#2 Esainya Augie Fleras

Buku : The Politics of Multiculturalism – Augie Fleras

Selayang Pandang

Kia Ora !

Sapaan salam dari suku Maori. Hal yang terbesit ketika memilih chapter 6 adalah keberagaman dan toleransi di Selandia Baru dengan eksistensi penduduk aslinya yaitu suku Maori.

Saya juga takjub dengan Haka Dance yang selalu ditampilkan pada beberapa acara jika berkunjung ke Selandia Baru atau ke kedutaan besar Selandia Baru di Jakarta, kemaoriannya akan selalu dibawa dan tidak dilupakan, namun sejarah multikulturalisme di Selandia Baru ini rumit dan banyak pertentangan terlebih jika sebuah toleransi dan keberagaman menyasar pada hak-hak penduduk asli yang lebih dulu tinggal dan hidup di daerahnya dan sejahtera, karena dinamika kehidupan yang dinamis dan cepat, hal adaptif dan penyesuaian harus dihadapi untuk mencapai kesetaraan dengan para pendatang dan imigran, sehingga hal ini menjadi kehidupan yang kompetitif.

Chapter ini akan membahas perjuangan para suku maori mempertahankan keaslian sikap dan gaya hidup suku maori yang sudah terbentuk pada perjanjian waitangi dan memiliki kedaulatan tata kelola pemerintahan namun dihadapkan pada hal-hal administratif dan isu-isu keberagaman : Monokulturalisme (budaya tunggal yang diyakini oleh suatu penduduk, dalam hal ini Maori), Bikulturalisme (Strategi integrasi ditengah akulturasi), Multikulturalisme (Idealisme tentag keberagaman) dan Binasionalisme (kewarganegaraan ganda).

Melihat geliat pemerintahan dan kekuasaan di Selandia Baru, saya jadi teringat anggota Parlemen perempuan yang memiliki tato khas suku Maori, beliau adalah Nanaia Mahuta menjabat sebagai Menteri Pembangunan Māori dan Menteri Pemerintahan Lokal dalam Pemerintahan Partai Buruh, dan ini memperlihatkan pada dunia bahwa kedaulatan atas masyarakat adat masih bisa dipertahankan dan dilibatkan dengan pemerintahan kekinian dan suku maori masih memiliki ruang berekspresi baik dalam politik, sosial, kemanusiaan, dan kelokalan/Indigenous studies nya. 

Nanaia Mahuta

Sumber gambar : Twitter @NanaiaMahuta

Chapter 6 – Persaingan Tata Kelola di Aotearoa Selandia Baru : Monokulturalisme, Bikulturalisme, Multikulturalisme, dan Binasionalisme.

“Isme” Politik

Menurut Crothers (2007), Wilayah Aotearoa di Selandia Baru telah lama menikmati reputasi Intenasional untuk tata kelola hubungan ras yang harmonis, hal ini bukan semata sebuah desain, namun ada tantangan untuk menghadirkan tata kelola inklusif yang menaungi keberagaman dan menghormati perbedaan yang sulit dipahami bahkan menakutkan.

“isme” politik terkadang disalahkan, karena adanya Bikulturalisme yang mendominasi, namun ada politik monokulturalisme dan multikulturalisme yang terus berebut status.

Pakeha, merupakan orang Selandia Baru (non-maori) berpendapat tentang

Kerangka monokultural secara terbuka, namun mundur dari konstitusi terbuka, hal ini mempengaruhi perubahan nasional yang bertujuan mempertahankan kendali atas agenda nasional yang mendukung multikulturalisme karena rendahnya kejahatan”

Sedangkan, di Pemerintahan Kebijakan bikultural adalah dasar koperasi pemerintahan, dan pemimpin adat Maori setuju, dan jika Bikulturalisme dipaksakan negara, Menurut Fleras dan Spoonley (1999) Bikulturalisme akan membahayakan status konstitusional bangsa.

Menurut Johnson,Maaka, dan Fleras (2008) Bikulturalisme yang di kritik seorang kritikus mengenai bikulturalisme mengakui binasionalitas Selandia Baru sebagai negara yang terdiri dari dua bangsa.

Namun, Menurut Barclay (2005), konsep hak masyarakat adat pada tatanan konstitusional dwinasional menjadi perhatian nasional yang serius hingga menjadi perdebatan dengan tantangan yang dikemukakan oleh Friesen (2008):

  1. Perbedaan konstitusi Bikultural di Selandia baru yang tidak besar dan tidak tertulis (pada pengakuan suku maori sebagai masyarakat adat karena menuntut multikulturalisme karena imigrasi.
  2. “Isme” Politik yang tajam memperebutkan pilihan tata kelola Selandia Baru tidak daat diperdebatkan lagi, Sejalan dengan pemikiran Bromell (2008).

Komitmen Multikulturalisme dikritik karena mengorbankan hak dan keutamaan suku maori sebagai penduduk asli/tanah, namun sebaliknya Ideologi Bikultural berakar pada prinsip perjanjian Waitangi (prinsip pemerintahan yang bermitra dalam perlindungan, partisipasi, dan otonomi. Hal ini pun dikritik karena ketidakpedualian terhadap imigran.

Migran dan minoritas membenci penyerapan dalam monokultul, kerangka kerja, tapi disisi lain meremehkan pengucilan dari bikultural pemerintah”

Mari cermati pada Status Quo Eurosentris, Menurut Pearson dan Mei (2001) :

Tanggapan arus utama yang ambigu : Mereka menawarkan komitmen multikulturalisme pada bikulturalisme, tapi ada ketakutan dengan tuntutan bikultural yang berlebihan dan status quo eurosentris bisa terguling”

Disisi lain, Bikulturalisme simbolik menjadi menarik dibahas dalam memajukan kebaruan yang berbasis “kemaorian” atau budaya suku asli maori yang memang sama-sama memiliki konflik “isme” pada bikulturalisme yang memang didukung oleh negara dengan fokus perhatian pada pemenuhan kebutuhan suku maori karena kesalahan sejarah, bahwa dwinasional yang kuat akan menjadi transformasi konstitusional.

Sebagai bahan renungan saja dalam pertanyaan  :

  1. Jadi isme ini adalah teka-teki pemerintah ? sejalan dengan deskripsi singkat Fleras ?
  2. Isme ini adalah sebuah tuntutan untuk pengakuan multikulturalisme sebagai kerangka kerja untuk tata kelola ?
  3. Apakah Multikulturalisme merupakan desain yang dibuat pemerintah ?
  4. Bagaimana dengan imigran Asia – Pasifik yang memiliki dualitas etnis ? Kemudian hal ini dipolitisasi hanya untuk data inkusif ?

Kembali pada pembahasan suku maori dengan ketegasannya yang dipolitisasi :

Menolak adalah dasar pemerintah untuk multikulturalisme yang baru dan bikulturalisme yang disponsori negara, yang didalamnya ada dwinegara dengan visi dualistik yang menyebabkan AOTEAROA menjadi sekutu dwibangsa, Ada keterlibatan pembagian mitra kekuasaan dan implikasi transormasi kontruksi yang kurang”

Bandingkan dengan Politik Suku Maori Asli dengan seruan :

Pemikiran ulang : Hubungan Kekuasaan (Mahkota) Maori yang mengutamakan model suku otonomi dan bisa menentukan nasib sendiri, tapi diusulkan negara”

Hal ini terjadi kendati :

  1. Lapisan kompleksitas dan kebingungan pada monokultur.
  2. Penerimaan publik pada pernyataan “We are one people” sebagai identitas nasional merupakan antusias politik.
  3. Tinjauan kebijakan dan program dapat memastikan kebutuhan individu (Seluruh masyarakat Selandia baru) dengan fokus perhatian : Hak dan hak adat suku maori.

Menilik “isme” yang disisipkan pada :

  1. Monokulturalisme
  2. Multikulturalisme
  3. Bikulturalisme
  4. Binasionalisme

Ternyata : “isme” yang terkandung tidak penting dan dampaknya kecil.

Sebagai contoh : Menurut Fleras (1998) Status Quo Institusional, bikulturalisme dari negara hanya terbukti sedikit dari multikulturalisme untuk suku maori.

Bagaimana jika yang lain tidak setuju ?

Perbedaan mendasar pada ruang lingkup, tujuan, rasional, strategi, dan hasil usulan mengakui perbedaan. Namun, pembentukan bikulturalisme (konstitusional imperatif) multikulturalisme hanya untuk tujuan sosial yang menyelaraskan : Migran dan Minoritas memiliki kebutuhan multikultural pada bahasa kebangsaan dan nasib sendiri”

Namun, yang ditemukan malah jadi tidak jelas tentang “isme” ini bahkan penggunaannya tidak tepat sehingga bikulturalisme tidak bisa dibedakan dengan multikulturalisme dan berdampak pada mitra budaya. Multikulturalisme atau Bikulturalisme dapat menangkap logika mendasar politik suku maori di Selandia Baru, karena memang merupakan aturan pemerintah dwinegara yang memandang hak dan wewenang dalam pengakuan.

“isme” Politik kompleks akan selalu berkembang di Aotearoa,Selandia Baru. Karena logika dibalik politik ini mengeksplorasi kontroversi tentang isu pemerintahan utama yang bersinggungan dengan :

  1. Hubungan “isme” dengan multikulturalisme
  2. Politik Bikulturalisme atas multikulturalisme
  3. Hubungan Binasionalisme dengan multikulturalisme
  4. Prospek multikulturalisme dalam pemerintah dwinegara.

Bagaimana menyeimbangkan hak bersaing pada hubungan ras ?

Dr. Rajen Prasad (1997) : cara berpikir masyarakat multi-etnis dengan budaya asli memerlukan dokumen untuk mengatur hubungan Maori dengan kekuasaan (mahkota), Komitmen multikulturalisme (dalam kerangka binasional) berkembang dalam kebingungan ini”

Keanekaragaman dan Perbedaan di Aotearoa Selandia Baru

Menurut Fleras (1998), keberadaan Selandia Baru di Pasifik terbentuk dari perjanjian kesaksian. “Isme” Politik terus menjadi rebutan dan bergeser dari :

Monokulturalisme (pemerintah diam) –> berdebat tentang multikulturaisme dan bikulturalisme (model pemerintah) –> Neo-Multikulturalisme dan Binasionalisme (Radar Pemerintah).

Selandia Baru telah berevolusi dari :

Monokultur (pengaruh pemerintahan Inggris karena) –> Mengakui legitimasi bikultural dari Maori (Bangsa Pendiri dan Mitra Pembagian Kekuasaan).

Namun, inisial multikulturalisme menghilang secara cepat karena :

KOMPROMI BIKULTURALITAS SELANDIA BARU

Penyebabnya adalah :

  1. Politisasi Demografis.
  2. Dukungan Tren Imigran mengarah pada Multikulturalisme.

Kebijakan imigrasi Selandia baru saat ini :

  1. Menghasilkan ekonomi dan sosial yang nyata.
  2. Kebijakan Imigrasi berfokus pada sumber asal negara yang disukai.

Namun, hal ini lebih mengarah pada karakteristik individu seperti : Keterampilan, tingkat pendidikan, usia dan jumlah modal investasi.

Menurut Bedford, Ada pula komponen kunci daam memajukan Keragaman yang produktif yaitu :

  1. Kontribusi pada sumber daya manusia di Selandia baru (migran dan keahlian menjadi kebutuhan).
  2. Adanya pembinaan hubungan internasional yang kuat (koneksi ekonomi pada migran di tanah air harus kuat).
  3. Pengembangan budaya perusahaan dan inovasi (migran memiliki pengalaman dan keterampilan kewirausahaan).
  4. Pengembangan pelatihan keterampilan dan strategi kerja lengkap (memiliki izin sementara dan jangka pendek).
  5. Reuni Keluarga baru dengan membahas kebutuhan kemanusiaan di Selandia Baru (Penting : Kewajiban Internasional para pengungsi).
  6. Kohesi bikultural dan sosial yang beragam harus dipertahankan komposisi etnisnya.

Bagaimana dengan suasana ambivalensi ?

Tetap ada, terlepas dari kegelisahan yang berkembang atas imigrasi yang menyangkut ekonomi masyarakat Selandia Baru, kepercayaan pada : pengelola yang baik, maka akan menghasilkan hal positif bagi masyarakat”

NB : Ambivalensi didefinisikan sebagai keadaan sosial yang di dalamnya seseorang menghadapi harapan-harapan normatif yang saling berlawanan dalam hal sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, dan perilaku.

Program imigrasi untuk tempat tinggal  :

  1. 60% ruang Aliran terampil/bisnis.
  2. 30% disponsori keluarga
  3. 10% dari kemanusiaan/internasional

Tren migrasi datang dari Inggris, Cina, dan India. Perubahan pola arus migrasi secara cepat terjadi pada thun 2006 dengan data :

  1. 67% warga Selandia Baru.
  2. 14,6 % warga Eropa
  3. 11,1 % Maori (Orang Selandia Baru)
  4. 9,2 % warga Asia (Cina, Hongkong, Taiwan, Korea, Filifina, dan Jepang).
  5. 6,9% warga Pasifik
  6. 1% warga lainnya.

Mengapa terjadi pergeseran demografis yang begitu hebat ?

  1. Karena Selandia baru secara demografis multikultural mendukung pemerintahan Multikulturalisme.

Namun Menurut Menteri Pembangunan Sosial dan Ketenagakerjaan yang mendaulat Menteri Urusan Etnis (Ruth Dyson) : Selandia sudah memiliki UU HAM dan Hubungan ras yang kuat, memiliki kerangka kerja dan setiap orang berhak menikmati kesetaraan perlakuan dan perlindungan hukum dengan tetap menghargai perbedaan (Parlemen Selandia Baru, 7 Agustus 2008).

2. Selandia Baru memiliki komitmen prinsip-prinsip pemerintahan Multikultural.

Sejak tahun 1999 : Pemerintah menetapkan inisiatif multikultural (Pembentukan Portofolio Urusan etnis Departemen Dalam Negeri, Kantor Urusan Etnis, Perayaan Etnis di Parlemen/Pekan Kesadaran Islam, Hubungan antar beragam komunitas sebagai jembatan dari Parlemen (Parlemen Selandia Baru, 7 Agustus 2008).

Pemerintah Selandia Baru menjadi pemerintah multikultural tanpa keresmian.

De Facto dalam Multikulturalisme

Permasalahan yang dihadapi Selandia Baru adalah :

Tidak pernah secara resmi mendukung multikulturalisme sebagai kebijakan atau program”

De Facto dalam multikulturalisme :

Untuk mengakomodasi secara inklusi pada institusional migran dan minoritas”

Menurut Singham (2006), Ratifikasi hak azasi manusia internasional dan legislasi domestik memastikan kesempatan yang sama dan mengurangi kesenjangan. Pembangunan kapasitas dari Kementerian Urusan Pasifik sangat mendukung tingkat individu dan komunitas. Dalam hal ini kemunculan kembali multikulturalisme sebagai narasi nasional yang saling melengkapi.

Jejak peristiwa Multikulturalisme di Selandia Baru, meliputi :

  1. Tahun 2003 : Perspektif Etnis dalam program membantu lembaga pemerintah mengidengifikasi kesenjangan layanan pada masyarakat etnis.
  2. Tahun 2004 : Strategi Penyelesaian diluncurkan dengan tujuan menanggapi kebutuhan pemukiman para migran dan pengungsi.

Adapun visi pemerintah Selandia Baru :

Kemakmuran Selandia Baru didukung oleh masyarakat inklusif dimana integrasi lokal dan nasional dari pendatang didukung oleh respon layanan, lingkungan ramah, dan rasa hormat bersama untuk keragaman (Komisi HAM, 2007)”

Tahun 2001 di Christchurch pembukaan pusat multikultural :

“Te Whare O Nga Whetu”

Namun, ada kekeliruan misi yang berfokus pada kebutuhan lokal dan budaya antara hubungan etnokultural dan masyarakat setempat. Kemudian, ada pembentukan 10 Points New Zealand yang merupakan Program Aksi Keberagaman oleh DPR (2004) untuk perbaikan hubungan ras. 

10 Points New Zealand : 

  1. Mengembangkan jaringan orang dan organisasi untuk memajukan
    hubungan yang harmonis di Selandia Baru yang beragam dan inklusif.
  2. Membuat Situs internet (Informasi tentang komunitas yang beragam di Selandia baru).
  3. Membuat Pusat Studi dan Promosi Keanekaragaman budaya.
  4. Mendorong debat publik (HAM, perbedaan).
  5. Meninjau kurikulum sekolah (Budaya Perbedaan).
  6. Menumbuhkan keragaman di media untuk memastikan keragaman budaya.
  7. Mendukung program penyelesaian imigrasi dan pengungsi.
  8. Merayakan keberagaman melalui seni dan festival.
  9. Menyediakan forum untuk bercerita keragaman budaya.
  10. Mempromosikan dialog pertukaran antar kelompok budaya yang berbeda.

Menurut Departemen Perlindungan sosial, Inisiatif lainnya adalah Proyek Connecting Diverse Communities tahun 2007 Sebagai pendekatan pemerintah menuju inklusivitas keberagaman, promosi kohesi sosial, menghormati budaya perbedaan, dan mempererat hubungan antarbudaya dengan kelompok beragama.

Selandia Baru juga meluncurkan kurikulum pendidikan pada bulan November 2007 dengan prinsip : mengakui prinsip inti yaitu kesetaraan, menghargai keragaman budaya, merangkul inklusivitas tanpa diskriminasi,

Penanganan pemerintah dalam menangani isu-isu yang dihadapi tergantung pada : partisipasi efektif di masyarkat, akses yang adil dan setara untuk layanan sosial, dan informasi untuk masyarakat umum dari manfaat keberagaman, menampung harapan masyarakat (responsif, dan berpeluang baik dalam ekonomi dan sosial).

Selanjutnya, Pada tahun 2001 Selandia Baru membentuk Kantor Urusan Etnis dengan visi :

“Kekuatan dalam keberagaman etnis”

Menurut Pearson (2005), Relevansi multikulturalisme menarik dukungan yang berkembang di Selandia baru (Elit negara, pimpinan minoritas, dan akademisi non Maori). Sedangkan menurut Ip, Pang, dan Eaton (2007) menyebutkan bahwa pendukung multikulturalisme tidak hanya mengkritik komitmen bikultural pemerintah karena gagal memunculkan realitas multikulturalitas di Selandia Baru.

 

Pada kenyataannya Istilah “multikultural” dan “multikulturalisme” mengotori dokumen kebijakan pemerintah secara resmi. Ada hal kontras dan sering disandingkan dengan bikulturalisme yang diartikan sebagai toleransi dan penerimaan perbedaan. Namun, perbedaan dirasakan sebagai penyimpangan mayoritas, norma budaya Anglo Celtic, hal ini disebabkan kurangnya kebijakan formal dan UU pemerintah terkait konsekuensi.

NB : Budaya Anglo Celtic adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara luas berbagai budaya asli Inggris & Irlandia. Istilah ini juga mencakup diaspora yang berlokasi di Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Afrika Selatan.

Menurut Greif (1995), banyak yang tidak setuju dengan pengistimewaan multikulturalisme karena mengkhususkan promosi budaya dengan mengorbankan warisan bikultural Selandia Baru. Kemitraan bikultural dan penandatanganan traktat dengan hak jaminan kolektif maori yang menggantikan hak individu imigran tidak bisa dibatalkan di Aotearoa,Selandia Baru, dengan demikian hak bikultural Maori (penghuni asli) harus didahulukan atas hak multikultural imigran, Jika tidak, akan ada bahaya dari aspirasi para maori dengan migran, minoritas, dan penurunan status maori yang sudah sesuai sebagai : TANGATA WHENUA (Penghuni Asli).

Reduksionisme jika disebarluaskan akan tidak bertanggung jawab, menjajah, dan bertentangan dengan Perjanjian Kemitraan (Walker, 2005)”

” Bikulturalisme akan aman karena paradigma berkuasa, Multikulturalisme jika dinegosiasikan statusnya akan sah sebagai alternatif oleh pemerintah (Stuart, 2007)”

 

De Jure dalam Multikulturalisme

Tahun 1970-an, pemukim Anglo dari komunitas imajiner berkomitmen pada bikulturalisme sebagai pemerintahan resmi yang mengakui Maori dan Pakega bagian dari perbedaan namun setara, Hal ini dilalui oleh Selandia Baru yang melewati jalur pemerintahan yang panjang dan rumit.

Bikulturalisme di Selandia Baru memiliki sejarah panjang dalam sejarah : Penandatanganan Perjanjian Waitangi tahun 1840 dengan simbol kekuasaan (mahkota) dan Suku maori dengan simbolis yang fundamental, telihat pada ;

Suku Maori sebagai negara berdaulat atas hak menentukan nasib sendiri yang otonom”

Pemimpin Apirana Ngara mendorong Maori untuk menjadi beradaptasi menjadi bikultural ke pihak Barat dan menyarankan tetap menggunakan bahasa dan budaya mereka dan Erik Schwimmer sarjana dari Kanada menerbitkan buku tentang bikulturalisme di Selandia Baru. Hingga diresmikannya bikulturalisme pada tahun 1975 dan didirikannya Waitangi Tribunal (Komisi Independen penyelidikan keluhan Maori, pelibatan sengketa tanah dan penyitaan).

Bikulturalisme “Tukutuku” adalah untuk Maori. 

Sejauh mana kerangka persaingan multikulturalisme dan bikulturalisme?
Apakah hal ini berguna untuk wacana pemerintahan?

Menurut Stuart (2007), Secara teori, mereka berbeda. Ada Multikulturalisme karena pemerintahan yang umumnya berkaitan dengan penyeimbangan kesatuan dengan perbedaan integrasi migran dan minoritas melalui akonodasi institusional, sehingga logika yang mendasarinya adalah hegemonik (hal ini mendeskripsikan tentang bagaimana mempertahankan status quo), Namun jika idealisme bikulturalisme bersifat transformatif maka ada batasan sentralis dua negara yang berbagi kedaulatan.

Manurut O Sullivan (2006), Pada kenyataannya politik bikulturalisme di Selandia Baru runtuh secara transformasional dilihat dari : Maoritanga (Lunak), Moderat (peningkatan hubungan ras), Inklusif (kemitraan), dan terpisah dari kata setara, dan menentang sistem. Namun, Bikulturalisme saat ini membahas pembagian kekuasaan melalui Model penentuan nasib sendiri (Maori).

Pendirian Te Puni Kokiri sebagai kerangka kebijakan publik yang berfokus pada “positioning” yang lebih baik untuk membangun pemanfaatan sumber daya dan keterampilan kolektif Maori dengan harapan kualitas hidup dalam pembangunan program pertimbangan politik.

Pemerintahan Binasional: Kebenaran untuk Kekuasaan Reformulasi Tata Kelola (Multikulturalisme dalam Binasional) perlu Kesepakatan antara Maori dan Pendatang. 

Sepertinya itu saja intisari dalam keberagaman dan Idealisme yang tersebar di Selandia Baru dan ini perlu pembahasan mendalam dari berbagai pihak, tidak hanya sektor kebudayaan tapi menyangkut kemanusiaan dan keberlanjutan keakraban bernegara.

 

Tasikmalaya, November 2021

  • Repa Kustipia yang sedang belajar Antropologi.
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.