Kesultanan Banten merupakan salah satu Kerajaan Islam yang pernah berdiri di tatar Pasundan, Provinsi Banten sekarang ini.
Lahirnya Kesultanan Banten merupakan pengaruh dari Walisongo yang telah berkembang mengajarkan Islam di Nusantara, terutama di pulau Jawa.
Berawal dari tahun 1526, Kesultanan Cirebon dan Demak yang tengah memperluas kawasannya di bagian barat.
Maulana Hasanuddin merupakan putra Sunan Gunung Jati yang berperan dalam penaklukan daerah barat yaitu bagian Kerajaan Sunda dan Portugis.
Awal Syiar Islam ke daerah Banten
Awalnya, Sunan Gunung Jati bersama Pangeran Walangsungsang dan pengikutnya sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten (dulunya disebut Wahanten).
Dikarenakan ajaran Islam yang mengajarkan pendidikan, ekonomi, cara perilaku masyarakat, dan banyak hal lainnya, Raja Surosowan pun sangat toleran dengan kedatangan pemeluk Islam yang datang dan tengah berdakwah di Banten.
Sembari memberikan ajaran Islam, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) menikahi putri Sang Surosowan, anak dari Sang Surosowan.
Sunan Gunung Jati dan Istrinya pun dikaruniai dua anak, yaitu Ratu Winaon dan Pangeran Maulana Hasanuddin.
Di tahun 1479, Sunan Gunung Jati pun kembali ke Kesultanan Cirebon untuk menerima tanggung jawab sebagai penguasa cirebon.
Dari hasil para wali di Tuban, diputuskan bahwa Sunan Gunung Jati merupakan pemimpin dari para wali.
Perjalanan dakwah yang dilakukan di Banten pun dilanjutkan oleh pemeluk Islam di Banten beserta anak dari Sunan Gunung Jati, Pangeran Maulana Hasanuddin.
Dakwah dilakukan hingga ke daerah pedalaman seperti gunung Pulosari di Pandeglang, hingga ke Ujung Kulon.
Di tahun 1521, Jaya Dewata (Prabu Siliwangi) membatasi berbagai aktivitas pedagang muslim yang berada di daerah kerajaan Sunda.
Hal ini dilakukan untuk mengurangi pengaruh Islam di Kerajaan Sunda dikarenakan pengaruh Islam mulai sangat kuat.
Dikarenakan pengaruh Islam yang sangat kuat, upaya yang dilakukan pun gagal, sehingga Kerajaan Sunda mencari mitra koalisi, Bangsa Portugis untuk melawan daerah Kesultanan seperti Cirebon dan Demak.
Perselisihan pun berlangsung hingga di tahun 1522, Maulana Hasanuddin membangun Komplek istana yang bernama Keraton Surosowan.
Dibantu oleh kekuatan Cirebon dan Demak, daerah Wahanten pun mulai diambil alih. Beberapa tokoh penting Banten saat itu memeluk agama Islam untuk membantu usaha tersebut.
Kekalahan dipihak Arya Suranggana pun membuat ia dan masyarakat yang menolak masuk Islam pun lebih memilih untuk masuk hutan di wilayah Selatan.
Pemerintahan Kesultanan Banten
Setelah Banten muncul sebagai bagian dari Kerajaan Kesultanan, pusat pemerintahan pun di bangun, termasuk membuat Masjid Agung Banten yang masih berdiri sampai saat ini.
Perluasan wilayah pun dilakukan hingga ke daerah Lampung. Kemudian pada tahun 1570, pemimpin kekuasaan pun digantikan oleh anaknya Maulana Yusuf dan terus berlanjut.
Hubungan Kesultanan Banten pun mulai ditingkatkan, salah satunya adalah Kerajaan Inggris.
Namun sikap Kesultanan Banten terhadap sangat bertolak belakang, dimana Belanda sendiri sudah mulai melakukan kolonisasi terhadap berbagai wilayah di Nusantara.
Sempat terjadi perdamaian antara Kesultanan Banten dan Belanda yang membuat puncak masa kejayaan Kesultanan Banten di tahun 1630 – 1680.
Kehancuran Kesultanan Banten pun diawali dari persesilihan perebutan kekuasaan, sehingga terjadilah perang saudara.
Keadaaan ini dimanfaatkan oleh VOC yang memberikan dukungan terhadap salah satu penerusnya, sehingga kekuasaan pun dipegang oleh Sultan Haji.
Akan tetapi, bayaran atas dukungan yang dilakukan pun harus dilakukan oleh Sultan Haji ke VOC. Selain itu, ia juga harus mengganti kerugian perang yang dilakukan oleh pihak Kesultanan.
Setelah meninggalnya Sultan Haji, VOC pun mulai mencengkram Kesultanan Banten. Perang saudara kembali terjadi sehingga pemerintahan pun semakin tidak stabil.
Ketidakpuasan pihak Kesultanan terhadap campur tanga VOC pun akhirnya menimbulkan konflik berkepanjangan, bahkan oleh rakyatnya.
Sejak tahun 1752, Banten sudai dipegang penuh oleh VOC dan penghapusan kesultanan Baneten pun dilakakukan oleh Gubernur Willem Daendels pada tahun 1808 dan resmi dihapus pada tahun 1813.