Inovasi dan Wacana Kebijakan 5 (Innovation vs Reality)

Dipercaya duduk dikursi manajemen itu tantangan, posisi sekecil apapun tetap saja ada nilai amanah yang harus diemban. Tantangan yang diambil tidak bisa dianggap kecil. Apalagi jika tugas yang harus dikerjakan adalah tugas baru yang sebelumnya belum pernah diemban. Ditambah oleh besarnya tantangan-tantangan baru yang diberikan, salah satunya adalah melaksanakan program-program strategis yang ternyata tidak sejalan dengan pendapat idealis pribadi. Meskipun buku panduan tentang inovasinya sudah sama, namun ketika isi buku tersebut akan dipraktekkan belum tentu caranya sama. Dosakah seseorang yang duduk dimanajemen mulai bersetrategi melaksanakan program-program strategis inovasi tersebut dengan cara-cara yang menurutnya lebih baik dan berupaya tetap melaksanakan visi yang diintruksikan sang CEO?

Tidak mudah memindahkan pola bisnis kacang yang sebelumnya tradisional ke sistem online. Seolah-olah beberapa staff yang semula bertugas mengawasi proses jalannya produksi, pemasaran, hingga sampai ditangan konsumen akan nganggur. Pekerjaan ke online bukan berarti staff yang ada menjadi nganggur, namun kemampuannya memang harus ditingkatkan, setidaknya mulai ditambah kemampuan-kemampuan baik dari segi keterampilannya maupun keahliannya. Seorang petani yang semulai terbiasa menam benih kacang menggunakan tangannya secara bertahap harus dilatuh bagaimana menebar benih menggunakan mesin dengan harapan produksi kacang jauh lebih cepat. Pekerjaannya terlihat seperti lebih mudah, namun sang petani harus terus mealporkan secara online proses satu demi satu penanamannya hingga segala proses yang terjadi menjadi terukur lebih akurat. Hal inipun terjadi pada bagian pemasaran yang sebelumnya rajin masuk ke titik penjualan.  Dengan melibatkan perushaan pengiriman barang semuanya menjadi mudah. Sementara proses itu berjalan tim marketing harus terus memantau dan mengevaluasi agar layanan terus semakin baik, ikut terlibat dengan feedback konsumen, memantau kualitas produk dengan berbagai cara memanfaatkan teknologi informasi. Hingga disediakan pula jasa pemeriksaan kesehatan jantung gratis, yang membutuhkan tenaga layanan kesehatan dan juga tim pemantau memanfaatkan sistem.

Gambaran proses perubahan yang dijelaskan “by the book” sungguh indah dan sepertinya mudah. Kenyataan tidak akan pernah sama, setiap perusahaan akan berhadapan dengan perilaku organisasi yang sebenarnya. Budaya kerja atau Value sebuah perusahaan mungkin sudah ditetapkan. Namun Budaya asli yang tertanam disetiap pegawai bisa saja masih ada atau bahkan masih banyak yang tidak selaras dengan budaya perushaan itu sendiri. Pengawasan perilaku yang cenderung kurang ketat menyebabkan banyaknya GAP antara budaya perusahaan dan budaya individu para stafnya.

Tipe kepemimpinan diktator menurut saya sebenarnya bisa jadi dibutuhkan dalam menyelesaikan berbagai masalah yang berhubungan dengan pegawai. Hanya saja tipe kepemimpinan tersebut  memiliki nilai kemanusiaan yang dinilai sangat rendah. Seorang CEO memutuskan proses perubahan tanpa melakukan transisi sebenarnya memiliki sifat kepemimpinan diktator yang kuat, namun solusi dalam menangani resistensi tanpa adanya pemutus hubungan kerja tanpa kesiapan yang matang, akan membuat kondisi semakin ramai dan tidak menenangkan.

Para wakil yang duduk di kursi manajemen memiliki peran untuk terus mengingatkan sang CEO terkait resiko-resiko yang akan muncul dengan kebijakan “Setengah Otoriter”  ini.  Isu sangat mudah dimunculkan oleh pihak manapun yang tidak faham, tidak setuju dan merasa terganggu kepentingannya untuk menggoyang perusahaan. Tidak mudah mengingatkan sang CEO ketika kekuatan dan komitmennya sangat kuat. Kondisi transisi yang diharamkan CEO sebenarnya bisa menjadi inspirasi para manager untuk melakukan pola-pola transisi yang bisa jadi sebenarnya CEO dapat memahaminya meskipun akan faham setelah konflik terjadi. Misalnya proses penjualan kacang secara online yang harus dilaksanakan dan meninggalkan penjualan konvensional. Beberapa manager membuat laporan-laporan proses penjualan online yang terhambat karena banyaknya tahapan yang belum siap, misal koordinasi dan kerja sama dengan pihak pengiriman yang masih panjang, sehingga dibuatlah konsep pola penjualan tradisional dimana sipenjual melakukan proses tetap sacara online sementara pihak pengirim barang ditangani oleh tim khusus internal dan atau bahkan dipegang oleh satu orang penjual tersebut. Sehingga dengan beberapa “inovasi di dalam inovasi” ini permasalahan dapat diminimalisir bahkan resistensi dari pegawai akan berkurang karena ada proses pembelajaran yang akan membuat para pegawai lebih paham mengenai apa yang ada dipikiran sang CEO.

Apakah membuat inovasi dalam inovasi ini memiliki resiko?  ya jika resiko peramsalahan terjadi, si manajer harus siap bertanggung jawab dihadapan staff dan CEO nya. Resiko ini harus diambil dengan landasan bagaimana kondusifitas perusahaan tetap terjaga. Untuk itu usahakan segala sesuatunya harus terukur dan dapat diperdebatkan secara ilmiah.

Proses perjalanan implementasi  inovasi ini akan menjadi mahal, ketika untuk meredam resistensi ini hanya dilakukan dari segi jaminan kesejahteraan saja. Bisa jadi proses peningkatan keuntungan yang dicapai untuk beberapa tahun pertama akan lebih kecil dari keuntungan dengan kebijakan sebelumnya atau jika meningkatpun hasilnya tidak jauh dengan kebijakan sebelumnya. Sementara biaya investasi dan produksi bisa jadi puluh hingga ratusan lipat yang sudah dikeluarkan.

Kondisi investasi inovasi yang besar ini bisa jadi akan dapat kembali (ROI) atau terburuknya akan merugi.  Tergantung kekuatan modal perusahaan, sebarapa lama bisa melakukan investasi besar- besaran ini. Jika modal habis namun kondisi belum menunjukan peningkatan yang signifikan, berarti bersiaplah untuk jatuh bebas. Namun jika perusahaan tersebut dapat terus “survive” dan mampu lewati kondisi kritis dengan membengkokan grafik perusahaan keatas jauh lebih tajam berarti perusahaan tersebut telah lulus melewati peradilan inovasi.

bersambung…