Self Assessment, ambisi siapa?

Gembar-gembor IT seolah-olah tidak akan pernah berhenti. Semakin lama semakin kencang, dikejar karena Trend kah?, Corporate Image kah ? atau Lahan Proyek semata?
Yang pasti harapannya selalu baik, salah satunya “make easier”. Lalu Self Assessment itu mahluk apa?, buat apa? , hasilnya apa? , jalankah?, mudahkah?, apa masalahnya?. Tentunya yang saya  gali ya di Unpad man!.

 Apakah di Unpad ada yang tau Self Assessment?, atau apakah di Unpad ada yang gak tau Self Assessment?.  Awal mei lalu Self Assessment jadi kambing hitam gagalnya kesempatan unpad mendapatkan dana segar yang ber – M – M – an (disini M bukan berarti Makasih tapi Miliar). Dana sebesar itu memang cukup disayangkan jika hilang begitu saja, padahal Unpad lagi membangun juga dan salah satunya membangun IT.

Self Assessment itu tugas yang diberikan oleh dikti (kurang tau diktinya sebelah mana wong kadang-kadang kayaknya didikti juga gak semuanya tau apa itu Self Assessment)  kepada perguruan tinggi berupa pengumpulan data-data dari masing-masing program studi (data bukan laporan rekap atau semacamnya) khususnya yang dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan di dikti sendiri , salah satunya untuk penilaian dan pemberian ijin program studi.

Pengumpulan data Self Assessment ini dilakukan setiap semester dan hasilnya ditampilkan di website evaluasi.or.id. Hasilnya jreng disitu ditampilkan data-data penting hasil perhitungan, validasi dari masing-masing program studi di seluruh perguruan tinggi Indonesia.

Bagaimana hasilnya? tentunya yang dilihat Unpad. Mmmm… sebagian besar pasti setuju kalo saya bilang datanya sebagian besar “salah” dan sama sekali tidak mencerminkan data yang sebenarnya.

Fakultas ikut teriak dan mempertanyakan mengapa bisa terjadi seperti demikian padahal mereka merasa data yang sudah dikumpulkan sudah valid berdasarkan program aplikasi self assessement itu sendiri. Paling memprihatinkan lagi,  kambing hitam lainnya adalah operator yang seharusnya jadi “The frontiers” atau “The Heroes”.   Mereka harus kerja keras buat ngumpulin data SA ,dan hasilnya kadang- kadang kena “teguran”, bikin bete tuh!.

Mungkin disini saya tidak berniat membela tim SA atau para Operator, tapi ini merupakan hasil dari proses belajar selama dua tahun saya bergabung penuh di tim SA pusat. Secara  tegas saya katakan :  please forgive us , we’re still learn what is SA, makhluk apa sih SA itu?. Perlahan- lahan saya mulai bisa membaca bagaimana kerjanya SA DIKTI.    

Prosedur Pengumpulan SA tidaklah seperti yang saya bayangkan sebelumnya :

  1. Pertama kali yang di periksa adalah kelengkapan dimana Setiap program studi harus :
    • Memiliki dosen tetap berikut riwayat pendidikannya.
    • Memiliki kegiatan akademis dosen tiap semesternya
    • Mata kuliah tiap semesternya
    • Transaksi kuliah mahasiswa di tiap semesternya.
    • dll
      Jika kelengkapan tersebut tidak terpenuhi, otomatis program studi yang bersangkutan tidak diproses (alias di hapus dari data SA nya DIKTI)
  2. Program Studi yang mengumpulkan sama sekali tidak akan diproses selama program studi tersebut tidak terdaftar di database SA-nya dikti.
  3. Gara – gara program studi nya tidak dapat diproses , otomatis dosen yang homebase nya di program studi tersebut ikut terhapus. Ini berpengaruh jika dosen yang bersangkutan ngajar di prodi lain.
  4. NIDN menjadi sandi yang vital, jika banyak dosen yang belum memiliki NIDN validasi tidak akan pernah bagus karena berpengaruh ke data lain seperti pendidikan dosen, publikasi dosen, kuliah dosen, cuti dosen, dosen pengampu matakuliah.

Paling tidak point diatas merupakan prosedur yang tidak dapat terelakan. Dan ini bukan salah dari SA pusat, SA fakultas atau SA dari DIKTI. Itulah jadinya jika di program studi bagus, fakultas bagus dan Pusat bagus tapi keluar di SA DIKTI tetap tidak valid atau sama sekali tidak diterima.

Kritik buat dikti pernah saya sampaikan, mengenai usaha dikti yang cukup “bagus” namun strategi yang mereka terapkan sangatlah tidak didasarkan latar belakang kondisi IT di perguruan tinggi yang ada. DIKTI terlalu menyama ratakan kondisi ini, padahal kalo boleh kritik DIKTI sendiri menurut saya kondisi IT-nya perlu di perbaiki, tapi kok keras banget yah ke perguruan tinggi. Keras sih boleh dalam ranggka memberikan aturan dan mungkin itu harus, tapi tolong .. hargai usaha dan kerja keras perguruan tinggi dalam melaksanakan aturan tersebut. Ini bisa jadi bumerang, maksudnya sentralisasi data nasional digembar gemborkan, DIKTI sendiri masih kelabakan mengatur IT nya. Kalo seperti ini perlu ditanyakan SA itu Ambisi Siapa????.

Ok kritik ini gak perlu diperpanjang, hingga saat ini saya masih mendukung kebijakan SA ke perguruan tinggi, toh positifnya memang ada buat Unpad. Dan buat para pimpinan yang ada di Unpad, tolong dimengerti usaha SA unpad bukannya gagal, tapi ini adalah bagian dari proses, sebelumnya sebagian data SA unpad , sedikit sekali dapat diproses sekarang hampir semua data SA semester akhir yang dikumpulkan. Kemudian lihat dari Sisi SDM para operator yang bergabung memang harus tidak sembarangan orang, mererka setidaknya harus mengerti konsep database, den mereka sudah mau kerja keras buat belajar.

Selanjutnya target SA unpad adalah data Valid. Valid disini tidak menandakan data yang terkumpul benar, kerena jika data yang di masukan hanya satu record tapi isin ya sesuai aturan bisa dikatakan valid tapi kualitas data pasti salah total. Jangan kaget ketika data-data SA di proses dan di rekap jumlahnya tidak sama dengan kenyataan.

Setelah valid baru kualitas data akan diperiksa dan di analisis untuk diperbaiki , dan ini membutuhkan partisipasi terutama para pimpinan yang harusnya mengetahui kondisi di masing-masing  fakultas dan program studi.

Dengan demikian SA bisa menjadi ambisi unpad untuk mempersatukan data secara terpusat.