lingkungan bisa menjadi teladan, dan ya, saya berkabar dengan teman di Filifina yang mengambil Indigenous Studies Doctoral Program sedang mengembangkan Indigenous Lab, dan itu potensial dengan lokasi mereka. Bu Rini Soemarwoto juga mengingatkan kalau komoditas dan etnobotani dari pedesaan itu amat sangat banyak dan punya manfaat kalau diolah dan dikreasikan. Mengapa hal-hal seperti ini tidak pernah terdokumentasikan baik sebagai pembaruan ilmu dari sumber daya masa lampau ? 

Ah memang museum etnobotani satu-satunya di Bogor sudah berganti nama jadi MUNASAIN. Padahal, banyak sekali artefak etnobotani didalamnya untuk kemajuan peradaban dan keilmuan.

Mengapa Indonesia yang amat sangat beragam, bahkan multikultur tidak terpantik akademisinya untuk bisa  mengajarkan hal-hal dari pengetahuan lokal dan keterampilan lokal ? Hanya ada sedikit. Dan Prof. Oekan bahkan ga gengsi ngejelasin keberlanjutan dari paciringan dan menjadi kajian ilmiah. 

Kalau begini, sains itu hanya untuk STEM (Science, Technology, Engineering, and Math) saja ? Atau jadi STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, and Math) ? dimana “Arts” adalah sosial humaniora dan pengetahuan lokal ? 

Merenung sambil berkontribusi menebarkan benih seperti ini sejenak menghempaskan beban pikiran dan tanggung jawab, selain harus mencari sisanya sebanyak 300 juta rupiah dalam kurun waktu 10 bulan agar kebun ini bertahan dan mitra kebun terselamatkan. 

Ekologi seperti ini menenangkan dan menjadi ruang terbuka dari penatnya kehidupan perkotaan, udara yang sejuk, suara-suara binatang yang ada pun meramaikan suasana, bahkan banyak suara burung, dimana fungsi migrasi burung-burung sangat berpengaruh bagi keseimbangan alam, dan sebagai pusat informasi musim menurut pengetahuan lokal yang memang saat ini semenjak perubahan iklim terjadi, sudah tidak bisa diverifikasi kebenaran dan ketepatannya, yang ada hanya cerita saja yang dikemas menjadi folklore. 

Masih dalam renungan bagaimana nasib setelah selesai studi antropologi, mungkinkah antropolog akan menghasilkan dan mensejahterakan ? Ini sudah diujung dan sudah berjalan, teringat kembali kata-kata Prof Oekan kalau memilih antropologi tidaklah salah, iya bener juga prof karena masalah lingkungan adalah masalah sosial, dan masalah gizi juga adalah masalah sosial dan kemanusiaan. Bahkan guru besar antropologi saja bisa dengan bijak menyampaikan pesan ini. Mengapa ibu sendiri tidak yakin, ah memang ibu selalu terpapar informasi skala desa saja, jadi ibulah yang harus berkuliah sebenarnya agar ucapan, pikiran, dan tindakannya lebih terbuka menerima perbedaan dan kebaruan. Dari sini saya tidak mau tertinggal dalam hal pendidikan, Prof Oekan juga bilang kalau ga bisa adaptasi atau beresiliensi, siap-siap saja untuk termarjinalkan. Fight ! 

Kemelut hidup menjadi dewasa di era disrupsi ini sangat sulit dijalani sendirian, jika ekologinya matrealistis semuanya dan tidak ada kepedulian pada keberlanjutan lingkungan hidup, semuanya harus ditransformasikan menjadi seperti kehidupan kota dan metropolis. Justru ketenangan batin itu ada di ruang terbuka seperti ini karena banyak oksigen dari pohon-pohon yang rindang dan masyarakat di pedesaan dengan kelompok usia pemuda/pemudi sudah beralih minat dan cara pandang. Mereka memilih merantau ke kota besar untuk

“Kamu harus bisa membuat perubahan di Manonjaya”, inget itu kata Pak Budi Rajab. 

Bahkan kekuatan semangat yang ada cuma catatan-catatan perkuliahan antropologi, ini akan menjadi artefak dan bukti bahwa masuk antropologi itu bukan halusinasi dan semua orang berhak belajar antropologi jika betul-betul berminat dan ingin mendalami, tidak semata-mata untuk uang, itu hanya bonus dari kontribusi pemikiran dan tindakan yang sudah dilakukan. 

Bu Budiawati Supangkat bahkan pernah menugaskan bacaan Kisah Kebun Terakhir yang ditulis Tania Li, isinya hampir sama dengan apa yang saya hadapi, hanya saya masih cukup beruntung tidak seperti tokoh dalam buku itu yang kehilangan hutan, isinya, dan masa depan.

“Kisah ini tentang warisan tanah terakhir, bu….dimana saya adalah orang yang terdampak, haruskah saya tulis oto-etnografi ini bu untuk pelajaran Mata Kuliah Kajian Kritis Etnografi selanjutnya?….mempertahankan kebun dan isinya itu tidak cukup hanya dengan pengetahuan saja ternyata….tapi harus dengan keberanian, walaupun sering dianggap masih kecil “

Kritik Untuk Perilaku

Penghuni Planet Bumi 

  • Ketika mengikuti pelatihan global yang foundernya itu adalah Al-Gore tentang Perubahan iklim, diri ini seakan menagih janji-janji palsu terhadap mitigasi kerusakan lingkungan yang dikemas acara-acara besar dan berkepentingan. Alih-alih membicarakan solusi tapi malah banyak alasan manipulatif.
  • Panca indera ini seakan ingin merampungkan gejolak yang tertolak bahwa keadaan planet bumi memang tidak baik-baik saja.
  • Dimulai dari sampah plastik skala rumah tangga, penanganan sisa-sisa makanan yang tercecer memenuhi selokan dari saluran pembuangan, air selokan yang tidak lagi jernih, air sungai yang sudah berbusa karena dampak detergen dan kemasannya yang dulunya mencuci menggunakan lerak, para pengendara di jalan yang membuang sampah sembarang (mereka punya harta benda tersier tapi mereka tidak teredukasi baik).
  • Para perokok yang membuang puntungnya dimana saja, para penjual kuliner yang mengkreasikan kemasan makanan dan minuman kekinian tapi tidak menyediakan tempat sampah di kedainya, sosialisasi pilah sampah yang minim, produk-produk tidak ramah lingkungan semakin menyeruak dengan kepraktisan pengiriman daring dengan kuota pemakaian plastik sebagai proteksi barang yang menumpuk di gudang rumah dan menambah daftar sampah plastik di TPST (Tempat Pembuangan Sampah Terpadu) dengan kategori baru. Bahkan makanan yang bersisa berserakan di tempat sampah umum tanpa terdistribusikan ketika makanan masih hangat-hangatnya. This is leftover food !
  • Banyak sekali webinar tentang penyelamatan planet bumi tapi tanpa aksi sama sekali, hanya dibahas di forum-forum webinar sebagai selebrasi dan penambah pengetahuan belaka. Mengapa sulit sekali ? Apakah terlalu sibuk ?
  • Perihal jejak karbon, harus dilakukan investigasi mandiri yang tidak terkait nama lembaga atau komunitas agar tetap independen dalam melontarkan kritik, jadi begini : ribut-ribut tentang polusi kendaraan, jika benar kontribusi jejak karbon yang disebutkan oleh aparatur ESDM negara ini bahwa penyebabnya adalah kendaraan berbahan bakar kendaraan fosil, penggunaan energi listrik dan air dan konsumsi makanan. Mengapa edukasinya dan himbauannya hanya berlaku kepada : anak sekolah, mahasiswa, dan kelompok yang bahkan tidak menggunakan itu ?
  • Mengapa tidak dari para pejabat publik, akademisi senior, dan para anak muda yang baru bisa membeli kendaraan, atau orang-orang yang sengaja membei kendaraan namun diangsur ?
  • Harusnya, hal semacam ini menjadi perhatian, dibuat pembatasan pemakaian, atau disyaratkan jika berkendara harus diisi minimal 2 atau 3 orang jika menggunakan mobil pribadi.
  • Suatu hari melewati kawasan sekolah-sekolah elit dengan label full day school, dan tahukah jika jemputan anak-anak sekolah ini adalah mobil-mobil berbahan bakar fosil dan satu orang dijemput oleh satu kendaraan ?
  • Mengapa tidak ada fasilitas mobil jemputan sekolah ? Apakah sedang mengadu gengsi atau memang harga kenyamanan itu memang murah namun abai pada kontribusi jejak karbon yang menambah polusi, kemacetan dan ketimpangan lainnya ? Mengapa hal-hal yang terjadi di area elit yang tidak bisa dijangkau oleh kebanyakan publik tidak pernah diberikan peringatan atau himbauan ?
  • Bahkan para pejabat publik dan orang kaya baru sengaja membeli kendaraan untuk mendefinisikan kesuksesannya. Di zaman yang sudah terintegrasi digital dan penuhnya informasi untuk mengakses transportasi publik, memiliki aset kendaraan dan nilai susut adalah sebuah kebanggaan dan kemudahan. Mengapa hubungan kekayaan tidak pernah berbanding lurus dengan pengetahuan individu pada akhirnya ?
  • Menagih kontribusi perusahaan-perusahaan besar pada lingkungan yang bermain dengan proyek batu bara, ketika ada satu perusahaan melimpahkan limbah berbahaya dan menjadikan lingkungan tercemar, hal ini tidak pernah terkejar untuk memastikan kelestarian ekosistem karena dampaknya yang sudah tidak tertangani dan akhirnya menjadi sesuatu hal yang biasa.
  • Apa susahnya berjalan kaki dan bersepeda jika jarak tempuhnya dekat ? Oh, ya… ini kan bukan Negara Swedia, Belanda, Denmark, Norwegia, Irlandia, Islandia, Estonia dimana warganya peduli dengan lingkungan dan masa depan, ini karena kekuatan edukasi masa kecil jadi perilaku orang dewasa terbawa baik. Sepenting itukah pendidikan dan pemahaman menjaga lingkungan sejak dini ?
  • Sampah-sampah rumah tangga yang tidak dipilah menyebabkan tumpukan sampah yang menggunung dan menghilangkan beberapa nyawa di tempat pembuangan akhir, ya….fenomena seperti ini kapan berakhir ? Siapa yang patut bertanggung jawab atas keriuhan dan kerusakan lingkungan yang tak terkendali ini ? Hal ini hanya bisa dilakukan oleh manusia-manusia sadar futuristik yang punya sinergi dengan kelestarian alam.

Pembuktian Matrealistis

Materi Antropologi untuk Ibu

Walaupun saya banyak diragukan dalam menyampaikan pendapat, opini, gagasan, atau hanya komentar, apalagi ide riset pasti aja selalu ga sempurna atau biasa saja , ga greget, kuno, jahiliyah sagalarupa, dengan sedikit meminjam kata “antropologi”, saya akan tetap mencoba sampai-sampai saya menghitung, sebenarnya siapa saja orang-orang yang memang sering bersikap dan bereaksi demikian selain ibu, dan ternyata hanya segelintir, dan saya percaya di luar sana masih banyak orang-orang yang bisa mengapresiasi pemikiran ini, semenjak ditantang oleh Ibu tentang “Antropologi tidak dapat menghasilkan uang”, saya berpikir dan merasa tertantang, sejenak hanya bergumam dan memikirkan ulang  :

“ya iya atuh ibu antropologi emang mau menjual apa dan menawarkan jasa apa secara praktis, tapi Ibu lupa kalau sesuatu yang besar bisa terjadi itu dimulai dari yang kecil mendalam,

ya memang antropologi tidak seluas kajian filsafat atau qur’an hadist, kajian teologi, atau sosiologi, tapi antropologi punya kefokusan tersendiri, baiklah ibu,

Ibu baru bisa menerima saya kalau antropologi itu ada duitnya, tingali tah ibu tingali, dan Ibu harus mulai menerima anaknya yang menyukai antropologi dan sedang belajar ini,

da atuh ibu saya itu suka antropologi lain jalur coknang snmptn atau ujian saringan masuk milih kuota jurusan kosong atau pilihan kedua, saya dengan sadar dan waras, ieu elmu teh cocok jeung garapan urang, dan yang terpenting saya mau belajar ini, bahkan kata ibu “nanti diantropologi dikekeak” saya bisa menerima itu dan saya jadikan masukan untuk perbaikan, kenapa Ibu jadi riweuh, tapi gimanapun juga do’a ibu do’a yang panjang, oke bu….Ini buat ibu….

Semenjak masuk antropologi apakah saya merasa tenang ? tidak sama sekali. banyak hal-hal yang bikin was-was, dan banyak ancaman dari sekeliling termasuk micro support system : Keluarga.

Banyak sekali pertentangan, tapi saya berhak menentukan dan mengarahkan isi pikiran saya, isi hati saya, dan isi dompet saya hahaha, eta mah geus puguh. Saya masih punya orang tua lain yaitu guru ngaji saya semenjak saya sekolah iqro/sekolah agama, luar biasa responnya bahwa keilmuan apapun asalkan ada kejujuran, keikhlasan, keseriusan, dan kesabaran, dan mau mengamalkan apalagi mau disedekahkan, maka itulah ladang pahala,

Alhamdulillah cerah luar biasa memang guru ngaji saya yang udah sepuh ini, dulu saya adalah murid ternakal karena sering duduk paling belakang dan mengaji cuma pake kupluk yang penting nutupin rambut dan sering kabur pas bahas ilmu tajwidz soalnya ga bisa bedain hukum idgham bigunnah dan idgham bilagunnah dan akhirnya dihukum bacaan surat pendek, tapi si anak nakal itu kembali mengunjungi gurunya karena cuma guru ngaji yang bisa memberikan komentar sederhana tapi tidak menyinggung, kadang manusia seperti ini harus diperbanyak biar adem dunia ini sama orang-orang taqwa nan bijak yang memandang sesuatu ternyata helicopter view sebenarnya.

Kembali kepada calon pundi-pundi matrealistis dari uji kelayakan ide atau gagasan antropologi bisa jadi duit atau engga. Saya punya dua jawaban setelah mengalami berbagai proses, yaitu :

  1. Tidak bisa, itu kalau saya kurung batok kacida. Saya juga terkejut ketika gagasan paradigma antropologi banyak tertolak di beberapa pendanaan yang diadakan berbagai pihak, terbukti dengan proposal riset, proposal bisnis, bahkan abstrak penelitian prosiding tertolak, tetapi itu kalau di Indonesia. Maaf, harus mengatakan negara tercinta ini. Semoga bisa menjadi bahan evaluasi. Saya juga bingung kriteria penilaian seperti apa memangnya untuk hasil yang wah yang para pemilik dana inginkan. Untuk ini saya sudah menanggapinya biasa aja, adapun ingin berkecimpung berpartisipasi saya akan memposisikan sebagai “Tim Hore” dan penggembira.
  2. Bisa, saya takjub spontan ketika proposal riset, proposal bisnis, ide penelitian 3 lembar (brief research), dan proposal mengajar di college yang membuka general lecturer menerima proposal saya dan mengapresiasi portofolio saya, dan mau membayar layak dari “hasil lamunan, imajinasi, pemikiran, hasil membaca, hasil belajar” yang saya tumpahkan pada tulisan.

“Ini tahun 2022 bukan ? pemikiran saya memang sangat terikat dengan ekosistem sawah, kebun, hutan, sungai, kolam, dll, tapi masa anak kampung pelosok  ga boleh punya kesempatan yang gemilang layaknya orang kota, ini cuma soal akses informasi dan strategi dan relasi, ketika saya berkumpul dengan para pebisnis muda saya berpikir tentang Profit harus melampaui Break Event , ketika saya bergabung dengan peneliti dari Swiss, Belanda, Jerman, Norwegia saya terbawa maju akan keberlanjutan, keseimbangan, kemajuan, dan kesetaraan dengan meminimalisir kerusakan serta harus mengapresiasi hasil-hasil terdahulu, ketika saya bergabung dengan Ibu saya semua kembali pada pembahasan uang dimana tidak ada hal lain selain : sekolah /kuliah – bekerja – uang, mana pernah sekolah/kuliah – ilmu – amal – hasil (uang), saya memulai keliaran memaksimalkan internet untuk mencoba berbagai kesempatan ini dengan tujuan ekosistem yang saya tempati bisa setingkat lebih berkembang, ya tentu saya perlu modal, tapi saya sudah perhitungkan bahwa jika mengeksploitasi sumber daya kebun, masalahnya adalah waktu dan manajemen pasca panen, inilah fungsinya antropologi : IDE YANG MENGHASILKAN UANG”

Sebagai pembuktian kepada ibu bahwa antropologi bisa menghasilkan uang, berikut beberapa gagasan saya yang dibayar layak :

  1. Lecturer West Coast Culinary Symposium, San Francisco , saya mengajarkan paleo gastronomy (an antropology perspective) dan saya membuka kelas Sejarah jamu dan Era Kerajaan Mataram Kuno (hubungan manusia dengan tanaman obat, kurang antropologis naon deui ibu ?).
  2. Mentor Wirausaha Sosial Enpact Germany, saya diberi kepercayaan untuk memberikan arahan keberlanjutan dari agroekosistem karena perusahaan ini akan mengekspoitasi sumber daya alam dengan program B2B atau business to business, spesifikasi keahlian saya adalah memastikan bahwa tidak ada permasalahan budaya dengan masyarakat, namun perusahaan bisa terus jalan namun tentunya nilai-nilai dari fungsi ekologis harus tetap yang utama, dan saya senang sekali bahwa ternyata Jerman yang dimata saya itu negara canggih bisa mempercayakan ini pada saya yang suka diacuhkan kalau ngomong di bale desa tentang transformasi usaha kalau ngobrol ga bawa bingkisan, saya ga tau apakah memang orang indonesia itu suka menyepelekan ide atau bagaimana ?
  3. On going project : Indigenous Learning Center dana dari NGO di Swiss, saya sudah rendah diri duluan karena konsep saya kampungan ingin mendirikan sekolah manjat, sekolah nandur, kursus petik salak dan ngolah pohon salak sampai biji-bijinya dengan pengetahuan lokal. Mun di bahas di warung bi munah mah geus we dianggap gelo. Tapi, saya tidak mau kecolongan lagi saya presentasikan ini masuk kurasi, pada akhirnya lolos pendanaan, hasilnya digunakan pembenahan lokasi di beberapa area kebun dan mengumpulkan warga sekitar yang memang jago di bidangnya. Saya pun kaget karena mengkonversi dari CHF ke USD ke Rupiah itu tidak terlalu mudah karena akses perbankan dan layanan transaksi publik minim.
  4. On going project : Eco-Gastronomy #FoodAdventure and #FindingEthnofood #FindingEthnofood #WildFood, dana ini dari seed funding lembaga sosial forestry negara Jerman, gimana rasanya kalau ide yang udah dirancang jauh-jauh hari bahkan tahunan, ide ini mengendap 5 tahun karena emang ga punya duit, maklum masih mahasiswa, mahasiswa selalu dianggap ga punya duit mulu, tapi ini 2022, semua orang berhak punya duit, piraku teu canggih kan ? Saya mengajukan ide proyek ini dan lolos kurasi, walaupun 3 besar, tapi dananya bisa dipakai memperbaiki area tumpang sari pangan kebun dan memborong pupuk kandang dimana pupuk kandang tidak pernah laku semenjak banyak pupuk buatan, para peternak pun sumringah, nah inilah kebahagiaan saya, dan ibu menganggap hal ini biasa ? 270 juta ge biasa we dimata ibu saya mah, mun dipake buat kebon teh, tapi mun dibelikeun toyota nu panganyarna mah dianggap berhasil. Hese da efek sinetron ngahiji jeung geng komplek mah. Saya mengizinkan warga sekitar membawa komoditas apapun yang penting tidak melebihi boboko dan itu gratis, kecuali kelapa silakan ambil samanggar ambil seperlunya sisanya bagikan terutama di kampung saya masih kental dengan kalau perempuan haid tradisinya harus minum air kelapa murni setiap hari, dan terbukti itu produksi komoditas stabil karena diambilnya secukupnya. Warga sekitarpun tidak usah beli pangan mentah, dan distribusi makanan dan minuman darurat seperti air kelapa tersampaikan pada penerima, setidaknya mereka tidak kram perut karena haid, Ibarat istilah kebersamaan ini dan gotong royong ini di kebun itu bahasanya “karik menta we atuh ka kebon wanini (biyung sepuh, kebun mitra)”.  Saya merenung juga untuk apa pelit, semua ini hanya titipan, dan saya pun selalu disadarkan oleh interaksi antar manusia.
  5. On going Project : The Gastronomist X Bike To Eat, proyek kolaborasi hasil brandingan UNESCO dibantu oleh IKJ, saya mencoba berkolaborasi dengan komunitas pegiat slow living perkotaan yang emang sudah puyeng banget, udah tahap mumet sama banyaknya klakson teu pararuguh, runtah dimana-mana, gembel juga makin banyak, kebun bersama, ah boro-boro itu sansivera di alun-alun ge ditarijek, melihat kota tasikmalaya yang udah teu pararuguh rupa lalu lintas, rupa bangunan, apalagi hal-hal tasik kota resik itu mah cuma tulisan aja. Saya dan kolaborator menerima pendanaan dari hasil kompetisi berjangka 5 tahun, udah kek repelita (rencana pembangunan lima tahun) dimana setiap keberhasilan dan aksi ada kalkulasinya dan ini menyenangkan, proyek ini didanai lembaga amal Minesota, bekerja dengan gowes/bersepeda dan makan dibayarin, ini baru cerdas bukan ? Kadang suka aneh sama manusia masa kini pengen disebut modern tapi pemikiran masih masa lampau, konsep ini diambil dari konsep hardolinre (dahar, modol, ulin, sare), tapi gimana caranya kegiatan ini dibayar, tapi ketika kami gowes kami mengisi daya baterai ponsel hasil coba-coba pelajaran elektro waktu SMA kami beli peralatan yang bisa terhubung dengan tenaga surya, ternyata banyak ditukang rongsok dan di tukang lampu hahaha kamana wae urang, ya terbatas segalanya juga, tapi Allah mah bakalan ngebuka jalan buat orang-orang yang berusaha kan yah ? kadang suka diketawain ngapain melambat di saat semuanya serba cepat. Seriusan ya capek dipermainkan sama format-format kesuksesan teh. Sesekali kami ingin menikmati hidup. Gitulah obrolan santainya mah. Jadi, kalau saya gowes dan makan, ya berarti itu lagi menghasilkan, dimata Ibu saya itu “ulin,ulin,ulin”, dimata kolaborator “gajian, gajian, gajian”, dimata tetangga “euweuh gawe, euweuh gawe, euweuh gawe”. Ya begitulah realita.
  6. Speaker for Institute Historical Research, London. Ini kebanggaan tersendiri soalnya cuma sejarawan senior yang selalu lolos tampil di sini, kolega saya pun meragukan itu karena tau forumnya bukan sekelas manusia ecek-ecek kaya kita (saya dan kolega), tapi saya mau coba, saya rapikan naskah ilmiahnya, saya gunakan paradigma cultural materialism pada bahasan ini namun dengan pendalaman sejarah, saya bukan sejarawan, tapi kalau saya berminat pada sejarah apakah saya harus sekolah sejarah dulu ? teryata jawaban convenornya keren banget : “justru itu kami ingin mendengar orang-orang yang memang tertarik pada suatu bidang tapi tidak belajar dibidangnya secara formal, dan itu sangat kami apresiasi, semoga bisa mempresentasikan itu, kami senang ada orang Indonesia yang mengetahui forum besar ini dan menjadi pembicara”. Gile emang, ini tuh pelebur marahnya ibu, soalnya ibu tau forum ini, dan ibu pun luluh dengan berhasilnya saya nangkring di forum ini. Seketika, ibu pun mengeluarkan koleksi buku jadulnya, surat kabar yang dia kumpulin tentang berbagai peristiwa penting, majalah jadul, dan buku antropologi Anthropology from a Pragmatic Point of  View – Immanuel Kant.

“ai eta ibu punya buku antropologi, sok ibu waktu dan tempat saya silakan”

“tah maneh mah, geus intina we nya meh tereh, okelah udah membuktikkan ke ibu kamu bisa menembus forum tersusah itu,kenapa ibu menantang itu, forum itu mengeliminasi ide secara ilmiah dan historis, jadi partisipant aja ngisi kuesioner panjang kan, apalagi jadi pembicara, ya diseleksi, ya selamat kamu berhasil, jadi buku eta mere sugesti  ke ibu, dengekeun : Kant describes the Anthropology as a systematic doctrine of the knowledge of humankind. Jadi Kant ini does not yet distinguish between the ilmu sekarang naon atuh akademik ceuk mahasiswa mah lah poho Ibu nyebutnya pada  anthropology as we as a human understand it today and the philosophical. Makanya ibu khawatir kamu itu terjerumus pada hal-hal yang emang keilmuan itu akan stuck disitu dan akhirnya kamu ga bisa ngapa-ngapain, da tetep mempertahankan sesuatu, ya tapi kalau udah masuk IHR mah sudah mewakili Ibu menguji anak ibu isi pikirannya nyampe mana”.

“Bu, apal teu urang teh geus tahap tesis ? ”

” Si kehed….!!!”

“Geus doakeun we bu atuh da kieunya babaturan gawe geus mere izin, proyek dengan pemikiran antropologi geus menghasilkan, karik ibu beunta, kerjaan semakin kesini semakin dinamis, shelter karik menerkeun, kebun karik ngalunasan hak waris, sakit hati asmara da biasa aja ternyata, saingan gawe anu ti soas london da teu bisaeun bahasa lokal puguh mah bule teu nyaho, jadi ibu meridhoi ga anaknya sekolah antropologi ?”

“nyalah jig….antropolog naon ? ”

“gizi, pangan, gastronomi, jeung indigenous studies”

“nya sok jig sing jadi antropolog pada akhirna mah, maneh teh duit aya cik benerkeun shelter maneh teh repa ! meni jiga zaman purba kitu we nya tina bambu”

“nu aya we atuh ibu, nu penting mah iyuh”

“da maneh mah, dieu ku urang we di desain sing bener antropolog teh kudu nyaman kehed, otak maneh nu dipake, sok jieun sing baleg tulisan sing badag pusat studi atawa naon atuh sok make bahasa inggris tuda aneh maneh mah center for center for heeuh naon, da orang desa mah nempona lain kesederhanaan, keberhasilan yang dibuktikan dengan segala kepemilikan, ya itu makanya kata Immanuel Kant antropologi itu doktrin pengetahuan umat manusia. Baca we buku-buku ibu baheula. Sekarang tantangan kamu buat keseimbangan okelah cukup eta antropologi geus mayan bisa nyieun playground sorangan maneh, sok saimbangkeun jeung agama maneh. Tempo sakuriling ! Pasantren ! Kaji atuh ku budak ibu antropologi isi al-qur’an kek atau naon nu aya unsur agama islamna, da maneh yeuh pangbalikan teh kamana ? da ngan antropologi hungkul mah loba buku nu leuwih alus ge, tapi selama ibu membaca antropologi jarang membaca ibu kajian al-qur’an di dalamnya. Tugas kamu eta mah, sok ibu mengizinkan jadi antropolog tapi tesis mun bisa tentang al-qur’an asupkeun”

“ai sugan udah direstuan we tanpa syarat boro rek mawa piring ek makan opor ayam merayakan kemenangan ai pek teh bersyarat, beuki rieut wae, iya ibu mun ridho ibu seekslusif itu, beranilah naha make henteu”

“ya tidak semudah itu ferguso, da antropologi di Indonesia mah hanya sebatas program kuliah, mentokna jadi PNS formasi anu muka antropologi, diluar asn mah masih keneh seuseut, pahami itu matak mun antropologi ibu mendukung kamu jadi pengajar tapi da maneh kudu saimbang kudu ada sisi qur’ani asup, ya okelah lembaga riset, heueuh eta maneh kikituan teh pan lila ti tahun 2016, lin ?”

“Iya ibu suri, eta geus kadinya deui wae”

“naon etateh mamawa piring kosong? ”

“iya pan sanguna tak ada, ai opor geus aya”

“naha make ga ada, eta na magicom”

“ya anda tidak ngajetrekeun dari off ke cook nagen we off nya moal asak, tah eta literasi teu asup teh”

“cicing eta mah poho, nya sok atuh beli we tah ka nasi padang riweuh pisan hayang nasi ge”

“moal ah ek ngadagoan eta nasi, da kemampuan adaptasi urang mah udah teruji di kebon”

“meh tereh, zaman ayeuna mah kudu tarereh nanaon ge ulah eleh ku online shop, tuh jiga ibu pesen bumbu rendang ti padang asli tereh nepina, coba mun kabeh pelayanan satereh toko online geus we bagus”

“jig jig atuh benerkeun shelter di kebon teh, nulis tesis diditu jangan dirumah, sok ibu mau liat antropolog teh bisa teu mempertanggung jawabkan ucapan, konsep, gagasan, jeung implementasina. ngomong hungkul haya bacot balaka ya repa”

“iya…..udah bu ? mau balik lagi ka shelter”

“kamu teu hayang boga kendaraan nu matut kitu ?”

“bike to work bike to eat bike to read bike to market bike to life selama itu jaraknya 25-50 km bolak-baliknya, naha da urang mah pesepeda, emangna ibu”

“heueuhlah, mun ibu sediakan moal dipake ?”

“moal, teu nikmat lain hasil sorangan”

“sok-sok makan heula terus bereskeun sagala rupana, september teh sakeudeung deui, hak waris tah geus mulai, 300 juta sesana nyairkeun teh pan tidak gampang !”

“bae we titah tungguan da urang lain tina ngajual produk dari melebarkan ide eta teh pake ilmu antropologi mau diakui atau tidak juga memang begitu adanya, masing aya antropolog senior nyebut urang so tau ge urang mah ga masalah, meureun kitu sifatna jelema mah, teu urusan urang mah, nu penting mah urang pake ilmu antropologi menghasilkan kitu we nu terehna mah, iya kan bu ?”

“tah kitu, maneh mun dikekeak ku antropolog senior atawa ku professor antropologi kumaha da ide maneh teh rendahan dan ga  bermutu? ”

“urang mah bu geus teu bisa kukumaha asup katarima dina antropologi ge geus syukur pisan, urang boga kesempatan diajar teu maca buku teuing urang teh, nya sok we tunjukkan pada jalan yang benar ai urang salah mah, simpel nya kan bu hahahaha”

“si kehed….keur ditimpa masalah ge ngalawak we , geus teu boga rasa kanyeri budak ibu teh ?”

“lah bu ari terus ngararasakeun kanyeri mah moal bugar-bugar, nya aya atuh eta mah ngan urang mah melepaskan we karik anggap lain milik make ripuh-ripuh teuing, dipecat ngalamar deui, bangkrut usaha, cobaan deui, gagal teu jadi boga gelar, karik balikan daftar deui, da semuana ge permainan ceukna qur’an naon ? hidup hanyalah senda gurau (Q.S Al ankabut ayat 64), tapi ketika anak ibu masih punya tenaga masih sanggup berusaha selalu mencoba we bu, da pada akhirnya memanglah Yang Maha Kuasa yang menentukan”

“Alhamdulillah tah kieu kakara anak ibu memandang dengan hal-hal fenomenal tapi ada spiritual kan jelema kitu maneh teh artinya hate maneh jeung otak maneh nya geus klop karik sesuaikan jeung zaman, eta sabaraha pasang tihang listrik keur menembus desa eta teh mahi moal 15 juta ?”

“ya kalem sauetik saeutik ibu…. lah pake we ku ibu sesa duit pensiunan mah, da duit mah aya ibu ngan lain keur nu kararitu bu, lain prioritas, ulah serba difasilitasi, warga desa didinya titah kreatif jeung ngamanfaatkeun renewable energylah kitu bu, eta geus mulai naranyakeun pan di shelter urang naha jadi boga listrik pan make panel surya jieunan si Kevin”

“Jig di shelter, balik-balik geus jadi antropolog, ya okelah mampir kesini kalau kangen masakan rumah mah da angger maneh mah neangana teh rek poe naon bulan naon lain lebaran ge, ada opor ayam komplit, geus aya ayam krispi saus sagala rupa, angger we hayang opor ayam nu jiga lebaran, geus maneh mah ngaco”

“iya, ke urang coba komunikasikan ke berbagai pihak da loba bu, ngan kusorangan we jeung si Kevin sarjana teknik nu can mernah gawena, da atuh beukina opor ayam buatan ibu, embung ah minyakna hideung da atuh urang teh pernah diuk di kelas gizi nya teu malaweung urang teh, kunjungan ka umkm nu kitu mah unggal minggu pan hayeuh we responsi, nyaho lah prosesna, matak urang teh ibu lain kampungan dahar kuluban teh, eta menghindari hal-hal yang membayakan yang masuk ke perut”

“nya sok sing dilancarkan jadi antropolog di mata ibu ge kamu mah geus berhasil ari kikituana mah samodel etnografi kitu, ngan da jalur akademik mah nya heueuh tidak semua suka, jig paratkeun , semakin cepat kamu selesai semakin cepat kamu dapet opor ayam dan ketemu ibu, tuh ruangan keur nulis etnografi di ujung !”

Itulah percakapan sederhana sebelum kembali ke shelter, apapun yang terjadi hanya dihadapi, dijalani, dan dinikmati, karena ketika kemampuan manusia sudah mencapai titik maksimal, sudah tidak bisa dipaksakan lagi.

Dari permasalahan yang saya hadapi, saya seperti menemukan laboratorium kehidupan, banyak kejadian yang mendewasakan saya. Saya memang anak muda, tapi sebentar lagi menua, saya harus menjadi seorang bijak yang memandang sesuatu dengan kedewasaan dan ketika saya hidup maka saya harus bermanfaat untuk diri sendiri dan sekitar. Menghadapi sesuatu bukanlah dengan amarah, tapi dengan ketenangan, dan sedikit pembuktian, karena tanpa itu hanyalah fiktif belaka, dimulai dari ketidakpercayadirian karena banyaknya hinaan dan keraguan, hal ini mendewasakan saya dalam suatu proses, ya memang tidak ada hasil instan, saya juga jadi tanggap gejala sosial dan saya menangkap definisi kesejahteraan versi banyak orang.

Ketika ibu saya mendefinisikan kesuksesan ditandai dengan berbagai kepemilikan, definisi kesuksesan versi guru ngaji saya bukan itu, tapi kebermanfaatan ilmu yang dia ajarkan dan amalan perbuatan sukarelawan kemanusiaan seperti memandikan jenazah dan aktivitas keagamaan tingkat kampung dan bisa naik haji karena melengkapi rukun islam, beda lagi dengan definisi sukses versi bapak saya kalau sukses ya bisa menggabungkan semua elemen yang bermanfaat tapi punya nilai ekonomi tanpa merusak sekeliling bahkan nilai-nilai dalam al-qur’an harus masuk, definisi sukses bagi saya adalah :

  1. Tidak punya hutang, semudah apapun caranya, sekecil apapun bunganya, jeratan hutang itu adiktif dan ini berbahaya bagi gaya hidup di masa depan 5 atau 10 tahun mendatang, keterlambatan pembayaran itu ada nominal denda yang dibayarkan.
  2. Bisa Membiayai kuliah dari duit sendiri, di saat yang lain disupport habis-habisan dalam berebut masa depan yang gemilang, disitu ada orang yang lagi memperjuangkan sesuatu untuk bisa mendapatkan kesetaraan yang tidak pernah setara. Nelson mandela pernah bilang Education is a weapon, saya mau bantah saja “Sumber daya manusia yang tidak bertransformasi adalah senjata makan tuan”, Hal ini mewakili dari beberapa pelayanan publik yang saya rasakan yang tidak selalu memuaskan, tapi saya maklumi saja.
  3. Punya Aset Lahan Kebun dengan keanekaragaman isinya, dan ini sedang dipertahankan dan didesain bagaimana nilai ekonominya ada, lahannya lestari, bagaimanapun juga ketika saya menua, saya perlu lahan seperti ini entah untuk forest healing atau memang memberdayakan keberlanjutan isinya.
  4. Sudah menjadi pelaku gaya hidup yang minim sampah dan hemat energi, hal ini sedang dicoba dan membiasakan diri, ya walaupun baru sampai bisa mengisi daya baterai ponsel karena bersepeda, tapi saya sudah tidak kerepotan mengisi daya ponsel di kebun, minim sampah pun dimulai dari apa yang saya konsumsi, walaupun sering dianggap kampungan karena masih makan rebusan.
  5. Berhasil tidak belanja kebutuhan dapur kecuali protein premium seperti : daging sapi dll, ketika pekarangan rumah sudah menghasilkan aneka tumbuhan dari TOGA/tanaman obat keluarga, apotek hidup, dimana hal ini sudah jarang ditemui, ya prinsip ketahanan pangan dimulai dari terpenuhinya kebutuhan makan per kepala di setiap rumah. Baru menghitung skala besar secara statistik, ketika kelaparan dihitung dengan skala besar, itu pasti nihil, tapi ketika kelaparan ditanyakan pada tiap individu pada kondisi tertentu itu definisi kelaparan sebenarnya, kadang hal semacam ini luput dari kajian sistem pangan.
  6. Berkendara sesuai jarak, ketika masih dibawah 50 km bisa menggunakan sepeda karena saya anak muda yang staminanya masih stabil dan tidak terdeteksi penyakit tertentu, maka tidak ada yang salah dengan bersepeda, kalau jaraknya jauh baru saya menggunakan kendaraan lain seperti motor atau mobil. Ini zaman sudah maju, saya memilih menggunakan pelayanan publik saja yang sudah terintegrasi dengan layanan daring. Simpel.
  7. Kembali mendalami agama Samawi (bagi saya islam) , sudah banyak buku,  referensi, artikel ilmiah bahkan kajian hasil seminar, tatap saja saya tidak puas dengan semua itu, masih ada yang mengganjal dimana saya memerlukan penegasan yang fix, tapi kajian ilmiah ya terbatas, kajian al-qur’an  semakin didalami semakin terbuka bahkan banyak inspirasi yang datang, bahkan hidup pun terasa enteng karena bisa membawa efek menenangkan disaat era disrupsi ini semakin tak terkendali, mendalami isi al-qur’an kembali mengingatkan saya pada masa kecil dimana orang tua saya mengajari saya membaca iqro daripada membaca alfabet. Bukan kearab-araban, emang kalau belajar sejarah itu jangan setengah-setengah. Tarikh (Sejarah Islam) itu ya dibahas tentang kehidupan para nabi, ya jazirah arab memang lokasi historisnya. Kenapa tersulut kearab-araban ? Santai aja sih.

Pesan Bapak 

“Jika menjadi antropolog adalah keinginanmu dan pilihanmu, berangkatlah dan selesaikan, selalu sandingkan keilmuan dunia dengan Al-Qur’an dan Hadist,

Masalah pekerjaan dan kehidupan lain bisa dijalani, layaknya cuaca selalu berganti, tidak perlu takut, Perkara hak waris harus diselesaikan namun harus ada titik temu dan jalan tengah,

Bagi yang membutuhkan akan dilakukan sebagaimana mestinya, bagi yang masih bertahan mari kembangkan bersama,

kalian adalah anak muda yang masih punya tenaga…..,

Silakan gunakan ruang baca untuk mengerjakan tugas akhir dan sesekali saja camping di kebun atau menginap di shelter, ingat selalu untuk mawas diri,

tidak perlu memperlihatkan kekayaan dan seberapa hebat dirimu pada manusia lain yang sama-sama cari makan di bumi ini,

biarkan alam dan keadaan sosial ini yang mengembalikannya,

Selamat berjuang menjadi Antropolog Pangan !

Sheltermu bocor, kalau tidak ahli memasang atap, hubungi yang bisa, kamu makhluk sosial, perlu orang lain juga,

Ah ini….sesekali nikmati cerutu dan selesaikan kajian nahu sorofmu, gimanapun juga kamu itu dari Kota Santri, Bapak mau baca hasil penelitian anak bapak yang mengkaji al-qur’an dengan fenomena yang terjadi, saluhur-luhurna elmu ai teu beriman jeung bertaqwa mah biasa wae keur bapak mah, tapi anak sholeh/sholehah dengan mengerti agamanya ada pahala yang tak terputus”

“Sok tuntaskeun, selamat berjuang ! rek terluka rek meunang kanyeri sok di shelter we anggeuskeun kabeh, ya hati-hati ada apa-apa alarm sing tarik”

Dari Shelter ke Rumah….

“masih ada kuah opor ayam yang dimasak oleh Ibu untuk menuntaskan perjalanan menjadi antropolog pangan…..tidak ada yang boleh menghentikannya lagi…….”

CARPE DIEM, REP !

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” Q.S Al-Insyirah ayat 5

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.